Pada Bagian Kedua, saya bertutur tentang perjalanan profesi yang tersendat. Dari tidak diizinkannya untuk mengikuti training ke Surabaya, berstatus pengangguran, mencari kerja sampingan, terdampar di lereng Gunung Butak, Trenggalek, sampai akhirnya datang surat panggilan dari Jakarta. Waktu menunggu yang cukup lama, dua tahun, akhirnya datang juga. Alhamdulillah.
Jakarta oh Jakarta. Sebagai orang desa yang belum pernah menyentuh Metropolitan, saya semula tidak membayangkan bahwa Jakarta pada akhirnya benar-benar ada di hadapan mata. Gambaran kesibukan kota serta segala pernak-perniknya yang saya ketahui lewat TV, cerita orang serta koran dan majalah, kini jadi realita. Ciracas, tempat kami menjalani pelatihan, menampung lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah.
Tiga bulan tinggal di asrama bukan waktu yang singkat. Ada yang sabar menunggu, ada juga yang seperti diburu waktu. Beberapa di antara kami mengundurkan diri sebelum Tim dari Kuwait datang. Sebagian besar sudah menyembelih kambing, selamatan dan berpamitan ke semua sanak saudara, tetangga kanan-kiri. Ada pula yang mulai cari-cari kerjaan sampingan di Jakarta.
Lain halnya saya, selain tetap menulis, agar orangtua di rumah tetap dapat tambahan, hanya berpikiran positif saja. Alhamdulilah wesel tetap mengalir dari beberapa media massa buat Ibu saya. Kali ini saya berharap, semoga tidak ada penundaan lagi. Karena balik lagi ke jawa Timur, apalagi ke Trenggalek, kayaknya sudah tidak mungkin. Sementara kegiatan saya membantu teman-teman belajar Bahasa Inggris jalan terus.
Waktu berlalu tanpa terasa hingga suatu saat Tim Penguji dari Ministry of Health-Kuwait datang. Betapa gembiranya kami waktu itu. Kesabaran untuk segera direkrut rasanya tidak dapat dibendung lagi. Tes tulis dan interview dilaksanakan pada keesokan harinya. Ada 150 orang yang dinyatakan lulus tes. Sisanya, menunggu tes gelombang kedua, dari Kementrian Kesehatan Kerajaan Saudi Arabia.
*****
Bulan Maret 1993. Kuwait, negara kecil di Teluk kaya minyak itu sedang berbenah diri sesudah digempur oleh Pasukan Saddam Hussein beberapa waktu lalu. Di sana-sini masih terlihat reruntuhan gedung bekas dentuman rudal perang. Kuwait, pada musim dingin itu, masih diselimuti oleh tekanan mental yang tidak kecil. Hal itu bisa dilihat dari begitu aktifnya pihak keamanan yang berpatroli di jalan-jalan, menghentikan kendaraan yang sedang berlalu lalang, hingga pengecekan kartu identitas diri di dalam bis kota. Bagi kami, warga Indonesia yang baru saja mendarat di negara tersebut, suasana yang demikian, terkesan mencekam.
Kerja di luar negeri, bagi kebanyakan orang kita terkesan ‘wah’. Uang, reputasi, pengalaman dan gaya hidup. Empat hal tersebut sepertinya selalu menempel pada siapapun yang bekerja di luar negeri. Uang sudah jelas. Gaji yang diterima nurses waktu itu rata-rata 10 kali lipat penghasilan nurses kita di dalam negeri. Namun kita lupa bahwa satu biji pisang saja bisa mencapai sepuluh kali lipat harganya, jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia.
Orang kita kebanyakan juga masih menempatkan harta sebagai salah satu faktor penting dalam status sosial. Dengan tinggal dan bekerja di luar negeri, semua beranggapan reputasinya terangkat. Semakin banyak harta yang dimiliki, makin bisa bikin terkenal. Orang yang bekerja di luar negeri juga diasumsikan sebagai sosok yang kaya pengalaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi jika balik ke Indonesia kelak. Sementara tentang gaya hidup, bekerja di luar negeri berarti berubah gaya hidup. Bahasa, budaya, style, pola dan menu makanan, hingga tata krama.
Padahal, keempat aspek yang dijelaskan tersebut bisa saja ‘mitos’.
****
Bulan-bulan pertama bekerja di Mubarak Al Kabeer Hospital, sebagaimana rekan-rekan saya lainnya, adalah masa adaptasi. Latar belakang dunia kerja saya di pendidikan menjadi kendala besar tersendiri ketika berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di Rumah Sakit (RS) pada enam bulan pertama. Apalagi RS di Kuwait tentu beda dengan rata-rata situasi dan kondisi RS kita. Saya ditempatkan di bangsal Bedah Urology. Kerja shift: pagi, sore atau malam. Membuat saya sebenarnya ‘kurang kerasan’. Tapi saya tidak ‘gentar’. Setiap cobaan, ada akhirnya. Begitu yang saya tanamkan dalam diri ini.
Meski demikian, saya tetap mencoba mencari jalan lain. Saya melayangkan surat, mengajukan pindah kerja langsung ke Director of Nursing (Central) tanpa melalui prosedur yang tepat (proper channel). Waktu itu, saya mulai mengerti bahwa di negeri semacam Kuwait, tindakan semacam ini kerap kali diterobos. Jadi, apa salahnya jika saya pun turut mencoba? Saya ajukan permohonan untuk dipekerjakan di Psychological Hospital.
Permohonan saya ditanggapi. Sayangnya, terlambat. Karena begitu persetujuan itu datang, saya justru menolak. Tahu alasannya? Psychological Hospital di Kuwait ternyata kondisinya tidak lebih baik ketimbang RS Jiwa dekat dengan rumah kami di Jawa Timur! Namun demikian, hasrat pindah tetap kuat. Saat itu, ada seorang asal Pakistan yang bersedia bertukar tempat. Pas! Sesudah satu setengah tahun di hospital, saya pindah ke Firdause Policlinic.
Di Klinik, keuntungannya tidak ada dinas malam dan jam kerjanya lebih ‘pendek’ (karena tidak ada hand over responsibilities). Akan tetapi perhitungan dan sangkaan saya meleset! Melayani orang-orang Badui Kuwait, di wilayah di mana klinik tersebut berada, pusingnya bukan main. Bagi staf Firdause Clinic, orang-orang ini tergolong sulit diatur. Ngurusin orang-orang ini, tidak kalah repotnya dengan merawat kasus Bed-ridden pasien jompo di hospital. Sudah dipotong hospital allowance KD 10, sibuk setengah mati dengan orang-orang Badui di Firdause lagi! Perkiraan saya semula bahwa ‘firdause’ berarti ‘surga’, lenyap, begitu mengetahui klinik ini. Tapi apa mau dikata?
*****
Awalnya, tempat tinggal saya di Salmiyah, sekitar 20 km dari Kuwait City. Tinggal bersama orang-orang Indonesia, ada plus minusnya. Saya tidak perlu jelaskan nilai keuntungannya. Tapi kerugiannya, sekaligus sebagai kritik, sebagian di antara kita kurang pandai memelihara atau sulit ‘diatur’. Segala fasilitas hidup disediakan. Bahkan tiga bulan pertama, yang namanya makanan tetap disediakan oleh pihak Ministry. Transportasi juga ada.
Namun dalam jangka waktu itu pula kerusakan mulai timbul di mana-mana. Karpet jadi usang, kotor, perabotan, kursi, almari, bufet (padahal semuanya baru) tidak sedikit yang malah patah hingga rusak. Belum lagi kamar mandi yang warnanya mulai kecoklatan, dapur yang penuh minyak, kompor listrik yang mulai gelap karena tidak pernah digosok dsb. Daftar bersih-bersih dan masak serta memelihara flat yang semula disepakati, tidak lagi jalan. Sebagai manusia biasa yang juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, saya akui terlibat di dalamnya. Akan tetapi, begitu mendengar Housing Supervisor bilang bahwa: “Indonesians spoil our housing facilities!” Hati ini jadi terluka!
Satu lagi hal yang disesalkan terjadi adalah, beberapa rekan-rekan kita tidak mau melunasi hutang yang mestinya dibayar kepada PT Putra Pertiwi. Agen yang telah berjasa besar memberangkatkan kita ke luar negeri. Padahal Bapak Kemal Idris, Manager agen tersebut, beberapa kali datang ke Kuwait. Nyatanya, tidak membuat hati kita tersentuh untuk membayar hutang kita! Saya percaya, sampai sekarang pun, nasib ijazah teman-teman yang belum bayar, terkatung-katung, entah di bank mana. Karena PT Putra Pertiwi sudah bubar!
*****
Hampir tiga tahun sudah terlewati. Perlahan-lahan, seperti saya ceritakan di atas, bahwa uang tidak bisa membeli segalanya. Beban kerja yang berat, rasa kangen dengan keluarga, sosio kultural masyarakat yang berbeda, dratisnya perubahan iklim, adalah beberapa yang bisa saya sebut, yang membuat sebagian orang kita tidak kerasan di Kuwait. Maka, satu demi satu nurses kita berguguran. Pada tahun ketiga jumlah kami menurun sebanyak 50 orang alias 33%. Sebuah angka yang sebenarnya tidak sedikit dibandingkan dengan nurses dari negara-negara lain yang presentasinya jauh lebih stabil.
Guna mempertahankan kekuatan ikatan profesi inilah kemudian kami dirikan Asosiasi Perawat Indonesia di Kuwait (APIK) yang kemudian kami Inggriskan menjadi Indonesian Nurses Association in Kuwait (INAK). Saya diberi amanah untuk menjadi Presiden yang pertama.
Menyadari pentingnya organisasi dan peningkatan kompetensi profesi ini, dengan dibantu teman-teman yang aktif seperti Nurhadi, Amir Mahmud, Judi Nugroho, Supiani, Yudi Sri Mulyadi, Nasukha, Uus Kusmana, Ida Kusriati.....dan masih banyak lagi...kami berlayar jauh. Kehidupan profesional kami mulai terasa berubah. Kehidupan profesional kami terasa lebih indah. Perayaan HUT RI, Maulid Nabi, Lebaran, World Nursing Day...semuanya ditangani oleh INAK. Dan yang paling menggembirakan adalah beberapa kali diselenggarakan seminar (Bahasa Inggris) dengan mengundang sejumlah nurses dari Filipina, India atau Arab, membuat kami merasa eksis. Dalam setiap kesempatan tersebut, kami undang ‘penggede-penggede’ nursing di Kuwait. Official Language bagi pengurus INAK adalah Inggris. Bendera Indonesian Nurses in Kuwait pun saat itu ‘berkibar’.
Kami menjalin kerjasama yang baik sekali dengan pihak KBRI. Ibaratnya, tidak ada kegiatan yang terlewatkan tanpa keikut-sertaan kami di dalamnya. Kami bikin kalender INAK, kaos bertuliskan INAK, bazar, aktif dalam pengajian, olah raga, kesenian, silaturahim antar region, lomba kebersihan, best Indonesian nurse contest, serta masih banyak lagi kegiatan yang bertujuan untuk mengusir ‘kesunyian’ dan menyemarakkan suasana. Kita bisa bikin ‘Indonesia’ di bumi Kuwait.
*****
Ada saatnya berpikir, bahwa kehidupan profesi saya jika tetap bertahan di Kuwait, akan mandeg. Saya tidak melihat jendela pengembangan profesi bagi ekspatriat terbuka lebar. Cermin itu terhampar jelas di depan kelopak mata. Orang-orang India, Pakistan, Filipina, Banglades dan Arab, puluhan tahun tinggal dan bekerja di sana tanpa mengalami perubahan profesionalisme. Training tidak, apalagi sekolah!
Atas dasar ini, kemudian saya harus mencari jalan keluar bagaimana caranya agar Kuwait bukan negara pertama, sekaligus terakhir saya di luar negeri. Maka, sambil berlibur waktu itu, yang saya manfaatkan melaksanakan selain ibadah Umroh, juga pergi ke negara lain. Tujuan saya adalah United Arab Emirates (UAE). Saya dengar dari beberapa sumber bahwa UAE lebih terbuka. Ada kesempatan besar untuk berkembang.
Tanpa menunda waktu, saya urus visit visa ke sana. Pada kesempatan yang sama saya juga berkunjung ke Pakistan, sekedar ingin tahu bagaimana rupa negara Mohammad Iqbal, sastrawan legendaris Pakistan ini.
Tapi jangan dikira bahwa keliling ke tiga negara pada saat itu karena saya punya duit banyak. Tidak! Bagi saya, yang penting ada transport pesawat, sudah lebih dari cukup. Di Pakistan saya mengunjungi beberapa kenalan. Saya menengok pelayanan kesehatan di daerah terpencil, rumah sakit di dekat perbatasan Afghanistan, serta menemui beberapa nurses. Orang Pakistan ramah-ramah. Saya nyaris tidak perlu bayar pondokan. Bahkan makan minum juga bukan persoalan. Ujung dari perjalanan ini saya tuangkan dalam beberapa artikel. Di antaranya Balada Muslim Pathan, Ramadan di Pakistan serta Nikmat Haji Lewat Darat.
Di UAE selama 5 hari. Hanya dua hari di antaranya saya hanya nginap di hotel murah. Selebihnya tinggal pertokoan yang belum jadi. Memang nggak gratis, tapi murah sekali. Saya ketuk semua pintu-pintu healthcare provider di UAE. Milik pemerintah federal, lokal maupun swasta. Dari Dubai hingga Abu Dhabi. Alhamdulillah ada buahnya. Tapi tidak seketika. Sesudah satu bulan kepulangan saya dari UAE, saya mendapatkan panggilan. Bukan untuk diterima, namun test. Betapa senangnya waktu itu. Segera saya urus visit visa lagi ke UAE Embassy di Kuwait City. Alhamdulillah, bukan hanya berhasil dalam perolehan visa saja, namun juga pekerjaan saya dapatkan.
Tanpa menunda lebih lama, karena saya tahu bagaimana proses resignasi di Kuwait yang berbelit dan bertele-tele, saya mengajukan emergency resignation. Saya tidak peduli meskipun end of service benefit tidak saya dapat, hingga saat ini. Toh, saya akan dapat jauh lebih banyak ketimbang sekedar satu setengah bulan gaji di sana nantinya. Saya tiggalkan Kuwait di tahun 1996.
*****
Saya adalah the first Indonesian nurse di UAE. Asing? Tidak juga! Tiga setengah tahun di Kuwait cukup bagi saya sebagai bekal tinggal di negeri lain. Apalagi sama-sama Arab. Tapi UAE, khususnya Dubai memang beda. Bahasa Arab tidak dominan. Malah menguasai Bahasa Hindi dan Inggris lebih penting dari pada Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Saya bekerja di sebuah klinik Occupational Health, di garasi besar milik pemerintah lokal: Dubai Government Workshop (DGW). Ketika saya datang, yang ada di klinik hanya satu meja berikut kursinya dan satu tempat tidur . Saya tertantang untuk memulai pekerjaan baru dari Nol.
Saya benahi klinik tersebut agar nampak seperti klinik. Mulai dari perlengkapan kantor, peralatan medik dan perawatan, obat-obatan serta administrasi. Secara perlahan namun pasti, klinik yang saya rencanakan akhirnya established. Dubai Government Workshop Occupational Health Clinic, begitu papan nama yang saya canangkan, terpampang di depan klinik kami. ‘Lucunya’, saya lebih akrab dipanggil ‘doctor’ ketimbang ‘nurse’ oleh lebih dari 500 karyawan di sana. Saya sendirian yang menangani pelayanan kesehatan di garasi tersebut, sebelum satu orang Indonesia lainnya bergabung. One man show boleh dibilang.
Lambat laun, Indonesian nurses mulai berdatangan, direkrut oleh Pemerintah Federal. Tiga, sepuluh, dua puluh, hingga angkanya mencapai sekitar 150 orang di seluruh UAE, terpencar di 7 negara bagian. Impian untuk mewujudkan Indonesian Nurses in UAE terhambat. Saya tidak melihat greget yang besar di antara kolega kita. Mungkin karena kesibukan atau apa, saya kurang tahu. Jumlah ini pun, tidak sampai empat tahun ke depan, merosot tajam.
Kami, masyarakat Indonesia, membentuk Indonesian Moslem Association (IMA) di UAE. Bersama-sama Nurhadi, salah seorang senior nurse kita di UAE, Susanto, senior teknisi, Cucuk, serta saya sendiri adalah motornya. Sekitar 8 tahun saya gabung dengan IMA dan duduk sebagai koordinator bidang Education & Training serta Publikasi. Kami menerbitkan majalah bulanan dan saya sebagai salah satu penulis tetap yang aktif. Lewat organisassi sosial ini, kami kembangkan berbagai aktivitas sosial yang positif. Saya juga aktif gabung dengan Indian Islamic Center (ICC). Tulisan di rak-rak perpustakaan mereka, adalah buah tangan saya. Saya lah yang mengurusi P3K jika ada kegiatan akbar. Di sana saya banyak belajar tentang Islam di India serta seluk beluk organisasi mereka.
*****
Rencana studi jalan terus. Biaya sekolah yang mahal tidak mengurangi minat saya untuk mencapai tujuan ini. Boleh dikata sambil puasa. Di Dubai, memang banyak sekali perguruan tinggi internasional termasuk kantor-kantor cabang yang melayani part time study atau distance learning. Mulai dari USA, UK, Australia hingga India. Kita tinggal pilih. Saya pilih universitas Australia yang biaya kuliahnya masih terjangkau.
Latar belakang kuliah Bahasa Inggris dulu sangat membantu kelancaran studi. Hari-hari saya sejak kerja sambil kuliah, penuh kesibukan, dari pagi hingga malam hari. Di perjalanan ke kantor, selama kerja, jika ada sela-sela waktu, saya selalu sempatkan untuk membaca atau mengerjakan assignment.
Waktu pun berlalu cepat. Sesudah menyelesaikan jenjang S1, saya teruskan ke Program S2. saya mengambil Nursing Education. Strategi yang saya gunakan selama studi adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menerapkan apa yang saya dapat dalam buku ke lapangan. Jadi yang namanya interaksi dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia berlangsung terus. Bahkan praktek-praktek lapangan serta penelitian saya lakukan di beberapa Akper di Jawa Timur.
Sementara di tempat kerja, nyaris tidak ada kendala yang berarti. Apalagi di bawah kendali saya. Semua data-data statistik serta segala sesuatu untuk keperluan Nursing Research bisa saya peroleh dengan mudah. Demikian pula misalnya soal health promotion, nursing education yang membutuhkan praktek lapangan. Gampang sekali mendapatkan sasarannya.
Sebagai satu-satunya orang Indonesia di tempat kerja (sebelum rekan lainnya datang), didukung kemampuan Hindi dan Arabic, saya bisa menempatkan diri dalam posisi yang netral. Kerjasama dengan atasan dan pasien berlangsung mulus sampai saya bisa menyelesaikan kuliah. Dan di situlah puncaknya. Ada satu lagi orang Indonesia yang juga besar minat belajarnya dalam pengembangan profesi ini yang juga menyandang gelar S2 dan lulus satu semester di bawah saya. Di pula yang dikemudian hari menggantikan posisi saya sebagai Charge Nurse di DGW, sesudah saya pindah kerja.
*****
Saya memang berencana untuk pindah dan mencari kerja lagi sesudah merampungkan S2 ini. Begitu mendaptakannya, ‘perburuan’ dimulai. Saya mendaftarkan diri sebagai Occcupational Health Nurse Supervisor di Dubai Electricity & Water Authority (DEWA). Semacam PLN di negeri kita. Dari 250 pelamar, alhamdulillah hanya saya yang diterima. Informasi ini saya peroleh dari seorang engineer, sesudah saya masuk dan jadi karyawan. SG Govardhanan orangnya. Seorang Chemical Engineer yang dikemudian hari menjadi kolega kerja saya. Kembali lagi, saya satu-satunya Indonesian di DEWA di antara 8000 lebih karyawan yang ada. Saya tidak habis mengerti, mengapa organisasi sebesar DEWA tidak pernah dilirik oleh teknisi atau sarjana-sarjana listrik kita?
Saya bekerja di bawah naungan Occupational Health & Safety Department. Benar-benar tantangan baru bagi saya. Saya satu-satunya nurse yang dipercaya untuk ‘membuka’ program Occupational Health di situ, di tengah-tengah insinyur teknik listrik dan kimia. Selain itu, sekitar 20 Contractor nurses juga di bawah pengawasan kerja saya. Site visit ke tempat-tempat instalasi listrik yang besar, mengunjungi proyek-proyek serta observasi terhadap pelayanan kesehatan yang disediakan oleh para kontraktor, health education, evaluasi fitness to work adalah bagian dari kerjaan saya.
Boleh dibilang, saya bekerja independent. Tidak ada orang yang campur tangan terhadap apa yang saya lakukan. Itu kelebihannya. Kekurangannya, dan ini faktor terbesar yang mempengaruhi kepuasan kerja saya adalah, supervisor saya bukan orang yang memiliki latar belakang kesehatan. Akibatnya, rencana-rencana program saya ‘dikesampingkan’. Dia lebih mengutamakan program yang terkait dengan kelistrikan ketimbang kesehatan. Wajar! Begitu pikir saya. Tapi apa tujuan merekrut saya jika demikian?
Manajemen DEWA bagus. Training karyawan mereka perhatikan. Dalam tahun pertama saya di sana saja, tidak kurang dari 8 kali training yang saya dapatkan. Satu di antaranya International Occupational, Safety and Health (IOSH), di sebuah hotel berbintang lima selama seminggu. Subhanallah. Manusia memang selalu merasa kurang puas dengan apa yang ada. Termasuk yang saya alami. Saya tidak mampu membedakan apakah saya ini orang yang kurang pandai bersyukur ataukah tuntutan berkembang secara profesional adalah fardhu ‘ain, wajib hukumnya? Jika yang terakhir ini pilihannya, maka jika saya tetap di DEWA, meski gaji memadai, bahkan setingkat dengan para engineer, harus menunggu sampai kapan?
*****
Ringkasnya, saya mencari peluang baru lagi. Dan itu saya ketemukan di Qatar Petroleum (QP). Sebuah perusahaan kaya, yang saya dengar dari beberapa rekan-rekan saya ex-Kuwait yang sudah bergabung lebih dahulu. QP menjanjikan ‘kehidupan profesional’ yang lebih baik. Saya tergiur untuk mencobanya.
Saya pun dipanggil. Tidak sendiri. Sejumlah Indonesian nurses lainnya pula ikut serta. Lulus interview di Dubai. Namun ada penundaan, hingga satu tahun. Saya sabar. Orang sabar adalah kekasih Tuhan. Prinsip ini jadi melekat dalam kehidupan saya. Saya mencoba untuk bisa mengaplikasikannya, meski tidak selalu berhasil. Pasti ada hikmahnya.
Benar. Ketertundaan pemberangkatan ke Qatar bukannya tanpa hikmah. Penundaan ini yang membuat saya yang semula direkrut pada posisi Senior Nurse, beralih ke Occupational Health-Chief Nurse.
Tanggal 26 Juni 2007 merupakan hari terakhir saya bekerja di DEWA. Sehari sebelumnya, saya, beserta seorang rekan, Joby, Electrical Engineer, yang juga resign bersamaan, yang juga bekerja di Qatar saat ini, diundang departemen makan siang bersama di sebuah rumah makan India. Kami tinggalkan DEWA dengan kesan yang dalam. Seperti halnya IMA, DEWA juga menghadiahkan sebuah jam tangan sebagai pengingat. Agar sebagai insan yang fana ini, tidak lupa, bahwa begitu berharganya sang waktu.
*****
Hidup ini memang tidak sempurna. Apalagi yang namanya tempat kerja. Saya sudah 7 kali pindah. Dari Pasuruan, Lawang, Malang, ‘Nganggur’ di Trenggalek, Mubarak Al Kabeer Hospital, Firdause Clinic (Kuwait), DGW, DEWA (UAE), serta saat ini di QP (Qatar). Meski demikian, saya bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bisa memilih mana yang terbaik.
Setiap kali pulang cuti, saya selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbagai. Ketika saya kirim artikel ini ke anda, saya akan berangkat cuti ke Indonesia malam harinya. Dua Akper Unggulan di Jawa Timur sedang menanti saya dengan sejumlah materi pembelajaran. Akper ini menerapkan sistem Bahasa Inggris sebagai Bahasa Pengantarnya. Sebuah perkembangan baru dalam dunia pendidikan nursing kita, yang saya bangga karenanya.
Saya menyadari, bahwa ada hak-hak orang lain dalam diri ini. Dengan keluarga, tetangga, masyarakat, rekan-rekan seprofesi, bahkan mahasiswa yang sedang belajar di bangku kuliah. Dari Bekasi-Jakarta, Yogyakarta, Blitar, Surabaya, Lawang, Malang, Lumajang hingga Jember. Dari UGM, UNBRA, UMM hingga UNEJ, saya sudah menjelajah. Saya percaya bukan kurma yang mereka harap. Juga bukan Dinar. Ada saja yang mengundang. Tidak jarang saya yang tertantang untuk menawarkan. Uang memang datang, tapi bukan itu target utama. Barangkali ada yang mencemooh. Tidak apalah. Nabi-Nabi utusan Tuhan saja dilecehkan umatnya. Apalah artinya manusia semacam saya?
Hidup di luar negeri bisa saja bersimbah harta. Hidup di luar negeri, pula bisa bermandikan fenomena. Acapkali kita tidak bisa melihat dari dekat orangtua, anak-anak, istri, saudara, tetangga atau teman yang sakit. Kita juga tidak bisa terlibat dalam keluarga yang punya hajat nun jauh di sana. Pun tidak ada istilah melayat. Apalagi yang namanya sunatan massal. Saya tidak mampu bersua ketika Ibunda kami dibaringkan di liang lahat, kecuali berdo’a. Suka duka kehidupan yang saya timba memang tidak mengenal suasana. Di Bumi Nusantara ataukah Timur Tengah. (Tamat).
Doha 30 July 2008
Shardy2@hotmail.com
Tiga bulan tinggal di asrama bukan waktu yang singkat. Ada yang sabar menunggu, ada juga yang seperti diburu waktu. Beberapa di antara kami mengundurkan diri sebelum Tim dari Kuwait datang. Sebagian besar sudah menyembelih kambing, selamatan dan berpamitan ke semua sanak saudara, tetangga kanan-kiri. Ada pula yang mulai cari-cari kerjaan sampingan di Jakarta.
Lain halnya saya, selain tetap menulis, agar orangtua di rumah tetap dapat tambahan, hanya berpikiran positif saja. Alhamdulilah wesel tetap mengalir dari beberapa media massa buat Ibu saya. Kali ini saya berharap, semoga tidak ada penundaan lagi. Karena balik lagi ke jawa Timur, apalagi ke Trenggalek, kayaknya sudah tidak mungkin. Sementara kegiatan saya membantu teman-teman belajar Bahasa Inggris jalan terus.
Waktu berlalu tanpa terasa hingga suatu saat Tim Penguji dari Ministry of Health-Kuwait datang. Betapa gembiranya kami waktu itu. Kesabaran untuk segera direkrut rasanya tidak dapat dibendung lagi. Tes tulis dan interview dilaksanakan pada keesokan harinya. Ada 150 orang yang dinyatakan lulus tes. Sisanya, menunggu tes gelombang kedua, dari Kementrian Kesehatan Kerajaan Saudi Arabia.
*****
Bulan Maret 1993. Kuwait, negara kecil di Teluk kaya minyak itu sedang berbenah diri sesudah digempur oleh Pasukan Saddam Hussein beberapa waktu lalu. Di sana-sini masih terlihat reruntuhan gedung bekas dentuman rudal perang. Kuwait, pada musim dingin itu, masih diselimuti oleh tekanan mental yang tidak kecil. Hal itu bisa dilihat dari begitu aktifnya pihak keamanan yang berpatroli di jalan-jalan, menghentikan kendaraan yang sedang berlalu lalang, hingga pengecekan kartu identitas diri di dalam bis kota. Bagi kami, warga Indonesia yang baru saja mendarat di negara tersebut, suasana yang demikian, terkesan mencekam.
Kerja di luar negeri, bagi kebanyakan orang kita terkesan ‘wah’. Uang, reputasi, pengalaman dan gaya hidup. Empat hal tersebut sepertinya selalu menempel pada siapapun yang bekerja di luar negeri. Uang sudah jelas. Gaji yang diterima nurses waktu itu rata-rata 10 kali lipat penghasilan nurses kita di dalam negeri. Namun kita lupa bahwa satu biji pisang saja bisa mencapai sepuluh kali lipat harganya, jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia.
Orang kita kebanyakan juga masih menempatkan harta sebagai salah satu faktor penting dalam status sosial. Dengan tinggal dan bekerja di luar negeri, semua beranggapan reputasinya terangkat. Semakin banyak harta yang dimiliki, makin bisa bikin terkenal. Orang yang bekerja di luar negeri juga diasumsikan sebagai sosok yang kaya pengalaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi jika balik ke Indonesia kelak. Sementara tentang gaya hidup, bekerja di luar negeri berarti berubah gaya hidup. Bahasa, budaya, style, pola dan menu makanan, hingga tata krama.
Padahal, keempat aspek yang dijelaskan tersebut bisa saja ‘mitos’.
****
Bulan-bulan pertama bekerja di Mubarak Al Kabeer Hospital, sebagaimana rekan-rekan saya lainnya, adalah masa adaptasi. Latar belakang dunia kerja saya di pendidikan menjadi kendala besar tersendiri ketika berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di Rumah Sakit (RS) pada enam bulan pertama. Apalagi RS di Kuwait tentu beda dengan rata-rata situasi dan kondisi RS kita. Saya ditempatkan di bangsal Bedah Urology. Kerja shift: pagi, sore atau malam. Membuat saya sebenarnya ‘kurang kerasan’. Tapi saya tidak ‘gentar’. Setiap cobaan, ada akhirnya. Begitu yang saya tanamkan dalam diri ini.
Meski demikian, saya tetap mencoba mencari jalan lain. Saya melayangkan surat, mengajukan pindah kerja langsung ke Director of Nursing (Central) tanpa melalui prosedur yang tepat (proper channel). Waktu itu, saya mulai mengerti bahwa di negeri semacam Kuwait, tindakan semacam ini kerap kali diterobos. Jadi, apa salahnya jika saya pun turut mencoba? Saya ajukan permohonan untuk dipekerjakan di Psychological Hospital.
Permohonan saya ditanggapi. Sayangnya, terlambat. Karena begitu persetujuan itu datang, saya justru menolak. Tahu alasannya? Psychological Hospital di Kuwait ternyata kondisinya tidak lebih baik ketimbang RS Jiwa dekat dengan rumah kami di Jawa Timur! Namun demikian, hasrat pindah tetap kuat. Saat itu, ada seorang asal Pakistan yang bersedia bertukar tempat. Pas! Sesudah satu setengah tahun di hospital, saya pindah ke Firdause Policlinic.
Di Klinik, keuntungannya tidak ada dinas malam dan jam kerjanya lebih ‘pendek’ (karena tidak ada hand over responsibilities). Akan tetapi perhitungan dan sangkaan saya meleset! Melayani orang-orang Badui Kuwait, di wilayah di mana klinik tersebut berada, pusingnya bukan main. Bagi staf Firdause Clinic, orang-orang ini tergolong sulit diatur. Ngurusin orang-orang ini, tidak kalah repotnya dengan merawat kasus Bed-ridden pasien jompo di hospital. Sudah dipotong hospital allowance KD 10, sibuk setengah mati dengan orang-orang Badui di Firdause lagi! Perkiraan saya semula bahwa ‘firdause’ berarti ‘surga’, lenyap, begitu mengetahui klinik ini. Tapi apa mau dikata?
*****
Awalnya, tempat tinggal saya di Salmiyah, sekitar 20 km dari Kuwait City. Tinggal bersama orang-orang Indonesia, ada plus minusnya. Saya tidak perlu jelaskan nilai keuntungannya. Tapi kerugiannya, sekaligus sebagai kritik, sebagian di antara kita kurang pandai memelihara atau sulit ‘diatur’. Segala fasilitas hidup disediakan. Bahkan tiga bulan pertama, yang namanya makanan tetap disediakan oleh pihak Ministry. Transportasi juga ada.
Namun dalam jangka waktu itu pula kerusakan mulai timbul di mana-mana. Karpet jadi usang, kotor, perabotan, kursi, almari, bufet (padahal semuanya baru) tidak sedikit yang malah patah hingga rusak. Belum lagi kamar mandi yang warnanya mulai kecoklatan, dapur yang penuh minyak, kompor listrik yang mulai gelap karena tidak pernah digosok dsb. Daftar bersih-bersih dan masak serta memelihara flat yang semula disepakati, tidak lagi jalan. Sebagai manusia biasa yang juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, saya akui terlibat di dalamnya. Akan tetapi, begitu mendengar Housing Supervisor bilang bahwa: “Indonesians spoil our housing facilities!” Hati ini jadi terluka!
Satu lagi hal yang disesalkan terjadi adalah, beberapa rekan-rekan kita tidak mau melunasi hutang yang mestinya dibayar kepada PT Putra Pertiwi. Agen yang telah berjasa besar memberangkatkan kita ke luar negeri. Padahal Bapak Kemal Idris, Manager agen tersebut, beberapa kali datang ke Kuwait. Nyatanya, tidak membuat hati kita tersentuh untuk membayar hutang kita! Saya percaya, sampai sekarang pun, nasib ijazah teman-teman yang belum bayar, terkatung-katung, entah di bank mana. Karena PT Putra Pertiwi sudah bubar!
*****
Hampir tiga tahun sudah terlewati. Perlahan-lahan, seperti saya ceritakan di atas, bahwa uang tidak bisa membeli segalanya. Beban kerja yang berat, rasa kangen dengan keluarga, sosio kultural masyarakat yang berbeda, dratisnya perubahan iklim, adalah beberapa yang bisa saya sebut, yang membuat sebagian orang kita tidak kerasan di Kuwait. Maka, satu demi satu nurses kita berguguran. Pada tahun ketiga jumlah kami menurun sebanyak 50 orang alias 33%. Sebuah angka yang sebenarnya tidak sedikit dibandingkan dengan nurses dari negara-negara lain yang presentasinya jauh lebih stabil.
Guna mempertahankan kekuatan ikatan profesi inilah kemudian kami dirikan Asosiasi Perawat Indonesia di Kuwait (APIK) yang kemudian kami Inggriskan menjadi Indonesian Nurses Association in Kuwait (INAK). Saya diberi amanah untuk menjadi Presiden yang pertama.
Menyadari pentingnya organisasi dan peningkatan kompetensi profesi ini, dengan dibantu teman-teman yang aktif seperti Nurhadi, Amir Mahmud, Judi Nugroho, Supiani, Yudi Sri Mulyadi, Nasukha, Uus Kusmana, Ida Kusriati.....dan masih banyak lagi...kami berlayar jauh. Kehidupan profesional kami mulai terasa berubah. Kehidupan profesional kami terasa lebih indah. Perayaan HUT RI, Maulid Nabi, Lebaran, World Nursing Day...semuanya ditangani oleh INAK. Dan yang paling menggembirakan adalah beberapa kali diselenggarakan seminar (Bahasa Inggris) dengan mengundang sejumlah nurses dari Filipina, India atau Arab, membuat kami merasa eksis. Dalam setiap kesempatan tersebut, kami undang ‘penggede-penggede’ nursing di Kuwait. Official Language bagi pengurus INAK adalah Inggris. Bendera Indonesian Nurses in Kuwait pun saat itu ‘berkibar’.
Kami menjalin kerjasama yang baik sekali dengan pihak KBRI. Ibaratnya, tidak ada kegiatan yang terlewatkan tanpa keikut-sertaan kami di dalamnya. Kami bikin kalender INAK, kaos bertuliskan INAK, bazar, aktif dalam pengajian, olah raga, kesenian, silaturahim antar region, lomba kebersihan, best Indonesian nurse contest, serta masih banyak lagi kegiatan yang bertujuan untuk mengusir ‘kesunyian’ dan menyemarakkan suasana. Kita bisa bikin ‘Indonesia’ di bumi Kuwait.
*****
Ada saatnya berpikir, bahwa kehidupan profesi saya jika tetap bertahan di Kuwait, akan mandeg. Saya tidak melihat jendela pengembangan profesi bagi ekspatriat terbuka lebar. Cermin itu terhampar jelas di depan kelopak mata. Orang-orang India, Pakistan, Filipina, Banglades dan Arab, puluhan tahun tinggal dan bekerja di sana tanpa mengalami perubahan profesionalisme. Training tidak, apalagi sekolah!
Atas dasar ini, kemudian saya harus mencari jalan keluar bagaimana caranya agar Kuwait bukan negara pertama, sekaligus terakhir saya di luar negeri. Maka, sambil berlibur waktu itu, yang saya manfaatkan melaksanakan selain ibadah Umroh, juga pergi ke negara lain. Tujuan saya adalah United Arab Emirates (UAE). Saya dengar dari beberapa sumber bahwa UAE lebih terbuka. Ada kesempatan besar untuk berkembang.
Tanpa menunda waktu, saya urus visit visa ke sana. Pada kesempatan yang sama saya juga berkunjung ke Pakistan, sekedar ingin tahu bagaimana rupa negara Mohammad Iqbal, sastrawan legendaris Pakistan ini.
Tapi jangan dikira bahwa keliling ke tiga negara pada saat itu karena saya punya duit banyak. Tidak! Bagi saya, yang penting ada transport pesawat, sudah lebih dari cukup. Di Pakistan saya mengunjungi beberapa kenalan. Saya menengok pelayanan kesehatan di daerah terpencil, rumah sakit di dekat perbatasan Afghanistan, serta menemui beberapa nurses. Orang Pakistan ramah-ramah. Saya nyaris tidak perlu bayar pondokan. Bahkan makan minum juga bukan persoalan. Ujung dari perjalanan ini saya tuangkan dalam beberapa artikel. Di antaranya Balada Muslim Pathan, Ramadan di Pakistan serta Nikmat Haji Lewat Darat.
Di UAE selama 5 hari. Hanya dua hari di antaranya saya hanya nginap di hotel murah. Selebihnya tinggal pertokoan yang belum jadi. Memang nggak gratis, tapi murah sekali. Saya ketuk semua pintu-pintu healthcare provider di UAE. Milik pemerintah federal, lokal maupun swasta. Dari Dubai hingga Abu Dhabi. Alhamdulillah ada buahnya. Tapi tidak seketika. Sesudah satu bulan kepulangan saya dari UAE, saya mendapatkan panggilan. Bukan untuk diterima, namun test. Betapa senangnya waktu itu. Segera saya urus visit visa lagi ke UAE Embassy di Kuwait City. Alhamdulillah, bukan hanya berhasil dalam perolehan visa saja, namun juga pekerjaan saya dapatkan.
Tanpa menunda lebih lama, karena saya tahu bagaimana proses resignasi di Kuwait yang berbelit dan bertele-tele, saya mengajukan emergency resignation. Saya tidak peduli meskipun end of service benefit tidak saya dapat, hingga saat ini. Toh, saya akan dapat jauh lebih banyak ketimbang sekedar satu setengah bulan gaji di sana nantinya. Saya tiggalkan Kuwait di tahun 1996.
*****
Saya adalah the first Indonesian nurse di UAE. Asing? Tidak juga! Tiga setengah tahun di Kuwait cukup bagi saya sebagai bekal tinggal di negeri lain. Apalagi sama-sama Arab. Tapi UAE, khususnya Dubai memang beda. Bahasa Arab tidak dominan. Malah menguasai Bahasa Hindi dan Inggris lebih penting dari pada Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Saya bekerja di sebuah klinik Occupational Health, di garasi besar milik pemerintah lokal: Dubai Government Workshop (DGW). Ketika saya datang, yang ada di klinik hanya satu meja berikut kursinya dan satu tempat tidur . Saya tertantang untuk memulai pekerjaan baru dari Nol.
Saya benahi klinik tersebut agar nampak seperti klinik. Mulai dari perlengkapan kantor, peralatan medik dan perawatan, obat-obatan serta administrasi. Secara perlahan namun pasti, klinik yang saya rencanakan akhirnya established. Dubai Government Workshop Occupational Health Clinic, begitu papan nama yang saya canangkan, terpampang di depan klinik kami. ‘Lucunya’, saya lebih akrab dipanggil ‘doctor’ ketimbang ‘nurse’ oleh lebih dari 500 karyawan di sana. Saya sendirian yang menangani pelayanan kesehatan di garasi tersebut, sebelum satu orang Indonesia lainnya bergabung. One man show boleh dibilang.
Lambat laun, Indonesian nurses mulai berdatangan, direkrut oleh Pemerintah Federal. Tiga, sepuluh, dua puluh, hingga angkanya mencapai sekitar 150 orang di seluruh UAE, terpencar di 7 negara bagian. Impian untuk mewujudkan Indonesian Nurses in UAE terhambat. Saya tidak melihat greget yang besar di antara kolega kita. Mungkin karena kesibukan atau apa, saya kurang tahu. Jumlah ini pun, tidak sampai empat tahun ke depan, merosot tajam.
Kami, masyarakat Indonesia, membentuk Indonesian Moslem Association (IMA) di UAE. Bersama-sama Nurhadi, salah seorang senior nurse kita di UAE, Susanto, senior teknisi, Cucuk, serta saya sendiri adalah motornya. Sekitar 8 tahun saya gabung dengan IMA dan duduk sebagai koordinator bidang Education & Training serta Publikasi. Kami menerbitkan majalah bulanan dan saya sebagai salah satu penulis tetap yang aktif. Lewat organisassi sosial ini, kami kembangkan berbagai aktivitas sosial yang positif. Saya juga aktif gabung dengan Indian Islamic Center (ICC). Tulisan di rak-rak perpustakaan mereka, adalah buah tangan saya. Saya lah yang mengurusi P3K jika ada kegiatan akbar. Di sana saya banyak belajar tentang Islam di India serta seluk beluk organisasi mereka.
*****
Rencana studi jalan terus. Biaya sekolah yang mahal tidak mengurangi minat saya untuk mencapai tujuan ini. Boleh dikata sambil puasa. Di Dubai, memang banyak sekali perguruan tinggi internasional termasuk kantor-kantor cabang yang melayani part time study atau distance learning. Mulai dari USA, UK, Australia hingga India. Kita tinggal pilih. Saya pilih universitas Australia yang biaya kuliahnya masih terjangkau.
Latar belakang kuliah Bahasa Inggris dulu sangat membantu kelancaran studi. Hari-hari saya sejak kerja sambil kuliah, penuh kesibukan, dari pagi hingga malam hari. Di perjalanan ke kantor, selama kerja, jika ada sela-sela waktu, saya selalu sempatkan untuk membaca atau mengerjakan assignment.
Waktu pun berlalu cepat. Sesudah menyelesaikan jenjang S1, saya teruskan ke Program S2. saya mengambil Nursing Education. Strategi yang saya gunakan selama studi adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menerapkan apa yang saya dapat dalam buku ke lapangan. Jadi yang namanya interaksi dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia berlangsung terus. Bahkan praktek-praktek lapangan serta penelitian saya lakukan di beberapa Akper di Jawa Timur.
Sementara di tempat kerja, nyaris tidak ada kendala yang berarti. Apalagi di bawah kendali saya. Semua data-data statistik serta segala sesuatu untuk keperluan Nursing Research bisa saya peroleh dengan mudah. Demikian pula misalnya soal health promotion, nursing education yang membutuhkan praktek lapangan. Gampang sekali mendapatkan sasarannya.
Sebagai satu-satunya orang Indonesia di tempat kerja (sebelum rekan lainnya datang), didukung kemampuan Hindi dan Arabic, saya bisa menempatkan diri dalam posisi yang netral. Kerjasama dengan atasan dan pasien berlangsung mulus sampai saya bisa menyelesaikan kuliah. Dan di situlah puncaknya. Ada satu lagi orang Indonesia yang juga besar minat belajarnya dalam pengembangan profesi ini yang juga menyandang gelar S2 dan lulus satu semester di bawah saya. Di pula yang dikemudian hari menggantikan posisi saya sebagai Charge Nurse di DGW, sesudah saya pindah kerja.
*****
Saya memang berencana untuk pindah dan mencari kerja lagi sesudah merampungkan S2 ini. Begitu mendaptakannya, ‘perburuan’ dimulai. Saya mendaftarkan diri sebagai Occcupational Health Nurse Supervisor di Dubai Electricity & Water Authority (DEWA). Semacam PLN di negeri kita. Dari 250 pelamar, alhamdulillah hanya saya yang diterima. Informasi ini saya peroleh dari seorang engineer, sesudah saya masuk dan jadi karyawan. SG Govardhanan orangnya. Seorang Chemical Engineer yang dikemudian hari menjadi kolega kerja saya. Kembali lagi, saya satu-satunya Indonesian di DEWA di antara 8000 lebih karyawan yang ada. Saya tidak habis mengerti, mengapa organisasi sebesar DEWA tidak pernah dilirik oleh teknisi atau sarjana-sarjana listrik kita?
Saya bekerja di bawah naungan Occupational Health & Safety Department. Benar-benar tantangan baru bagi saya. Saya satu-satunya nurse yang dipercaya untuk ‘membuka’ program Occupational Health di situ, di tengah-tengah insinyur teknik listrik dan kimia. Selain itu, sekitar 20 Contractor nurses juga di bawah pengawasan kerja saya. Site visit ke tempat-tempat instalasi listrik yang besar, mengunjungi proyek-proyek serta observasi terhadap pelayanan kesehatan yang disediakan oleh para kontraktor, health education, evaluasi fitness to work adalah bagian dari kerjaan saya.
Boleh dibilang, saya bekerja independent. Tidak ada orang yang campur tangan terhadap apa yang saya lakukan. Itu kelebihannya. Kekurangannya, dan ini faktor terbesar yang mempengaruhi kepuasan kerja saya adalah, supervisor saya bukan orang yang memiliki latar belakang kesehatan. Akibatnya, rencana-rencana program saya ‘dikesampingkan’. Dia lebih mengutamakan program yang terkait dengan kelistrikan ketimbang kesehatan. Wajar! Begitu pikir saya. Tapi apa tujuan merekrut saya jika demikian?
Manajemen DEWA bagus. Training karyawan mereka perhatikan. Dalam tahun pertama saya di sana saja, tidak kurang dari 8 kali training yang saya dapatkan. Satu di antaranya International Occupational, Safety and Health (IOSH), di sebuah hotel berbintang lima selama seminggu. Subhanallah. Manusia memang selalu merasa kurang puas dengan apa yang ada. Termasuk yang saya alami. Saya tidak mampu membedakan apakah saya ini orang yang kurang pandai bersyukur ataukah tuntutan berkembang secara profesional adalah fardhu ‘ain, wajib hukumnya? Jika yang terakhir ini pilihannya, maka jika saya tetap di DEWA, meski gaji memadai, bahkan setingkat dengan para engineer, harus menunggu sampai kapan?
*****
Ringkasnya, saya mencari peluang baru lagi. Dan itu saya ketemukan di Qatar Petroleum (QP). Sebuah perusahaan kaya, yang saya dengar dari beberapa rekan-rekan saya ex-Kuwait yang sudah bergabung lebih dahulu. QP menjanjikan ‘kehidupan profesional’ yang lebih baik. Saya tergiur untuk mencobanya.
Saya pun dipanggil. Tidak sendiri. Sejumlah Indonesian nurses lainnya pula ikut serta. Lulus interview di Dubai. Namun ada penundaan, hingga satu tahun. Saya sabar. Orang sabar adalah kekasih Tuhan. Prinsip ini jadi melekat dalam kehidupan saya. Saya mencoba untuk bisa mengaplikasikannya, meski tidak selalu berhasil. Pasti ada hikmahnya.
Benar. Ketertundaan pemberangkatan ke Qatar bukannya tanpa hikmah. Penundaan ini yang membuat saya yang semula direkrut pada posisi Senior Nurse, beralih ke Occupational Health-Chief Nurse.
Tanggal 26 Juni 2007 merupakan hari terakhir saya bekerja di DEWA. Sehari sebelumnya, saya, beserta seorang rekan, Joby, Electrical Engineer, yang juga resign bersamaan, yang juga bekerja di Qatar saat ini, diundang departemen makan siang bersama di sebuah rumah makan India. Kami tinggalkan DEWA dengan kesan yang dalam. Seperti halnya IMA, DEWA juga menghadiahkan sebuah jam tangan sebagai pengingat. Agar sebagai insan yang fana ini, tidak lupa, bahwa begitu berharganya sang waktu.
*****
Hidup ini memang tidak sempurna. Apalagi yang namanya tempat kerja. Saya sudah 7 kali pindah. Dari Pasuruan, Lawang, Malang, ‘Nganggur’ di Trenggalek, Mubarak Al Kabeer Hospital, Firdause Clinic (Kuwait), DGW, DEWA (UAE), serta saat ini di QP (Qatar). Meski demikian, saya bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bisa memilih mana yang terbaik.
Setiap kali pulang cuti, saya selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbagai. Ketika saya kirim artikel ini ke anda, saya akan berangkat cuti ke Indonesia malam harinya. Dua Akper Unggulan di Jawa Timur sedang menanti saya dengan sejumlah materi pembelajaran. Akper ini menerapkan sistem Bahasa Inggris sebagai Bahasa Pengantarnya. Sebuah perkembangan baru dalam dunia pendidikan nursing kita, yang saya bangga karenanya.
Saya menyadari, bahwa ada hak-hak orang lain dalam diri ini. Dengan keluarga, tetangga, masyarakat, rekan-rekan seprofesi, bahkan mahasiswa yang sedang belajar di bangku kuliah. Dari Bekasi-Jakarta, Yogyakarta, Blitar, Surabaya, Lawang, Malang, Lumajang hingga Jember. Dari UGM, UNBRA, UMM hingga UNEJ, saya sudah menjelajah. Saya percaya bukan kurma yang mereka harap. Juga bukan Dinar. Ada saja yang mengundang. Tidak jarang saya yang tertantang untuk menawarkan. Uang memang datang, tapi bukan itu target utama. Barangkali ada yang mencemooh. Tidak apalah. Nabi-Nabi utusan Tuhan saja dilecehkan umatnya. Apalah artinya manusia semacam saya?
Hidup di luar negeri bisa saja bersimbah harta. Hidup di luar negeri, pula bisa bermandikan fenomena. Acapkali kita tidak bisa melihat dari dekat orangtua, anak-anak, istri, saudara, tetangga atau teman yang sakit. Kita juga tidak bisa terlibat dalam keluarga yang punya hajat nun jauh di sana. Pun tidak ada istilah melayat. Apalagi yang namanya sunatan massal. Saya tidak mampu bersua ketika Ibunda kami dibaringkan di liang lahat, kecuali berdo’a. Suka duka kehidupan yang saya timba memang tidak mengenal suasana. Di Bumi Nusantara ataukah Timur Tengah. (Tamat).
Doha 30 July 2008
Shardy2@hotmail.com