Jumat, 12 September 2008

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR CRURIS

PENGERTIAN
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang menerima beban yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart)

• JENIS FRAKTUR
a.Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b.Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c.Fraktur tertutup : fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d.Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e.Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang
g.Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
h.Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i.Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j.Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

ETIOLOGI
• Trauma
• Gerakan pintir mendadak
• Kontraksi otot ekstem
• Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

MANIFESTASI KLINIS
• Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
• Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
• Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur
• Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
• Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

• PEMERIKSAAN PENUNJANG
• pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
• Pemeriksaan jumlah darah lengkap
• Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
• Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal

PENATALAKSANAAN
• Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
• Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
• Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
• Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
• Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
• Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
• Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

• KOMPLIKASI
• malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
• Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
• Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

• PENGKAJIAN DATA DASAR
• aktivitas/istirahat
• kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
• Keterbatasan mobilitas
• Sirkulasi
• Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri / ansietas)
• Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
• Tachikardi
• Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
• Capilary refill melambat
• Pucat pada bagian yang terkena
• Masa hematoma pada sisi cedera
• Neurosensori
• Kesemutan
• Deformitas, krepitasi, pemendekan
• kelemahan
• kenyamanan
• nyeri tiba-tiba saat cidera
• spasme/ kram otot
• keamanan
• laserasi kulit
• perdarahan
• perubahan warna
• pembengkakan lokal

• PRIORITAS KEPERAWATAN
• Mencegah cedera tulang/ jaringan lanjut
• Menghilangkan nyeri
• Mencegah komplikasi
• Membeikan informasi tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan

• DIAGNOSA KEPERAWATAN
• Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
• Nyeri berhubungan dengan spasme otot, pergeseran fragmen tulang
• Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka , bedah perbaikan

• INTERVENSI
• Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
• Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
• Mempertahankan posisi fungsional
• Meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit
• Menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
• Tinggikan ekstrimitas yang sakit
• Instruksikan klien/bantu dalam latian rentang gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
• Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit di atas dandi bawah fraktur ketika bergerak
• Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
• Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan
* Awasi tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas
• Ubah posisi secara periodik
• Kolaborasi fisioterapi/okuasi terapi

b.Nyeri berhubungan dengan spasme otot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
• Klien menyatakan nyeri berkurang
• Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
• Tekanan darah normal
• Tidak ada peningkatan nadi dan laju napas (RR)

Intervensi:
• Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri
• Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
• Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
• Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
• Jelaskan prosedur sebelum memulai
• Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif / aktif
• Dorong menggunakan teknik manajemen stress, contoh : relaksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
• Observasi tanda-tanda vital
• Kolaborasi : pemberian analgetik

• Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
• Penyembuhan luka sesuai waktu
• Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
• Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainase
• Monitor suhu tubuh
• Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
• Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
• Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
• Masage kulit sekitar akhir gips dengan alkohol
• Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
• Kolaborasi pemberian antibiotik

Selasa, 09 September 2008

Journey to the Profession Bagian 3

Pada Bagian Kedua, saya bertutur tentang perjalanan profesi yang tersendat. Dari tidak diizinkannya untuk mengikuti training ke Surabaya, berstatus pengangguran, mencari kerja sampingan, terdampar di lereng Gunung Butak, Trenggalek, sampai akhirnya datang surat panggilan dari Jakarta. Waktu menunggu yang cukup lama, dua tahun, akhirnya datang juga. Alhamdulillah.


Jakarta oh Jakarta. Sebagai orang desa yang belum pernah menyentuh Metropolitan, saya semula tidak membayangkan bahwa Jakarta pada akhirnya benar-benar ada di hadapan mata. Gambaran kesibukan kota serta segala pernak-perniknya yang saya ketahui lewat TV, cerita orang serta koran dan majalah, kini jadi realita. Ciracas, tempat kami menjalani pelatihan, menampung lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah.

Tiga bulan tinggal di asrama bukan waktu yang singkat. Ada yang sabar menunggu, ada juga yang seperti diburu waktu. Beberapa di antara kami mengundurkan diri sebelum Tim dari Kuwait datang. Sebagian besar sudah menyembelih kambing, selamatan dan berpamitan ke semua sanak saudara, tetangga kanan-kiri. Ada pula yang mulai cari-cari kerjaan sampingan di Jakarta.

Lain halnya saya, selain tetap menulis, agar orangtua di rumah tetap dapat tambahan, hanya berpikiran positif saja. Alhamdulilah wesel tetap mengalir dari beberapa media massa buat Ibu saya. Kali ini saya berharap, semoga tidak ada penundaan lagi. Karena balik lagi ke jawa Timur, apalagi ke Trenggalek, kayaknya sudah tidak mungkin. Sementara kegiatan saya membantu teman-teman belajar Bahasa Inggris jalan terus.

Waktu berlalu tanpa terasa hingga suatu saat Tim Penguji dari Ministry of Health-Kuwait datang. Betapa gembiranya kami waktu itu. Kesabaran untuk segera direkrut rasanya tidak dapat dibendung lagi. Tes tulis dan interview dilaksanakan pada keesokan harinya. Ada 150 orang yang dinyatakan lulus tes. Sisanya, menunggu tes gelombang kedua, dari Kementrian Kesehatan Kerajaan Saudi Arabia.

*****

Bulan Maret 1993. Kuwait, negara kecil di Teluk kaya minyak itu sedang berbenah diri sesudah digempur oleh Pasukan Saddam Hussein beberapa waktu lalu. Di sana-sini masih terlihat reruntuhan gedung bekas dentuman rudal perang. Kuwait, pada musim dingin itu, masih diselimuti oleh tekanan mental yang tidak kecil. Hal itu bisa dilihat dari begitu aktifnya pihak keamanan yang berpatroli di jalan-jalan, menghentikan kendaraan yang sedang berlalu lalang, hingga pengecekan kartu identitas diri di dalam bis kota. Bagi kami, warga Indonesia yang baru saja mendarat di negara tersebut, suasana yang demikian, terkesan mencekam.

Kerja di luar negeri, bagi kebanyakan orang kita terkesan ‘wah’. Uang, reputasi, pengalaman dan gaya hidup. Empat hal tersebut sepertinya selalu menempel pada siapapun yang bekerja di luar negeri. Uang sudah jelas. Gaji yang diterima nurses waktu itu rata-rata 10 kali lipat penghasilan nurses kita di dalam negeri. Namun kita lupa bahwa satu biji pisang saja bisa mencapai sepuluh kali lipat harganya, jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia.

Orang kita kebanyakan juga masih menempatkan harta sebagai salah satu faktor penting dalam status sosial. Dengan tinggal dan bekerja di luar negeri, semua beranggapan reputasinya terangkat. Semakin banyak harta yang dimiliki, makin bisa bikin terkenal. Orang yang bekerja di luar negeri juga diasumsikan sebagai sosok yang kaya pengalaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi jika balik ke Indonesia kelak. Sementara tentang gaya hidup, bekerja di luar negeri berarti berubah gaya hidup. Bahasa, budaya, style, pola dan menu makanan, hingga tata krama.

Padahal, keempat aspek yang dijelaskan tersebut bisa saja ‘mitos’.

****

Bulan-bulan pertama bekerja di Mubarak Al Kabeer Hospital, sebagaimana rekan-rekan saya lainnya, adalah masa adaptasi. Latar belakang dunia kerja saya di pendidikan menjadi kendala besar tersendiri ketika berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di Rumah Sakit (RS) pada enam bulan pertama. Apalagi RS di Kuwait tentu beda dengan rata-rata situasi dan kondisi RS kita. Saya ditempatkan di bangsal Bedah Urology. Kerja shift: pagi, sore atau malam. Membuat saya sebenarnya ‘kurang kerasan’. Tapi saya tidak ‘gentar’. Setiap cobaan, ada akhirnya. Begitu yang saya tanamkan dalam diri ini.

Meski demikian, saya tetap mencoba mencari jalan lain. Saya melayangkan surat, mengajukan pindah kerja langsung ke Director of Nursing (Central) tanpa melalui prosedur yang tepat (proper channel). Waktu itu, saya mulai mengerti bahwa di negeri semacam Kuwait, tindakan semacam ini kerap kali diterobos. Jadi, apa salahnya jika saya pun turut mencoba? Saya ajukan permohonan untuk dipekerjakan di Psychological Hospital.

Permohonan saya ditanggapi. Sayangnya, terlambat. Karena begitu persetujuan itu datang, saya justru menolak. Tahu alasannya? Psychological Hospital di Kuwait ternyata kondisinya tidak lebih baik ketimbang RS Jiwa dekat dengan rumah kami di Jawa Timur! Namun demikian, hasrat pindah tetap kuat. Saat itu, ada seorang asal Pakistan yang bersedia bertukar tempat. Pas! Sesudah satu setengah tahun di hospital, saya pindah ke Firdause Policlinic.

Di Klinik, keuntungannya tidak ada dinas malam dan jam kerjanya lebih ‘pendek’ (karena tidak ada hand over responsibilities). Akan tetapi perhitungan dan sangkaan saya meleset! Melayani orang-orang Badui Kuwait, di wilayah di mana klinik tersebut berada, pusingnya bukan main. Bagi staf Firdause Clinic, orang-orang ini tergolong sulit diatur. Ngurusin orang-orang ini, tidak kalah repotnya dengan merawat kasus Bed-ridden pasien jompo di hospital. Sudah dipotong hospital allowance KD 10, sibuk setengah mati dengan orang-orang Badui di Firdause lagi! Perkiraan saya semula bahwa ‘firdause’ berarti ‘surga’, lenyap, begitu mengetahui klinik ini. Tapi apa mau dikata?

*****

Awalnya, tempat tinggal saya di Salmiyah, sekitar 20 km dari Kuwait City. Tinggal bersama orang-orang Indonesia, ada plus minusnya. Saya tidak perlu jelaskan nilai keuntungannya. Tapi kerugiannya, sekaligus sebagai kritik, sebagian di antara kita kurang pandai memelihara atau sulit ‘diatur’. Segala fasilitas hidup disediakan. Bahkan tiga bulan pertama, yang namanya makanan tetap disediakan oleh pihak Ministry. Transportasi juga ada.

Namun dalam jangka waktu itu pula kerusakan mulai timbul di mana-mana. Karpet jadi usang, kotor, perabotan, kursi, almari, bufet (padahal semuanya baru) tidak sedikit yang malah patah hingga rusak. Belum lagi kamar mandi yang warnanya mulai kecoklatan, dapur yang penuh minyak, kompor listrik yang mulai gelap karena tidak pernah digosok dsb. Daftar bersih-bersih dan masak serta memelihara flat yang semula disepakati, tidak lagi jalan. Sebagai manusia biasa yang juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, saya akui terlibat di dalamnya. Akan tetapi, begitu mendengar Housing Supervisor bilang bahwa: “Indonesians spoil our housing facilities!” Hati ini jadi terluka!

Satu lagi hal yang disesalkan terjadi adalah, beberapa rekan-rekan kita tidak mau melunasi hutang yang mestinya dibayar kepada PT Putra Pertiwi. Agen yang telah berjasa besar memberangkatkan kita ke luar negeri. Padahal Bapak Kemal Idris, Manager agen tersebut, beberapa kali datang ke Kuwait. Nyatanya, tidak membuat hati kita tersentuh untuk membayar hutang kita! Saya percaya, sampai sekarang pun, nasib ijazah teman-teman yang belum bayar, terkatung-katung, entah di bank mana. Karena PT Putra Pertiwi sudah bubar!

*****

Hampir tiga tahun sudah terlewati. Perlahan-lahan, seperti saya ceritakan di atas, bahwa uang tidak bisa membeli segalanya. Beban kerja yang berat, rasa kangen dengan keluarga, sosio kultural masyarakat yang berbeda, dratisnya perubahan iklim, adalah beberapa yang bisa saya sebut, yang membuat sebagian orang kita tidak kerasan di Kuwait. Maka, satu demi satu nurses kita berguguran. Pada tahun ketiga jumlah kami menurun sebanyak 50 orang alias 33%. Sebuah angka yang sebenarnya tidak sedikit dibandingkan dengan nurses dari negara-negara lain yang presentasinya jauh lebih stabil.

Guna mempertahankan kekuatan ikatan profesi inilah kemudian kami dirikan Asosiasi Perawat Indonesia di Kuwait (APIK) yang kemudian kami Inggriskan menjadi Indonesian Nurses Association in Kuwait (INAK). Saya diberi amanah untuk menjadi Presiden yang pertama.

Menyadari pentingnya organisasi dan peningkatan kompetensi profesi ini, dengan dibantu teman-teman yang aktif seperti Nurhadi, Amir Mahmud, Judi Nugroho, Supiani, Yudi Sri Mulyadi, Nasukha, Uus Kusmana, Ida Kusriati.....dan masih banyak lagi...kami berlayar jauh. Kehidupan profesional kami mulai terasa berubah. Kehidupan profesional kami terasa lebih indah. Perayaan HUT RI, Maulid Nabi, Lebaran, World Nursing Day...semuanya ditangani oleh INAK. Dan yang paling menggembirakan adalah beberapa kali diselenggarakan seminar (Bahasa Inggris) dengan mengundang sejumlah nurses dari Filipina, India atau Arab, membuat kami merasa eksis. Dalam setiap kesempatan tersebut, kami undang ‘penggede-penggede’ nursing di Kuwait. Official Language bagi pengurus INAK adalah Inggris. Bendera Indonesian Nurses in Kuwait pun saat itu ‘berkibar’.

Kami menjalin kerjasama yang baik sekali dengan pihak KBRI. Ibaratnya, tidak ada kegiatan yang terlewatkan tanpa keikut-sertaan kami di dalamnya. Kami bikin kalender INAK, kaos bertuliskan INAK, bazar, aktif dalam pengajian, olah raga, kesenian, silaturahim antar region, lomba kebersihan, best Indonesian nurse contest, serta masih banyak lagi kegiatan yang bertujuan untuk mengusir ‘kesunyian’ dan menyemarakkan suasana. Kita bisa bikin ‘Indonesia’ di bumi Kuwait.

*****

Ada saatnya berpikir, bahwa kehidupan profesi saya jika tetap bertahan di Kuwait, akan mandeg. Saya tidak melihat jendela pengembangan profesi bagi ekspatriat terbuka lebar. Cermin itu terhampar jelas di depan kelopak mata. Orang-orang India, Pakistan, Filipina, Banglades dan Arab, puluhan tahun tinggal dan bekerja di sana tanpa mengalami perubahan profesionalisme. Training tidak, apalagi sekolah!

Atas dasar ini, kemudian saya harus mencari jalan keluar bagaimana caranya agar Kuwait bukan negara pertama, sekaligus terakhir saya di luar negeri. Maka, sambil berlibur waktu itu, yang saya manfaatkan melaksanakan selain ibadah Umroh, juga pergi ke negara lain. Tujuan saya adalah United Arab Emirates (UAE). Saya dengar dari beberapa sumber bahwa UAE lebih terbuka. Ada kesempatan besar untuk berkembang.

Tanpa menunda waktu, saya urus visit visa ke sana. Pada kesempatan yang sama saya juga berkunjung ke Pakistan, sekedar ingin tahu bagaimana rupa negara Mohammad Iqbal, sastrawan legendaris Pakistan ini.

Tapi jangan dikira bahwa keliling ke tiga negara pada saat itu karena saya punya duit banyak. Tidak! Bagi saya, yang penting ada transport pesawat, sudah lebih dari cukup. Di Pakistan saya mengunjungi beberapa kenalan. Saya menengok pelayanan kesehatan di daerah terpencil, rumah sakit di dekat perbatasan Afghanistan, serta menemui beberapa nurses. Orang Pakistan ramah-ramah. Saya nyaris tidak perlu bayar pondokan. Bahkan makan minum juga bukan persoalan. Ujung dari perjalanan ini saya tuangkan dalam beberapa artikel. Di antaranya Balada Muslim Pathan, Ramadan di Pakistan serta Nikmat Haji Lewat Darat.

Di UAE selama 5 hari. Hanya dua hari di antaranya saya hanya nginap di hotel murah. Selebihnya tinggal pertokoan yang belum jadi. Memang nggak gratis, tapi murah sekali. Saya ketuk semua pintu-pintu healthcare provider di UAE. Milik pemerintah federal, lokal maupun swasta. Dari Dubai hingga Abu Dhabi. Alhamdulillah ada buahnya. Tapi tidak seketika. Sesudah satu bulan kepulangan saya dari UAE, saya mendapatkan panggilan. Bukan untuk diterima, namun test. Betapa senangnya waktu itu. Segera saya urus visit visa lagi ke UAE Embassy di Kuwait City. Alhamdulillah, bukan hanya berhasil dalam perolehan visa saja, namun juga pekerjaan saya dapatkan.

Tanpa menunda lebih lama, karena saya tahu bagaimana proses resignasi di Kuwait yang berbelit dan bertele-tele, saya mengajukan emergency resignation. Saya tidak peduli meskipun end of service benefit tidak saya dapat, hingga saat ini. Toh, saya akan dapat jauh lebih banyak ketimbang sekedar satu setengah bulan gaji di sana nantinya. Saya tiggalkan Kuwait di tahun 1996.

*****

Saya adalah the first Indonesian nurse di UAE. Asing? Tidak juga! Tiga setengah tahun di Kuwait cukup bagi saya sebagai bekal tinggal di negeri lain. Apalagi sama-sama Arab. Tapi UAE, khususnya Dubai memang beda. Bahasa Arab tidak dominan. Malah menguasai Bahasa Hindi dan Inggris lebih penting dari pada Arab dalam kehidupan sehari-hari.

Saya bekerja di sebuah klinik Occupational Health, di garasi besar milik pemerintah lokal: Dubai Government Workshop (DGW). Ketika saya datang, yang ada di klinik hanya satu meja berikut kursinya dan satu tempat tidur . Saya tertantang untuk memulai pekerjaan baru dari Nol.

Saya benahi klinik tersebut agar nampak seperti klinik. Mulai dari perlengkapan kantor, peralatan medik dan perawatan, obat-obatan serta administrasi. Secara perlahan namun pasti, klinik yang saya rencanakan akhirnya established. Dubai Government Workshop Occupational Health Clinic, begitu papan nama yang saya canangkan, terpampang di depan klinik kami. ‘Lucunya’, saya lebih akrab dipanggil ‘doctor’ ketimbang ‘nurse’ oleh lebih dari 500 karyawan di sana. Saya sendirian yang menangani pelayanan kesehatan di garasi tersebut, sebelum satu orang Indonesia lainnya bergabung. One man show boleh dibilang.

Lambat laun, Indonesian nurses mulai berdatangan, direkrut oleh Pemerintah Federal. Tiga, sepuluh, dua puluh, hingga angkanya mencapai sekitar 150 orang di seluruh UAE, terpencar di 7 negara bagian. Impian untuk mewujudkan Indonesian Nurses in UAE terhambat. Saya tidak melihat greget yang besar di antara kolega kita. Mungkin karena kesibukan atau apa, saya kurang tahu. Jumlah ini pun, tidak sampai empat tahun ke depan, merosot tajam.

Kami, masyarakat Indonesia, membentuk Indonesian Moslem Association (IMA) di UAE. Bersama-sama Nurhadi, salah seorang senior nurse kita di UAE, Susanto, senior teknisi, Cucuk, serta saya sendiri adalah motornya. Sekitar 8 tahun saya gabung dengan IMA dan duduk sebagai koordinator bidang Education & Training serta Publikasi. Kami menerbitkan majalah bulanan dan saya sebagai salah satu penulis tetap yang aktif. Lewat organisassi sosial ini, kami kembangkan berbagai aktivitas sosial yang positif. Saya juga aktif gabung dengan Indian Islamic Center (ICC). Tulisan di rak-rak perpustakaan mereka, adalah buah tangan saya. Saya lah yang mengurusi P3K jika ada kegiatan akbar. Di sana saya banyak belajar tentang Islam di India serta seluk beluk organisasi mereka.

*****

Rencana studi jalan terus. Biaya sekolah yang mahal tidak mengurangi minat saya untuk mencapai tujuan ini. Boleh dikata sambil puasa. Di Dubai, memang banyak sekali perguruan tinggi internasional termasuk kantor-kantor cabang yang melayani part time study atau distance learning. Mulai dari USA, UK, Australia hingga India. Kita tinggal pilih. Saya pilih universitas Australia yang biaya kuliahnya masih terjangkau.

Latar belakang kuliah Bahasa Inggris dulu sangat membantu kelancaran studi. Hari-hari saya sejak kerja sambil kuliah, penuh kesibukan, dari pagi hingga malam hari. Di perjalanan ke kantor, selama kerja, jika ada sela-sela waktu, saya selalu sempatkan untuk membaca atau mengerjakan assignment.

Waktu pun berlalu cepat. Sesudah menyelesaikan jenjang S1, saya teruskan ke Program S2. saya mengambil Nursing Education. Strategi yang saya gunakan selama studi adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menerapkan apa yang saya dapat dalam buku ke lapangan. Jadi yang namanya interaksi dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia berlangsung terus. Bahkan praktek-praktek lapangan serta penelitian saya lakukan di beberapa Akper di Jawa Timur.

Sementara di tempat kerja, nyaris tidak ada kendala yang berarti. Apalagi di bawah kendali saya. Semua data-data statistik serta segala sesuatu untuk keperluan Nursing Research bisa saya peroleh dengan mudah. Demikian pula misalnya soal health promotion, nursing education yang membutuhkan praktek lapangan. Gampang sekali mendapatkan sasarannya.

Sebagai satu-satunya orang Indonesia di tempat kerja (sebelum rekan lainnya datang), didukung kemampuan Hindi dan Arabic, saya bisa menempatkan diri dalam posisi yang netral. Kerjasama dengan atasan dan pasien berlangsung mulus sampai saya bisa menyelesaikan kuliah. Dan di situlah puncaknya. Ada satu lagi orang Indonesia yang juga besar minat belajarnya dalam pengembangan profesi ini yang juga menyandang gelar S2 dan lulus satu semester di bawah saya. Di pula yang dikemudian hari menggantikan posisi saya sebagai Charge Nurse di DGW, sesudah saya pindah kerja.

*****

Saya memang berencana untuk pindah dan mencari kerja lagi sesudah merampungkan S2 ini. Begitu mendaptakannya, ‘perburuan’ dimulai. Saya mendaftarkan diri sebagai Occcupational Health Nurse Supervisor di Dubai Electricity & Water Authority (DEWA). Semacam PLN di negeri kita. Dari 250 pelamar, alhamdulillah hanya saya yang diterima. Informasi ini saya peroleh dari seorang engineer, sesudah saya masuk dan jadi karyawan. SG Govardhanan orangnya. Seorang Chemical Engineer yang dikemudian hari menjadi kolega kerja saya. Kembali lagi, saya satu-satunya Indonesian di DEWA di antara 8000 lebih karyawan yang ada. Saya tidak habis mengerti, mengapa organisasi sebesar DEWA tidak pernah dilirik oleh teknisi atau sarjana-sarjana listrik kita?

Saya bekerja di bawah naungan Occupational Health & Safety Department. Benar-benar tantangan baru bagi saya. Saya satu-satunya nurse yang dipercaya untuk ‘membuka’ program Occupational Health di situ, di tengah-tengah insinyur teknik listrik dan kimia. Selain itu, sekitar 20 Contractor nurses juga di bawah pengawasan kerja saya. Site visit ke tempat-tempat instalasi listrik yang besar, mengunjungi proyek-proyek serta observasi terhadap pelayanan kesehatan yang disediakan oleh para kontraktor, health education, evaluasi fitness to work adalah bagian dari kerjaan saya.

Boleh dibilang, saya bekerja independent. Tidak ada orang yang campur tangan terhadap apa yang saya lakukan. Itu kelebihannya. Kekurangannya, dan ini faktor terbesar yang mempengaruhi kepuasan kerja saya adalah, supervisor saya bukan orang yang memiliki latar belakang kesehatan. Akibatnya, rencana-rencana program saya ‘dikesampingkan’. Dia lebih mengutamakan program yang terkait dengan kelistrikan ketimbang kesehatan. Wajar! Begitu pikir saya. Tapi apa tujuan merekrut saya jika demikian?

Manajemen DEWA bagus. Training karyawan mereka perhatikan. Dalam tahun pertama saya di sana saja, tidak kurang dari 8 kali training yang saya dapatkan. Satu di antaranya International Occupational, Safety and Health (IOSH), di sebuah hotel berbintang lima selama seminggu. Subhanallah. Manusia memang selalu merasa kurang puas dengan apa yang ada. Termasuk yang saya alami. Saya tidak mampu membedakan apakah saya ini orang yang kurang pandai bersyukur ataukah tuntutan berkembang secara profesional adalah fardhu ‘ain, wajib hukumnya? Jika yang terakhir ini pilihannya, maka jika saya tetap di DEWA, meski gaji memadai, bahkan setingkat dengan para engineer, harus menunggu sampai kapan?

*****

Ringkasnya, saya mencari peluang baru lagi. Dan itu saya ketemukan di Qatar Petroleum (QP). Sebuah perusahaan kaya, yang saya dengar dari beberapa rekan-rekan saya ex-Kuwait yang sudah bergabung lebih dahulu. QP menjanjikan ‘kehidupan profesional’ yang lebih baik. Saya tergiur untuk mencobanya.

Saya pun dipanggil. Tidak sendiri. Sejumlah Indonesian nurses lainnya pula ikut serta. Lulus interview di Dubai. Namun ada penundaan, hingga satu tahun. Saya sabar. Orang sabar adalah kekasih Tuhan. Prinsip ini jadi melekat dalam kehidupan saya. Saya mencoba untuk bisa mengaplikasikannya, meski tidak selalu berhasil. Pasti ada hikmahnya.

Benar. Ketertundaan pemberangkatan ke Qatar bukannya tanpa hikmah. Penundaan ini yang membuat saya yang semula direkrut pada posisi Senior Nurse, beralih ke Occupational Health-Chief Nurse.

Tanggal 26 Juni 2007 merupakan hari terakhir saya bekerja di DEWA. Sehari sebelumnya, saya, beserta seorang rekan, Joby, Electrical Engineer, yang juga resign bersamaan, yang juga bekerja di Qatar saat ini, diundang departemen makan siang bersama di sebuah rumah makan India. Kami tinggalkan DEWA dengan kesan yang dalam. Seperti halnya IMA, DEWA juga menghadiahkan sebuah jam tangan sebagai pengingat. Agar sebagai insan yang fana ini, tidak lupa, bahwa begitu berharganya sang waktu.

*****

Hidup ini memang tidak sempurna. Apalagi yang namanya tempat kerja. Saya sudah 7 kali pindah. Dari Pasuruan, Lawang, Malang, ‘Nganggur’ di Trenggalek, Mubarak Al Kabeer Hospital, Firdause Clinic (Kuwait), DGW, DEWA (UAE), serta saat ini di QP (Qatar). Meski demikian, saya bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bisa memilih mana yang terbaik.

Setiap kali pulang cuti, saya selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbagai. Ketika saya kirim artikel ini ke anda, saya akan berangkat cuti ke Indonesia malam harinya. Dua Akper Unggulan di Jawa Timur sedang menanti saya dengan sejumlah materi pembelajaran. Akper ini menerapkan sistem Bahasa Inggris sebagai Bahasa Pengantarnya. Sebuah perkembangan baru dalam dunia pendidikan nursing kita, yang saya bangga karenanya.

Saya menyadari, bahwa ada hak-hak orang lain dalam diri ini. Dengan keluarga, tetangga, masyarakat, rekan-rekan seprofesi, bahkan mahasiswa yang sedang belajar di bangku kuliah. Dari Bekasi-Jakarta, Yogyakarta, Blitar, Surabaya, Lawang, Malang, Lumajang hingga Jember. Dari UGM, UNBRA, UMM hingga UNEJ, saya sudah menjelajah. Saya percaya bukan kurma yang mereka harap. Juga bukan Dinar. Ada saja yang mengundang. Tidak jarang saya yang tertantang untuk menawarkan. Uang memang datang, tapi bukan itu target utama. Barangkali ada yang mencemooh. Tidak apalah. Nabi-Nabi utusan Tuhan saja dilecehkan umatnya. Apalah artinya manusia semacam saya?

Hidup di luar negeri bisa saja bersimbah harta. Hidup di luar negeri, pula bisa bermandikan fenomena. Acapkali kita tidak bisa melihat dari dekat orangtua, anak-anak, istri, saudara, tetangga atau teman yang sakit. Kita juga tidak bisa terlibat dalam keluarga yang punya hajat nun jauh di sana. Pun tidak ada istilah melayat. Apalagi yang namanya sunatan massal. Saya tidak mampu bersua ketika Ibunda kami dibaringkan di liang lahat, kecuali berdo’a. Suka duka kehidupan yang saya timba memang tidak mengenal suasana. Di Bumi Nusantara ataukah Timur Tengah. (Tamat).


Doha 30 July 2008

Shardy2@hotmail.com

Journey to the Profession (II)

Oleh: Syaifoel Hardy

Pada Bagian Pertama saya kisahkan bahwa keputusan untuk keluar dari Pegawai negeri (PN) sudah bulat. Keputusan ini tidak dibuat-buat. Suatu keputusan besar dalam hidup yang jarang sekali orang mengambilnya. Begitu mendapat status PN, kebanyakan dari kita tidak akan beranjak, hingga pensiun. Ada konsekuensinya: keuntungan dan kerugiannya.

Sebelum saya pindah, tentunya melewati proses. Kriteria tempat kerja saya waktu itu adalah: pertama manajemen perusahaan. Kedua akses perkembangan sebagai individu, anggota profesi dan masyarakat. Dan yang ketiga kemungkinan meneruskan pendidikan.

Lewat kenalan yang juga seorang guru perawat, akhirnya saya mendapatkannya. Alhamdulillah, hanya sehari proses.Tempat saya kerja adalah SPK milik sebuah yayasan terkenal di Kota Malang. Sebenarnya, dengan Pimpinan SPK nya pun saya sudah kenal lama. Jadi, tidak ada masalah. Perbedaan agama saya dengan agama yang diemban oleh yayasan ini juga bukan persoalan. Saya bisa melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim.


*****

Memasuki dunia kerja di lingkungan yang baru, kali ini adalah yang ketiga saya alami, otomatis tantangan baru lagi. Alhamdulillah tidak mengalami kesulitan. Malah tanggungjawab besar yang saya emban justru jauh lebih ringan ketimbang tempat kerja sebelumnya. Saya dipercaya langsung untuk menangani Bidang Kurikulum. Bagian dari pendidikan yang amat penting peranannya. Saya yang merencanakan seluruh program pembelajaran serta rencana kerja satu tahun (Baca: Kalender Pendidikan). Saya pula yang menangani Praktek Lapangan. Kedua-duanya saya jalani dengan senang hati. Saya tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri di tempat kerja yang sebenarnya ‘asing’ ini. Itu karena saya sudah kenal semua staf pengajarnya, jauh sebelum kerja di situ.

Tidak lama pula setelah bekerja, saya merasa telah berhasil ‘mengambil hati’ pimpinan sekolah dengan prestasi kerja saya di sana, meski keuntungan finansial tidak bedanya dengan yang saya dapatkan sewaktu jadi PN dulu. Tapi, sekali lagi, bukan uang tujuan utama saya. Begitu ‘settled’, saya langsung mendaftar ke sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di kota Malang, untuk belajar lagi. Saya menyadari betul, bahwa tuntutan Guru Perawat di masa depan, besar sekali. Peningkatan mutu pendidikan seorang guru tidak bisa ditawar lagi. Jurusan yang saya ambil sesuai dengan minat saya adalah Pendidikan Keguruan Bahasa Inggris.

Kerja sambil kuliah dengan penghasilan yang pas-pasan cukup bikin saya kalang-kabut. Saya harus bikin strategi bagaimana caranya agar kerja tetap lancar, kuliah maju dan pemasukan memadai. Beberapa alternatif bermunculan di benak ini.

Suatu pagi hari, ada seorang yang melamar untuk menjadi Guru Tidak Tetap di sekolah kami. Daftar Riwayat Hidupnya sempat saya baca. Yang menarik dari CV nya adalah, dilampirkannya artikel-artikel yang dimuat oleh beberapa media massa. Rupanya, disamping mengajar, guru tersebut rajin menulis. Sesuatu yang pada akhirnya menginspirasi jiwa saya. Tanpa menunda, saya mulai belajar menulis. Satu, dua, tiga media massa saya tembusi, baik itu umum maupun kesehatan. Bahasa Indonesia maupun Inggris. Artikel pertama saya berjudul ‘Singosari and the Artifact’ dimuat di Majalah Hello, sesudah saya mengirim tidak kurang dari 8 kali!

Memasuki semester ke-3, saya memberanikan diri untuk mengajar Bahasa Inggris di SPK. Saya katakan kepada Pimpinan bahwa saya bisa menyampaikan materi Bahasa Inggris sesuai dengan kebutuhan siswa. Itu lebih baik. Bahasa Inggris diajarkan oleh Perawat, bukan dosen IKIP. Ide saya diterima. Betapa senangnya waktu itu. Saya juga mendirikan kursus-kursus private di tiga tempat. Di samping mengajar di SPK tersebut, saya juga melakukan hal yang sama di SPK negeri lain di Malang dengan materi pembelajaran yang berbeda.

Maka, sempurnalah kesibukan saya. Mengajar di dua tempat, memberikan kursus 3 tempat, kuliah sore hari, aktif menulis di berbagai media selain koran kampus, serta aktif dalam kegiatan Orari Berbahasa Inggris. Pemasukan keuangan jadi lancar. Tapi yang namanya waktu: kayak mengejar maling! Meskipun demikian, alhamdulillah kuliah saya tidak pernah terganggu. Bahkan indeks prestasi saya rata-rata selalu di atas 3.5, sebuah prestasi yang jarang diperoleh mahasiswa biasa. Tidak ada istilah santai dalam kamus saya waktu itu. Di kampus saya hanya ingin selalu berbahasa Inggris dengan mahasiswa atau dosen. Saya tahu, pendekatan seperti ini berakibat saya tidak memiliki ‘banyak teman’ di kampus. Tidak masalah! Tujuan saya adalah belajar, bukan main-main. Uang yang saya keluarkan buat kuliah adalah hasil kucuran keringat yang tidak gampang. Maka, kenapa harus saya sia-siakan? Sebuah sikap yang amat tidak bertanggung-jawab!

*****

Pada satu kesempatan, di papan pengumuman RS kami (SPK berada dalam kompleks RS), terpampang lembaran pengumuman dari Departemen Kesehatan (Depkes) tentang kesempatan kerja di luar negeri bagi perawat. Kementrian Kesehatan Kuwait akan datang merekrut perawat Indonesia. Hati dan pikiran saya tergelitik untuk mencobanya. “Kesempatan?” Begitu bisikan hati ini. Tapi bagaimana dengan kuliah saya yang enam semester sudah hampir selesai ini? Ah, sambil jalan saja akan saya coba jalani.

Kegiatan rutin berjalan terus dan mulus. Sementara itu, tekad untuk mendaftar tidak juga goyah. Saya juga ajak beberapa kolega yang berminat. Ada beberapa yang ingin mendaftar. Mereka ini di kemudian hari juga jadi peserta kursus di bawah binaan saya. Niat saya tidak surut. Saya kumpulkan syarat-syarat yang diminta, hingga suatu saat datang panggilan guna mengikuti pelatihan di Surabaya selama dua pekan. Bagaimana dengan ijin kerja saya? Konflik batin tidak terhindarkan!

Beberapa kali saya mencoba untuk mencari alasan bagaimana agar pimpinan sekolah bisa merilis saya dalam rangka mengikuti program pelatihan ini. Kalau saya bohong berarti dosa, tapi jujur sama halnya dengan bunuh diri! Dilematis sekali. Ini saya ketahui karena saya tahu betul watak pimpinan kami. Beliau sangat baik dengan saya. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa di antara rekan-rekan se kantor, sayalah yang paling ‘disenangi’. Saya tidak ‘GR’. Namun demikianlah kenyataannya. Dalam setiap business travel misalnya, beliau selalu memberikan oleh-oleh buat saya, bukan untuk lainnya. Ada saja bentuknya.

Sebagai seorang bujangan yang kontrak rumah, beliau juga tidak segan-segan pesan makanan di bagian Gizi kami untuk diberikan kepada saya. Saya terima segala niat baiknya dengan senang hati. Barangkali beliau memang tahu, bahwa dalam soal kerja, saya juga tidak main-main. Sejumlah program inovasi saya sampaikan kepada beliau agar kualitas sekolah ini baik. Berbagai ide baru saya tawarkan. Sebanyak itu pula biasanya beliau setujui misalnya tentang perencanaan pengajaran satu tahun, sistem kerja praktek lapangan, seminar, distribusi mata pelajaran, penilaian guru-guru yang kurang aktif, rencana pembelajaran, sistem pelaporan, dsb.

Seratus persen saya yakin, jika saya kemukakan apa adanya, beliau pasti tidak setuju tentang kerja di luar negeri ini. Dan benar! Saya harus katakan secara jujur. Saya mohon ijin untuk mengikuti program pelatihan ini di Surabaya. Beliau ‘kaget’! Tentu jawabannya: “Tidak!”. Saya mencoba negosiasi. Bagaimana jika ijin tidak masuk kerja tanpa gaji? Tidak ada kompromi!

Akhirnya, tidak ada pilihan lain. Saya percaya diri, bahwa perolehan kerja bagi saya bukan masalah. Saya bisa dapat pekerjaan di banyak tempat. Saya merasakan waktu itu dedikasi saya selama empat tahun di organisasi diabaikan. Kebaikan beliau terhadap saya selama ini itu saya akui. Tapi menghalangi perkembangan saya sebagai individu dan anggota profesi adalah pelanggaran prinsip yang saya tidak bisa terima. Maka saya putuskan: keluar dari tempat kerja. Emergency resignation!

Gempar! Itulah kesan saya begitu seluruh RS mendengar keputusan saya. Apalagi bagi siswa. Sekedar tahu, saya merupakan pengajar favorit di hadapan mereka. Prestasi di SGP bukan sekedar di atas kertas, tapi saya terapkan di depan kelas. Saya implementasikan sistem pengajaran yang menarik dan variatif sehingga tidak membosankan bagi siswa. Di situlah letak kepuasan saya, bisa menarik minat belajar mereka.

Saya dipanggil Direktur RS. Tidak juga goyah. Keluar dari yayasan, tanpa pesangon, tanpa surat pengalaman kerja. Dua lagi pelanggaran yang mereka lakukan bagi saya yang sebenarnya memiliki hak-hak sebagai karyawan. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak mau menyandarkan kualitas hidup ini di atas kertas. Kepergian saya hanya diiringi tangisan siswa. Ah! Beginikah ujung dari permulaan karir saya?

Padahal waktu itu memasuki kuliah semester tujuh. Sebenarnya sudah hampir rampung. Skripsi sudah saya rencanakan. Tapi ada rencana yang jauh lebih penting ketimbang selembar ijazah sarjana. Pekerjaan, mengajar di dua tempat, kuliah dan kursus privat, semuanya saya tinggalkan demi membuka harapan baru: ke luar negeri.

*****

Saya berangkat ke Surabaya. Hari-hari jadi indah bersama rekan-rekan sejawat se Jawa Timur yang berniat meraup Dinar di negeri seberang. Dipandu oleh dosen-dosen IKIP Surabaya serta sejumlah instruktur lokal, kami ditempa selama dua pekan di RS Islam Surabaya. Semua fasilitas ditanggung penyelenggara. Berbekal kuliah Bahasa Inggris, saya memberanikan diri untuk membantu rekan-rekan yang kurang mampu. Semacam ‘guru kecil’. Dua pekan pun jadi cepat berlalu. Dan kami balik ke kampung menunggu perkembangan.

Sambil menghitung waktu, begitu pulang ke tempat masing-masing, kami sepakat untuk belajar Bahasa Inggris bersama. Saya dipercaya menjadi tutor dengan sejumlah honor. Satu, dua, tiga dan entah berapa kali pertemuan sudah, panggilan juga tidak kunjung datang. Malah berita tidak enak yang kami dengar: Perang Teluk I. Kuwait, negara tempat kami bakal bekerja, diserang pasukan Saddam. Adalah ini hikmah? Allah Maha Benar akan segala rencana.

Kalutkah saya dengan penundaan ini? Sesaat, ya! Tapi hidup dan perjuangan harus jalan terus. Teman-teman peserta masih ada saja yang tetap optimis. Dan peran saya untuk menjadi motivator mereka kayaknya besar. Kursus di bawah binaan saya jalan terus. Surabaya, Mojokerto, Kediri, Blitar, Tulungagung. Saya dipanggil datang bergiliran di berbagai tempat. Kegiatan ini mampu mengusir kegelisahan saya akan penundaan ke luar negeri dan membasahi kantong yang nyaris kering ini.

*****

Rejeki bukan hitungan matematika. Sebaliknya, harus dicari. Kesabaran bukan pula ilmu alam, tetapi bisa dipelajari. Demikianlah yang terjadi pada saya. Tantangan hidup jadi lebih besar kali ini: ‘menganggur’. Sebuah status yang tidak enak didengar. Bagaimana tidak saya katakan sebagai pengangguran, sementara pecahnya Perang Teluk bikin saya ngambang. Berangkat atau tidak, tidak ada yang mampu menjawabnya. Mau melamar bekerja, takut tiba-tiba datang panggilan. Tapi tidak kerja, saya butuh penghasilan. Dilematis sekali.

Yang saya tempuh kemudian adalah: aktif menulis terus, tetap memberikan kursus, dan....inilah yang kemudian juga jadi masalah: saya ikut membantu teman, yang sebenarnya juga peserta pelatihan, dalam praktik keperawatan di sebuah desa terpencil di ujung selatan Trenggalek. Sebuah petualangan baru yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

*****

Saya tidak perlu menceriterakan bagaimana bisa kenal dengan seorang sejawat di daerah pelosok Trenggalek, sekitar 6 jam perjalanan dari tempat tinggal saya. Terlalu panjang untuk dikisahkan di sini. Namun, sebagaimana tertuang dalam bab terdahulu, kolega saya tersebar di 29 kabupaten di Jawa Timur. Jadi, Trenggalek atau Banyuwangi, tidak ada bedanya.

Semula berat untuk menyampaikan masalah ‘status pengangguran’ ini kepadanya. Alhamdulillah, dia tidak keberatan saya membantu melayani pasien-pasiennya yang cukup ‘lumayan’ banyak. Jika dia kerja, saya yang melayani mereka di ‘klinik’ rumahnya. Lambat laun, pasien-pasien ini banyak mengenal saya. Saya jadi ‘kikuk’, karena rekan saya tidak mau menerima uang jasa yang pasien berikan kepada saya.

Atas berbagai pertimbangan, saya minta ijin dia untuk ‘membuka usaha’ sendiri di lain tempat, jauh dari tempat dia praktik. Orang Jawa umumnya enggan untuk berkata ‘Tidak!’ Dia mengangguk, tanda setuju. Entah dengan terpaksa atau tidak, saya mengharap sebuah keputusan. Pulanglah saya, kemudian kembali lagi ke Trenggalek, di daerah lain yang bisa menerima keberadaan saya.

Bekal ilmu keperawatan komunitas, sosiologi serta segenggam pengalaman, menyertai episode perjalanan baru dalam profesi ini. Waktu itu, isyu UU Praktik Keperawatan belum sesanter tahun-tahun terakhir ini. Alhamdulillah, seorang kepala desa, lewat jasa salah satu pasien saya, memberikan ijin untuk tinggal di sana. Ijin lisan dari seorang Kepala Desa ini, saya anggap sebagai ‘legalitas’. Waktu itu tenaga kesehatan memang masih langka. Apalagi di daerah seperti Trenggalek Selatan. Bergunung, berbatu, transport sulit, dan sarana serta prasarana kesehatan masih minim. Jadi, eksistensi profesi kesehatan, amat dibutuhkan.

Laris! Begitu kata singkat yang bisa saya katakan jika apa yang saya kerjakan adalah ‘bisnis’. Mulai pagi hingga malam hari. Ada saja orang yang membutuhkan tenaga saya. Namun jangan harap bahwa pergi ke sana-sini dengan menggunakan sarana transportasi. Sepeda motor saja tidak bisa jalan. Apalagi mobil! Hampir setiap pekan saya beli sandal atau sepatu baru. Jalan 10 km bukan lomba maraton bagi saya, malainkan keseharian. Naik-turun gunung juga kebiasaan. ‘Senjata’ saya adalah: tas praktik, payung dan senter. Saya jadi ‘terkenal’ di daerah tersebut dan sekitarnya. Sesuatu yang bikin kolega lain jadi (maaf!) iri!

Sebagai satu-satunya tenaga perawat di daerah tersebut, saya membaur dengan masyarakat. Ikut kerja bakti, pengajian, bertamu apabila ada yang punya hajat, melayat kematian, ikut serta membantu mereka yang mendirikan rumah, dan banyak lagi ‘strategi’ yang saya tempuh agar saya bukan seperti ‘benda asing’ di wilayah orang lain. Alhamdulillah, kiat ini berhasil. Banyak orang desa tersebut yang juga sudah mengunjungi rumah saya beramai-ramai. Malah perabotan seperti meja belajar, pintu rumah, perbaikan genteng dan masih banyak lagi, merupakan hasil karya mereka,

Saya merasa dekat sekali dengan masyarakat. Begitu dekatnya seolah jejak langkah-langkah kaki saya di pegunungan bisa ditebak. Gesekan dedaunan akibat senggolan tubuh saya ketika berjalan cepat di pinggiran rumah penduduk pun, didengar. Subhanallah. Sepertinya saya berlebihan. Namun demikianlah kenyataannya. Setiap malam, dalam obrolan ba’da Maghrib, saya selalu ada di antara mereka. Jikapun tidak muncul, ada saja yang mencari.

Pingin tahu di mana saya tinggal? Di rumah paling atas di antara 8 rumah di sebuah gunung, Butak namanya. Dari rumah kami, sekitar 500 meter lagi jalan menanjak, saya bisa berada di puncak gunung. Dari sana kita bisa melihat dasyatnya gelombang ombak Lautan Indonesia. Alhamdulillah, tinggal di daerah terpencil seperti ini, ternyata tidak mengurangi niat masyarakat untuk berlajan dan mencari saya. Jarak 10 km jalan kaki dari tempat saya tinggal, mereka tempuh. Subhanallah!

Terkadang, kepala keluarga, rumah di mana saya tinggal (gratis), bertanya kepada saya: “Sampai kapan Bapak tinggal di sini?” Dalam keheningan malam, tanpa listrik di hutan yang sepi itu, saya jadi tertegun. Pertanyaan bapak satu anak yang hanya lulusan SD itu, begitu menggugah. Dia tahu bagaimana saya berjuang selama ini. Dia berterus-terang, keberadaan saya di sana amat membantu penduduk karena tidak perlu dipikul jauh-jauh ke Puskesmas Kecamatan, yang memakan waktu dua jam perjalanan apabila ada yang sakit. Dia tahu bahwa masa depan saya juga harus dipikirkan. Dia paham benar bahwa saya sedang menunggu panggilan ke Kuwait.

Sungguh, hanya karena kebesaran Allah Ta’alah semata. Dalam status ‘nganggur’ saya justru mampu membantu orangtua secara finansial. Memberi uang saku adik-adik. Bahkan setiap bulan, ada saja wesel yang mengalir rutin atas nama Ibu, dari berbagai media masa. Itu belum terhitung seperti pembelian mesin ketik, kamera dan masih banyak lagi yang saya dapat duitnya dari hasil menulis. Ringkasnya, pendapatan saya dari dua sumber, sesudah berhenti memberikan kursus, hasil praktik dan menulis, mengalir lancar.

Tapi sampai kapan? Sebuah pertanyaan yang saya sendiri tidak sangggup menjawabnya.

*****

Suatu siang hari yang cerah, adik saya tiba-tiba datang. Dia begitu terkejut melihat medan di mana saya tinggal. Dia tidak pernah bayangkan bahwa di lingkungan seperti ini saya berada. Enam jam dari rumah, harus berjalan lagi dua jam dari jalan raya. Tidak ada ojek. Tanpa listrik, televisi, pipa air minum, sumur serta aneka hiburan lain. Dia terharu katanya, melihat saya. Walaupun bagi saya, tidak ada masalah. Dia datang membawa berita: Surat Panggilan dari Jakarta. Kementrian Kesehatan Kuwait akan tiba untuk merekrut perawat.

Singkatnya. Berita gembira ini sekaligus berita ‘duka’. Saya harus segera berangkat ke Jakarta. Ada tangis dalam hati saya. Hampir dua tahun tinggal di lereng Gunung Butak, mengukir kisah profesi yang tak terlupakan. Masyarakat desa setempat telah berjasa mendewasakan pola berpikir saya, bahwa di daerah terpencil serta pelosok pun, orang bisa menemukan kebahagiaan.

Malam harinya, kami mengadakan acara tasyakuran. Seluruh penduduk dusun itu datang di sebuah rumah pemuka Dusun di lereng Gunung Butak. Orang tua, anak-anak, pemuda-pemudi. Mereka memadati ruang tamu di mana kami berkumpul bersama. Ada jajan seadanya. Ada tawa segar. Ada sambutan hangat. Dan dalam Bahasa Jawa Trenggalek khas, ada pula salam berpisah serta doa.

Esok harinya, dengan di antar beberapa orang, termasuk pemilik rumah pondokan, saya berangkat. Sebagaimana biasa, jika saya pulang, dibekali kelapa, beras Tuton, kerupuk, kopi dan ayam. Di tengah perjalanan, saya tidak kuasa menengok kembali ke belakang. Entahlah! Saya begitu dihantui oleh tangis mereka pada akhir lembaran profesi ini di Gunung Butak. (Bersambung).


Doha 24 July 2008

Shardy2@hotmail.com

Journey to the Profession (1)

Oleh: Syaifoel Hardy
Sebagai warga Indonesia yang beragama, saya percaya sepenuhnya bahwa manusia merencanakan, Allah Yang Menentukan. Meski demikian, saya juga meyakini, bahwa hidup ini senantiasa didasari oleh pilihan. Pilihan adalah bentangan luas kesempatan. Kita diberi hak oleh Allah SWT untuk memilih mana yang terbaik. Ada kalanya kita dihadapkan pada suatu yang sulit sekali, dan ‘terpaksa’ untuk tidak memilih. Bagi mereka yang dewasa cara berpikirnya, melihat cela-cela kesulitan memilih ini, tersembunyi hikmah. Tidak terkecuali kesempatan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada saya dalam memilih profesi ini: Nursing. Sejuta kesulitan yang pernah dan tengah saya hadapi, sejuta kemudahan yang Dia kehendaki.

Journey to the Profession, adalah personal experience yang saya tuangkan dalam artikel ini bertujuan: pertama bernostalgia dengan masa lalu, dan yang kedua, saya berharap kita bisa memetik hikmah darinya.

Tulisan ini saya pilah menjadi tiga bagian. Pertama, mengisahkan latar belakang bagaimana awal saya memasuki profesi ini serta liku-liku yang harus saya jalani hingga mendapatkan pekerjaan. Bagian Kedua tentang sejumlah kiat yang saya tempuh guna merangkai masa depan menghadapi fenomena dunia keperawatan di Indonesia. Sedangkan Bagian Ketiga berkisar tentang perjuangan dalam meniti karir, utamanya sesudah bekerja di luar negeri.

*****


Bagian Pertama

Dibesarkan oleh keluarga yang kurang mampu, anak ke-delapan dari dua belas bersaudara, seperti halnya sebagian besar masyarakat pedesaan, saya mengalami masa-masa yang sulit. Untuk mendaftar sekolah SMP saja yang jumlah uangnya sebenarnya tidak seberapa, tidak kami punya. Entah apa yang dilakukan oleh kakak tertua saya, sehingga duit yang sebesar Rp 500 itu akhirnya diperoleh pada hari pemungkas pendaftaran. Kesulitan demi kesulitan selama tiga tahun menjalani sekolah menengah di sebuah yayasan milik Katolik di kota kecil kecamatan di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, harus saya hadapi.

Jangankan yang namanya uang saku atau transport sehari-hari, sarapan pagi saja saya terkadang harus puas jika makan ‘Karaq’ (nasi basi yang sudah dikeringkan kemudian dimasak kembali, dibubuhi garam dan atau kelapa). Sepatu olah raga yang saya kenakan, saya peroleh dari rongsokan kakak perempuan yang bekerja di sebuah pabrik Farmasi di kota kami. Kakak saya mengenakan sepatu Cat di laboratorium pabrik tersebut dan dapat jatah sepatu setahun dua kali. Ukuran yang lebih kecil dibanding kaki ini, tidak saya hiraukan. Guna membayar karcis masuk kolam renang sewaktu pelajaran olah raga, tidak jarang harus saya peroleh duitnya dengan membantu teman menulis pelajaran di bukunya. Setiap malam hari, saya mengajari sejumlah anak-anak tetangga, terkadang memijat Mbah Tun, nenek tua seberang rumah, berharap agar dalam saku ini ada yang bisa dirogoh.

Himpitan ekonomi yang demikian ini, membuat saya pada akhirnya tidak memilih untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum. Saya sadar sekolah umum menuntut tingkatan pendidikan lebih lanjut. Bapak kami, pensiunan pegawai sipil Angkatan Darat, menyarankan masuk sekolah kejuruan saja. Kantor Bapak yang dekat Rumah Sakit Umum (RSU) Malang, tempat di mana Sekolah Perawat tersebut ada, membuat beliau memiliki akses yang mudah guna mendapatkan prospektus pendaftaran. Saya pun didaftarkannya. Waktu itu AKPER belum lahir di Jatim.

Meski rumah kami lebih dekat dengan RS Jiwa ketimbang RSU di Malang, tapi entahlah, saya kurang tertarik kalau harus mendaftar sekolah di dekat rumah kami. Bapak memberikan ‘kebebasan’ untuk memilih. Saya lebih suka di RSU, bukan hanya lingkungan yang berbeda, namun juga lebih dinamis. Masuk Sekolah Perawat negeri, waktu itu, tidak seperti sekarang ini yang mahal dan tak terjangkau rakyat kecil seperti kami. Sekolah gratis, dapat makan, uang saku, bahkan jatah sabun cuci. Di Malang, ada tiga sekolah yang menawarkan pendidikan serupa. Masing-masing di bawah naungan TNI, RS Jiwa dan RSU. Kapan negeri kita bisa kembali ke kondisi seperti itu lagi? Wallahu a’lam!

Saat pengumuman penerimaan calon siswa baru tiba, bersama Bapak, saya ikut truk RS Jiwa yang melayani antar-jemput siswa perawat. Gratis pula! Di atas bangku truk, saya melihat sejumlah siswa Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Jiwa yang tengah duduk berderet rapi, menyisakan kebanggaan dalam benak ini, sekiranya saya nanti diterima. Dari 420 peserta tes waktu itu, 30 calon siswa terpilih. Sepuluh orang di antaranya laki-laki. Alhamdulillah saya bisa diterima. Doa kami terjawab!

*****

Awal tahun 80-an adalah masa-masa transisi antara SPR dan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Hampir setiap pengajar kami mengemukakan hal-hal yang sama. Bahwa kami diprogram untuk mampu ini dan itu. Fokus dititik-beratkan kepada pelayanan komunitas. Perubahan kurikulum yang demikian padat kami rasakan seperti dipaksakan. Dan kami, siswa, menjadi ‘korban’ kelinci percobaan. Maklum, kami waktu itu angkatan kedua. Jadi, boleh dibilang sistem administrasi, pengajaran maupun konsep yang diikuti oleh guru-guru, masih berjalan terseok-seok. Seingat saya, saat itu kita sudah mengalami 5 kali periode perubahan, sejak tahun 50-an, sistem pendidikan perawat. Mulai dari juru rawat, penjenang kesehatan, sekolah perawat, sekolah pengatur rawat dan SPK.

Tanpa bermaksud mengedepankan bahwa kami siswa ‘terbaik’, jujur saja bahwa rata-rata teman-teman sekelas saya adalah pelajar berprestasi di sekolah asal mereka, mulai dari Banyuwangi, Gresik, Lumajang, Blitar hingga Trenggalek. Bisa dibayangkan bagaimana kami berkompetisi dalam belajar untuk meraih prestasi di dalam kelas. Tempaan yang ‘keras’ gaya Belanda sudah biasa bagi kami.

Tapi kepinteran kami tetap membuat kami bungkam. Atau, mungkin karena sekolah ‘gratis’ inilah, sehingga kami tidak sanggup ‘bersuara’ manakala kami, disamping sekolah, terkesan ‘dipekerjakan’. Sebelum jam belajar, yang rata-rata dimulai pada jam 6.30 pagi, terkadang malah jam 6 pagi, kami harus masuk bangsal pasien terlebih dahulu. Ada juga yang bertugas di Kantor Pendidikan. Kami tidak lebih dari seorang Cleaning Service ketimbang pelajar. Bukannya merawat pasien atau belajar, kami malah membersihkan toilet, kamar mandi, mengepel, membersihkan jendela dan pintu hingga kantor pendidikan. Siswa pula yang menata meja kepala sekolah dan guru. Beberapa guru saya, ‘cerewet’ sekali. Mereka bahkan mengusap permukaan almari bagian atas untuk membuktikan apakah kami benar-benar melakukan tugas atau tidak. Saya pikir semula, bahwa memang inilah bagian dari pekerjaan perawat. Jadi, no problem!

Suatu hari saya bertugas di Ruang 11, Penyakit Dalam. Seperti yang saya ungkapkan di atas, bahwa kami melakukan tugas layaknya tukang bersih-bersih. Waktu itu saya kebagian ‘belakang’ (Baca: WC dan kamar mandi). Anda tahu sendiri, di ruang penyakit dalam yang waktu itu namanya kebersihan masih belum menjadi prioritas utama agenda RS. Kerja perawat merangkap ini dan itu. Mulai dari kerjaan dokter, administrasi, petugas gizi, pembantu hingga tukang bersih-bersih. Dalam hati saya ‘menangis’: “Mengapa saya harus melakukan pekerjaan seperti ini?”

Alhamdulillah, di tengah-tengah kerja, saya masih ingat dengan petuah Bapak. Bahwa apa-apa yang kita cintai dalam hidup ini belum tentu yang terbaik bagi kita. Sebaliknya, hal yang kita benci, belum tentu tidak membawa manfaat. Saya ‘terhibur’ karenanya, dan menjalani semua ini dengan ‘senang hati’.

Kami digembleng ekstra aktif. Itu yang membuat selama sekolah saya juga aktif. Ikut dalam berbagai kegiatan baik itu kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan bersemangat. Saya tidak mau disebut sebagai siswa yang ‘menjilat’. Saya ikuti berbagai kegiatan organisasi: kesenian, olahraga, koperasi dan agama. Setiap hari-hari besar agama, nasional atau momen-momen penting seperti pelantikan, Porseni, perkenalan siswa baru atau perpisahan, saya tidak pernah ketinggalan. Sebagai koordinator, perencana hingga pemain. Boleh dikata, saya adalah satu siswa aktif yang banyak dikenal, baik oleh guru (tetap atau tidak tetap), kakak-kakak serta adik-adik kelas. Saya pernah diundang makan malam oleh Kepala Bidang Kesehatan Lingkungan Kabupaten, bahkan menginap di rumahnya sampai diantar pulang esok harinya. Beliau mengajar Hygiene Sanitasi. Sebagai siswa, saya merasa ‘terhormat’. Saya kerap diberi uang saku pula oleh seorang Dokter Ahli THT. Mungkin beliau bisa membaca, saya anak orang kebanyakan. Keduanya adalah guru favorit saya. Pendeknya, saya banyak kenalan dan bisa akrab dengan teman, guru juga pasien.

Perjuangan selama menjadi siswa SPK tidak sia-sia. Meski saya satu-satunya siswa yang tidak memiliki sepeda ongkel di kelas, tidak menjadi hambatan besar bagi saya untuk menjadi siswa berprestasi. Di SMP, saya biasa jalan kaki 6 km pulang pergi. Di SPK 6 km pulang pergi. Tak beda. Pendidikan selama 3 tahun berlangsung mulus dengan jerih payah. Bapak saya hadir pada saat wisuda, membawa sehelai tikar. Ditertawakan oleh teman sekamar saya. Katanya: “Lihat Bapakmu! Beliau pikir di sini tidak ada tempat duduk!” Kelakarnya. Mungkin maksudnya untuk membungkus kasur bila saya langsung pulang nanti.

Rasa kasihan saya terbersit kepada beliau. Saya tunjukkan hasil kerja keras saya ke hadapan beliau: anakmu yang kurang beruntung secara finansial ini, sekarang lega bernafas. Ijinkan kini menjelajah dunia!

*****

Kesempatan kerja waktu itu terbentang luas. Hanya dalam waktu 10 hari sesudah lulus, alhamdulilah, saya mendapatkan pekerjaan di sebuah RS negeri di Kotamadya Pasuruan. Sebagai tenaga yunior, sudah tentu banyak tantangannya. Minimnya staf keperawatan yang ada membuat pekerjaan jadi serabutan. Jadi orang baru, harus siap seperti bola: dilempar ke sana-ke mari. Tugas di VIP, merangkap ruang penyakit dalam. Kalau masuk sore, dinas di bangsal penyakit dalam merangkap gawat darurat dan kamar operasi.

Untungnya, pengalaman jadi seambreg! Kesempatan yang sebenarnya besar bagi saya untuk mempelajari banyak kasus. Dan Pasuruan, waktu itu masih terbelakang, telah berjasa memperluas wawasan bermasyarakat saya dengan orang-orang pedesaan. Saya seringkali diminta untuk home visit serta home care. Gaji kecil tidak masalah. Tahun 1982, dibayar Rp 8000 per bulan, OK! Dari home visit dan home care saya bisa dapat lebih. Alhamdulillah.

Tapi bukan uang tujuan utama saya! Saya harus berubah. Di Pasuruan, saya merasa tidak bisa ‘besar’ di RS ini. Saya ikuti jejak salah seorang kakak kelas yang menjadi senior di RS tersebut. Sambil bekerja dia sekolah lagi. Saya tidak ingin ketinggalan. Langkah konkrit segera saya ambil. Pagi kerja, sore sekolah di sebuah SMA PGRI. Kecuali jika dinas sore, saya absen. Tapi saya tidak mau ketinggalan. Semua text book saya beli dari gaji.

Surat Keputusan (SK) Pegawai Negeri saya turun sebelum genap bekerja di Pasuruan 8 bulan. Tidak seperti saat ini. Jadi PN harus pasang tarif 30 juta. Meski waktu itu yang namanya KKN ada, alhamdulillah, sepeserpun saya tidak bayar. Jangankan bayar, ngurus status kepegawaian saja hanya sekali. Sesudah itu datang sendiri. Mendapatkan tawaran PN, pikirku lebih baik. Masa depan lebih cerah. Saya pun pindah kerja, juga pindah sekolah.

*****

Masuk dunia kerja di bidang pendidikan sejumlah tantangan baru yang amat besar menghadang. Ijazah SPK, disuruh mengajar SPK? No way! Pendidikan tetap saya lanjutkan. Karena hanya lewat pendidikan kita bisa maju dan terangkat. Apa jadinya jika siswa diajar oleh guru yang kualifikasinya sama dengan siswanya? Saya berpikir ke sana. Saya serius belajar, melebihi siswa SMA reguler yang kebanyakan asal sekolah. Dengan berpredikat sebagai pekerja sambil sekolah, tidak mengurangi hasrat saya sebagai siswa yang berprestasi. Saya lulus Ujian Negara dengan prestasi amat memuaskan!

Dari kantor, saya kemudian ditugaskan ke Sekolah Guru Perawat (SGP), menempuh pendidikan satu tahun di Sulawesi. Permohonan saya untuk mengikuti jenjang D3 Keguruan di Bandung ditolak oleh pimpinan. Saya mengerti alasannya. Karena minimnya tenaga pengajar, sehingga saya tidak bisa berlama-lama belajar. Satu tahun pun nggak masalah, dari pada lulusan SPK yang ‘tawar’. Saya pun terbang ke Sulawesi.

Dasarnya saya memang senang sekolah. Jadi, di Makassar saya jalani pendidikan dengan senang hati. Hanya ada dua jurusan di sana. Kebidanan dan Perawatan Anak. Saya pilih yang terakhir tentunya. Seperti waktu SPK dan SMA, selain giat belajar, di SGP yang mendapatkan bantuan dana dari JICA (Jepang), saya juga aktif dalam organisasi. Susahnya, kami berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, dari Medan hingga Merauke. Beragam watak dan temperamen mewarnai sekolah kami. Mengantisipasi hal ini, secara fisik, saya punya ‘backing’, orang Papua Barat.

Meski status sebagai tugas belajar, institusi tempat saya bekerja tergolong pelit! Saya tidak mendapatkan uang saku sama sekali, kecuali gaji yang mengalir setiap awal bulan diweselkan oleh Bapak. Tidak seperti daerah-daerah lain. Uang sakunya saja bisa melebihi gaji! Saya mendapatkan tambahan dari teman-teman. Boleh dikata, extra money ini dari teman-teman yang membutuhkan bantuan belajar. Ada saja modelnya: mulai dari menulis mata pelajaran, bikin rangkuman, menyelesaikan pekerjaan rumah, laporan, rencana pembelajaran, hingga (sorry!) membantu saat ujian tiba! Maklum, sebagian peserta sudah ‘lanjut’ usia. Semangat belajar mereka berbeda. Jadi, apa salahnya ‘memanfaatkan’ saya?

Setahun di Makassar berlalu begitu cepat. Lulus SGP, berprestasi gemilang. Ada rekan, asal Papua, mertuanya seorang Bupati, suaminya calon Camat, sambil gurau menawari saya ‘jabatan’ jadi kepala sekolah di Papua. Maklum, teman-teman dari Indonesia Timur ini rata-rata kalah ‘bersaing’ dengan orang-orang Jawa. Dari peringkat 1-10, semuanya dari Jatim kecuali rangking 2, orang Kalimantan Timur.

*****

Sebenarnya saya kurang begitu sreg selepas belajar di SGP. Anggapan bahwa lulusan SGP kurang layak sebagai SIM mengajar SPK tetap tertanam kuat dalam pikiran saya. Jadi, kepulangan saya ke instansi tidak sambil mengantongi kebanggaan. Di tambah lagi dengan kepuasan kerja yang tidak saya dapatkan. Saya sibuk sekali selama bekerja. Staf pengajar tetap hanya 3, termasuk saya. Bagaimana kami bisa mengolah sebuah sekolah dengan baik jika staf begitu minim? Saya berniat mau mengundurkan diri. Saya mempertimbangkan masak-masak kerugian dan keuntungannya yang berakhir dengan kesimpulan bahwa untuk berkarir dan berhasil, kita tidak harus jadi pegawai negeri!

Sebelum keluar, saya sempat bertanya kepada Ibu (almarhumah), apakah saya diijinkan untuk keluar dari Pegawai Negeri. Dengan bijak, beliau menjawab: “Hidupmu, kamu sendiri yang menjalani. Ibu tahu, kamu tidak bisa melakukani pekerjaan seperti ini terus-menerus. Jika pindah adalah yang terbaik bagimu, lakukan!”

Terus terang, saya over loaded selama bekerja. Begitu banyak urusan sekolah yang saya sendiri harus melakukannya sampai saya bawa ke rumah. Sore dan malam hari. Kurikulum, menemui guru-guru, rencana pengajaran, mengurusi perpustaan, membimbing siswa tamu (sekitar 25 SPK per tahun datang), praktek lapangan, rumah sakit, puskesmas, pelaporan, rapat orangtua, kegiatan non-kurikuler dsb. Luar biasa! Akan tetapi, ada buah segar yang saya dapatkan. Di tengah usia amat muda, saya dipaksa ‘matang’. Dan itu nilai tambah bagi seorang guru seperti saya.

Empat tahun bekerja dan mengenyam ‘nikmat’ jadi pegawai negeri, saya siap pergi meninggalkan jabatan yang bagi banyak orang dicari mati-matian. Saya lepaskan genggaman kesempatan emas bagi banyak orang sebagai tempat menggantungkan pensiunan di hari tua. Dari seluruh rekan-rekan selama sekolah, hanya sayalah yang hingga saat ini bukan berstatus sebagai PN.

Selama empat tahun, kenalan guru saya membengkak hampir ada di seluruh 29 Kabupaten yang tersebar di Jatim, karena siswa mereka praktik di tempat saya bekerja. Belum lagi di tambah kolega saya di luar Jawa. Namun kalau saya kerja di luar Jawa saya khawatir agak sulit jika mau kuliah lagi. Luasnya pergaulan ini amat membantu dalam pencarian kerja. Hal ini masih diperkaya lagi oleh pengalaman saya diberi kepercayaan sebagai Koordinator Kurikulum, mengajar Komunikasi Perawatan Psikiatri, Perawatan Pediatri, Koordinator Praktek Lapangan dan serta sejumlah kualifikasi lain, yang membuat saya, alhamdulillah, bisa ‘menjual’ diri.

Berbekal kompetensi di atas, esok harinya, saya menghadap pimpinan sekolah. Saya utarakan niat ‘baik’ ini. Di luar dugaan, beliau juga ‘mendukung’ rencana tersebut. Setuju dengan pengunduran diri saya. Klop! Begitu saya keluar, ada 3 orang staf baru yang sedang dalam proses bergabung dengan instansi kami.

Dengan kebulatan tekat, saya lepas predikat sebagai pegawai negeri. Saya tinggalkan sebuah lembaga yang telah banyak memberikan pesangon dengan tanpa beban, kecuali satu: berat rasanya pisah dengan para siswa yang sudah terlanjur dekat dengan saya. Saya merasa pendidikan dan para siswa adalah bagian dari dunia saya. Siswa-siswa ini merupakan amanah yang dititipkan oleh orangtua mereka untuk kami bina supaya menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. (Bersambung).

Doha, 21 July 2008

Shardy2@hotmail.com

MUSKOT III PPNI KOTA BONTANG 8 JUNI 2008


Jumat, 05 September 2008

FOTO-FOTO KETIKA MUSKOT III PPNI BONTANG, 8 JUNI 2008

Ketua PPNI Provinsi Kaltim, Ediyar Miharja Skep Ns (pakai jas merah) didamping Ketua PPNI Komisariat RS Pupuk Kaltim , Eddy Joenarko, AMd.Kep, SH.