Rabu, 29 Juni 2011

Perjuangan Perawat Misran (2)

Dikabulkannya uji materi terhadap Undang-Undang 36/2009 tentang Kesehatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (27/6/2011), benar-benar mengagetkan banyak pihak. Apalagi, judicial review itu “hanya” diajukan 13 perawat asal Kaltim yang didampingi dua penasihat hukum dengan dana yang terbatas.

Adalah Misran, kepala Puskesmas Pembantu Desa Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar) menjadi tokoh sentral dalam kemenangan uji materi ini. Dia seorang perawat yang ditahan dan divonis bersalah karena terbukti memberikan obat daftar G kepada pasien. UU 36/2009 melarang mantri desa melayani pasien dalam kondisi darurat seperti halnya dokter atau apoteker.

Misran dan dua penasihat hukumnya, yaitu Erwin dan Muhammad Aidiansyah dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korpri Kukar berpendapat, pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal yang salah satu frasenya berbunyi “... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundangan,” dinilai tidak bisa diterapkan di seluruh pelosok negeri. Pasalnya, tidak semua daerah memiliki tenaga kesehatan dan infrastruktur memadai.

Diwawancarai Kaltim Post siang kemarin, Misran mengaku, perjuangan judicial review melewati proses panjang. Bersama Aidiansyah, penasihat hukumnya, dia menceritakan fase sulit pada awal pengajuan uji materi. Tiga bulan pertama, tepatnya pada pengujung 2009, mereka harus membuat syarat-syaratnya yang rumit.

Sebelum gugatan diterima, pemohon mengajukan proposal ke panitera pendaftar. Kepada panitera itu, Misran dan kawan-kawan berkonsultasi apakah proposal itu benar-benar mendasar. “Kalau tidak mendasar atau sekadar retorika, MK pasti menolak,” kata Misran.

Ketua (demisioner) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kaltim Edyar Miharja menambahkan, konsep awalnya, PPNI bersama lawyer menyusun legal standing judicial review. Diputuskan, yang mengajukan gugatan adalah kelompok, bukan individu. Akhirnya, terkumpul 13 perawat dari Paser, Penajam Paser Utara, dan Kukar yang bernasib sama dengan Misran.

“Ketika sidang permohonan, MK menanyakan apakah ada hak konstitusi yang dilanggar. Saat itu, kami harus memperbaiki permohonan dengan melengkapi fakta-fakta yuridis yang dialami para perawat,” kata Edyar.

“Alhamdulillah, MK sangat merespons ide saya. Setelah empat kali konsultasi, dalam tiga bulan gugatan itu diterima untuk disidangkan,” tambah Misran. Dia mengatakan, apa yang diajukan sangat mendasar bahwa terdapat ketakutan di kalangan perawat memberikan pelayanan kesehatan. Padahal, di kondisi tertentu hal itu harus dilakukan karena berhubungan dengan nyawa manusia.

Setelah kesulitan pertama, yakni pendaftaran, berikutnya adalah dalam persidangan. Saksi ahli dari pemerintah menyatakan, undang-undang itu tidak ada masalah. Dalam pemaparan mereka, kata Edyar, sungguh meyakinkan. “Tapi kan, nyatanya di daerah ada masalah,” imbuhnya.

Untuk memperkuat gugatan, pemohon mengajukan saksi ahli yaitu Prof Azrul Azwar. Adapun Azrul adalah mantan ketua umum Ikatan Dokter Indonesia yang bekerja di Kementerian Kesehatan dan aktif di sejumlah organisasi internasional. Azrul memberikan pemahaman bahwa UU Kesehatan tidak bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Sedikitnya, menurut penjelasan Edyar, ada empat kali persidangan.

Aidiansyah, penasihat hukum dalam gugatan ini mengatakan, tidak sepeser pun biaya yang dikeluarkan di MK. “Nol rupiah,” sebutnya. Sementara Misran dan Edyar sama-sama menolak menyebutkan berapa biaya akomodasi dan transportasi di Jakarta. “Banyak bantuan. Tidak mungkin saya sebutkan semua. Biasanya, rombongan ke Jakarta sekitar lima orang setiap persidangan,” ungkapnya.

DIANGGAP GILA

Ketika pertama kali mengajukan gugatan, Edyar mengaku, banyak yang pesimistis. “Sebelum media lokal dan nasional mengungkap apa yang dialami Pak Misran, kami bahkan dianggap gila karena mengajukan judicial review,” ungkapnya. Setelah menjadi isu nasional, lanjut dia, barulah banyak perhatian yang datang.

Akhirnya, dua hari lalu MK mengabulkan permohonan Misran. Dipimpin Ketua MK Mahfud MD, mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Menurut MK, perawat yang bertugas dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa memerlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Dilematis, ketika penjelasan pasal 108 ayat 1 yang membatasi kewenangan dan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Mahfud menyatakan, petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan di sisi lain memberikan obat dibayangi ketakutan ancaman pidana.

Apalagi, disebabkan luasnya wilayah Indonesia dan banyak wilayah terpencil, kemampuan keuangan negara, serta sedikitnya SDM kesehatan. “Kalimat “harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang- undangan”, tidak tepat diperlakukan sama di semua tempat di Indonesia,” kata Mahfud.

Perjuangan Perawat Misran (1)

Perawat Misran, Kepala Puskesmas Pembantu Desa Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur divonis Pengadilan Negeri Tenggarong, Kaltim 19 November 2009.

Isi vonis PN Tenggarong tersebut : (1)“Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka praktik kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan yang melanggar pasal 82 ayat 1 huruf b juncto pasal 63 ayat 1 Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan,
(2)“Dijatuhi pidana penjara 3 bulan potong masa tahanan, ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan kurungan.”

Pria kelahiran 28 Oktober 1969 ini tertunduk dengan wajah lemas. Pengabdiannya kepada masyarakat balas oleh negara dengan vonis bersalah.
Kendati dia tidak ditahan karena sudah dipotong masa tahanan; kendati putusan lebih ringan dari dakwaan jaksa, yakni pidana sepuluh bulan; Misran jelas kecewa karena dia dinyatakan bersalah.

Para pendukung Perawat Misran, Ketua PPNI Kukar Abdul Jalal turut kecewa. Kuasa hukum Misran, M Aidiansyah dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korps Pegawai Negeri (Korpri) Kukar waktu itu menyatakan pikir-pikir, walaupun akhirnya mengajukan banding.
******
SEMUA bermula pada Rabu petang, 3 Maret 2009. Sehari sebelumnya, Misran memberikan obat daftar G kepada seorang pasien. Keesokan sore, datang seorang polisi yang menyamar sebagai pembeli. Kepada Misran, polisi itu bertanya apakah ada Amoxicillin, obat jenis antibiotik.

Tak berapa lama, tiga lelaki lainnya bergabung. Mereka memperkenalkan diri sebagai polisi yang ditugaskan memeriksa dan menahannya. “Saya ini kepala puskesmas pembantu. Karena masyarakat memerlukan, saya buka praktik. Saya sudah memiliki izin dari Dinas Kesehatan tingkat satu (Kaltim, Red). Apa yang kami lakukan karena tuntutan masyarakat,” kata Misran, mengulang kalimat yang disampaikan kepada empat orang petugas Polri kala itu.

Para petugas yang diketahui dari Polda Kaltim masing-masing berpangkat komisaris polisi, ajun inspektur polisi satu, brigadir polisi kepala, dan seorang brigadir polisi dua. “Maaf, Pak Misran. Kami hanya menjalankan tugas. Untuk itu, Pak Misran harus nurut kami geledah dan kami tahan,” kata seorang dari para polisi itu.

Pada pukul 18.00 Wita, Misran bersama obat-obatan dibawa ke Balikpapan. Juga, nota pembelian dari Apotek Obat Sehat dan Apotek Setia Jaya di Samarinda yang kemudian menjadi barang bukti di persidangan. Begitu sampai di Mapolda Kaltim di Kota Minyak, Misran terpaksa menunggu pemeriksaan karena listrik sedang padam.

Lewat tengah malam, Misran yang menjadi kepala Puskesmas Pembantu sejak 3 November 1994 mulai diperiksa. Lumayan panjang karena baru berakhir pukul 04.30 Wita.
Dalam rasa kantuk dan lelahnya, Misran mendapat tekanan dan sulit membela diri. ”Saya harus mengakui kesalahan bahwa perawat tidak berwenang memeriksa dan memberi obat,” katanya.

Misran disangka melanggar undang-undang kesehatan, yang tahun itu diperbarui lewat UU 36/2009. Seorang perawat menurut undang-undang itu, tidak berkompeten memberikan obat daftar G kepada pasien, kendati perawat itu satu-satunya tenaga medis di suatu daerah. Obat daftar G (gevaarlijk atau berbahaya) ditandai dengan simbol huruf K (keras) yang dikelilingi lingkaran merah di kemasannya. Boleh didapat hanya dengan resep dokter.

Waktu itu, Misran sama sekali tidak mengerti undang-undang. Jarak dokter terdekat dari desanya 15 kilometer. Yang dia tahu, sebagai tenaga medis dia harus membantu orang. Pisau bermata dua membelah buah simalakama. Membantu pasien ditangkap, tidak membantu bisa-bisa dihakimi orang sekampung.

“Tentang penangkapan, saya terima. Tapi saya bukan pencuri atau pengedar narkotika,” tuturnya, dalam sebuah seminar di Balikpapan belum lama ini. Misran, menyoal cara aparat memperlakukan dia secara tidak pantas. Peraih penghargaan perawat teladan ini tidak dijebloskan ke dalam sel bersama 24 tahanan narkotika. “Ya Allah, inikah penjara? Saya disamakan dengan mereka,” lirih Misran, di sela-sela air mata dan doa, pada dini hari yang tak pernah dilupakannya itu.
******
“SAYA dan teman-teman akan me-judicial review UU Kesehatan. Undang-undang itu tidak bisa diterapkan di semua daerah, apalagi di pelosok, ,” kata Misran usai vonis dibacakan di PN Tenggarong, sembilan belas bulan lalu.

Misran menyayangkan vonis di PN Tenggarong yang tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. “Tidak dipertimbangkan tanggung jawab dinas dan pemerintah. Termasuk jaksa mengatakan, undang-undang itu tidak ada pengecualian. Vonis itu sungguh membuat sakit hati saya,” tuturnya.

Dikatakan ayah tiga anak ini, dia harus mengajukan uji materi UU 36/2009. “Jika tidak, bisa banyak orang yang meninggal. Saya tidak mau, karena seorang Misran saja, membuat kesusahan sebanyak ini,” ungkapnya,
“Undang-undang itu jangan dibikin kasar. Undang-Undang harus berperikemanusiaan, bukan menyusahkan,” ungkapnya.

Vonis kepada Misran turut memantik solidaritas para perawat. Beberapa hari setelahnya, sedikitnya 800-an perawat di Kukar menghentikan kegiatan pelayanan daripada ditangkap aparat. Ada 128 puskesmas pembantu di 18 kecamatan di kabupaten itu yang punya perawat seperti Misran.

Banyak yang memilih cara aman tidak memberi obat daftar G kepada pasien. Ketua PPNI (demisioner) Kaltim Edyar Miharja menuturkan, lepas putusan itu, masyarakat menjadi kesusahan karena harus ke dokter untuk mendapat resep. “Bagaimana masyarakat yang tinggal di perbatasan dan terpencil ? Kondisinya jauh lebih sulit,” tuturnya.

Hampir dua tahun, Misran bersama dua penasihat hukum dari LKBH Korpri Kukar berjuang ke Jakarta. Bolak-balik mulai mengajukan uji materi undang-undang kesehatan, mengikuti persidangan, hingga putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Senin (27/6/2011), sembilan hakim MK sependapat, pasal 108 ayat (1) UU No 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945.

“Sekarang, saya menanti kasasi (terhadap vonisnya) di Mahkamah Agung. Semoga majelis hakim merujuk keputusan MK. Jujur, kata “mala praktik” itu sungguh menyakitkan saya,” kata Misran, ketika dihubungi kemarin masih di Jakarta. Jika kasasinya dikabulkan, Misran mendapatkan kembali nama baiknya. Lalu, apakah dia trauma? Masih ingin membuka praktik? “Saya masih menanti,” jawabnya.