Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk ke sekian kalinya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 595/D5.1/2007 tertanggal 27 Februari 2007. Inti dari surat edaran itu ialah pelaksanaan perkuliahan jarak jauh oleh perguruan tinggi mana pun—negeri atau swasta, dalam negeri atau luar negeri—tak dibenarkan atau dilarang, kecuali yang dilaksanakan oleh Universitas Terbuka (UT) yang memang disediakan dan dilengkapi fasilitas untuk menyelenggarakan kuliah jarak jauh.
Pelarangan serupa sudah lama dilakukan oleh Dirjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh perguruan tinggi yang melaksanakannya. Bersamaan dengan itu, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X mengeluarkan Surat Larangan Kuliah Kelas Jauh dan Perkuliahan Sabtu-Ahad.
Penjaminan Mutu
Yang dimaksud dengan pelarangan ini, sebagai contoh, Perguruan Tinggi (universitas, institut, dan sebagainya) XYZ yang berkampus induk di Jawa (entah di Jakarta, Semarang, Surabaya, dll.), di Sumatera (entah di Aceh, , Pekanbaru, Padang, dll.), di Sulawesi (entah di Gorontalo, Manado, Ujungpandang, dll.), atau di Malaysia (entah di Kualalumpur, Kedah, Johor Baru, dll.) membuka cabangnya atau mengadakan kuliah (boleh jadi di hotel, ruko, dan sebagainya) dengan membuka satu atau beberapa jurusan di Tanjungpinang, Batam, Tanjungbalai Karimun, dan sebagainya. Praktik perkuliahan seperti itulah yang dilarang atau jelas ilegal sesuai dengan surat edaran Dirjen Dikti dan memang tak pernah ada izinnya dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Jadi, pelarangan itu bukan baru terjadi sejak terbitnya surat edaran Dirjen Dikti, Depdiknas terbaru (2007) seperti yang dipaparkan di atas, kecuali yang dilaksanakan oleh UT yang memang sah. Pelarangan perkuliahan jarak jauh, perkuliahan kelas jauh, dan perkuliahan Sabtu-Ahad dapat dipahami dan seyogianya diapresiasi secara positif serta disukai atau dibenci harus ditaati karena ada peraturan hukum tentang pelarangan penyelenggaraannya. Jika dilaksanakan juga jelas praktik seperti itu melanggar ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini dikeluarkan oleh institusi yang berwewenang dalam masalah pendidikan di Indonesia yaitu Depdiknas melalui Dirjen Dikti.
Dari segi akademik, pelarangan tersebut dikaitkan dengan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tak ada jaminan mutu dari kegiatan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, yang sama sekali tak dilengkapi dengan pelbagai fasilitas wajib seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan sarana-prasarana pendidikan lainnya yang lazimnya sangat diperlukan. Apalagi perkuliahan hanya dilaksanakan satu atau dua hari seminggu dan bukan rahasia lagi satu mata kuliah hanya dilaksanakan perkuliahan tatap muka satu atau dua kali per semester. Sedangkan perkuliahan reguler di kampus induk yang dilaksanakan enam hari seminggu dan setiap mata kuliah dilakukan 18 kali tatap buka per semester, mutunya masih diragukan kalau mahasiswanya hanya mengharapkan ilmu dari materi perkuliahan, tanpa memperkaya khazanah ilmunya dengan menimbanya sebanyak-banyaknya di luar jam kuliah.
Malangnya, banyak orang yang merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan secara mudah seperti itu. Tak jarang kita membaca ucapan selamat yang dimuat dalam ukuran besar di surat-surat kabar apabila seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya, baik S1 (sarjana), S2 (magister), dan S3 (doktor), apalagi kalau yang meraihnya para pejabat. Disebutlah bahwa yang bersangkutan telah meraih kesarjanaan dari Universitas X di Jawa, misalnya, padahal masyarakat tahu bahwa yang bersangkutan justru bekerja rutin di luar Jawa. Tragis dan memalukan !!!
Efek Jera
Dengan sekali lagi ditegaskan larangan perkuliahan jarak jauh dan kelas jauh oleh Dirjen Dikti, timbul pelbagai reaksi dan keresahan. Hal itu terutama dirasakan oleh para pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan ijazahnya untuk penyetaraan jenjang karir (menjabat eselon tertentu yang mempersyaratkan pendidikan sarjana). Keresahan juga dialami oleh mereka yang sedang mengikuti perkuliahan seperti yang terbaca di surat-surat kabar di banyak daerah.
perguruan tinggi membuka kelas perkuliahan karak jauh dilarang oleh Dirjen Dikti. Siapakah yang akan bertanggung jawab apabila perkuliahan dan kesarjanaannya dilikuidasi? Masyarakat agar berhati-hati memilih perguruan tinggi dan berkuliahlah di perguruan tinggi yang berkampus induk di daerah masing-masing kalau memang tak dapat meninggalkan pekerjaan untuk tugas belajar atau izin belajar ke luar daerah.
Penyebab terjadinya perkuliahan ilegal ini adalah orang memerlukan ijazah sarjana untuk penyetaraan jenjang kepangkatan atau karir. Di samping itu, orang Indonesia memang tergolong suka pamer gelar, kalau perlu berderet-deret, termasuk gelar akademik. Kebetulan, ada perguruan tinggi yang menawarkannya dengan cara yang mudah dan cepat melalui perdagangan pendidikan tinggi. Gayung bersambut, kata berjawab antara produsen gelar dan konsumennya.
Pihak Depdiknas melalui Dirjen Dikti harus bersikap dan bertindak tegas. Perguruan tinggi yang melakukannya harus dikenakan sanksi yang jelas dan tegas. Selama ini sanksi itu tak pernah ada sehingga praktek ilegal tetap marak. Ijazah dan gelar yang diperoleh melalui praktik perkuliahan ilegal, walau harus dikatakan dengan berat hati, harus dilikuidasi. Jika ada yang nekat tetap menggunakannya, perlu dilakukan tindakan hukum.
Dalam hal ini, Depdiknas harus bekerja sama dengan institusi dan instansi yang terkait. Kalau tindakan dan sanksi yang tegas tak diberlakukan, aturan pemerintah hanyalah jadi macan kertas dan praktik perkuliahan ilegal akan terus menjamur di Indonesia. Mau dibawa ke mana bangsa ini dengan pendidikan dan gelar akademik karbitan itu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar