Berbagai macam jenjang pendidikan perawat di Indonesia saat ini menyebabkan kerumitan dan kesulitan dalam pengaturan standar kompetensi dan batas kewenangan seorang perawat. Hingga saat ini, latar pendidikan perawat di Indonesia adalah SPK, D III, D IV, S 1, S2, S3.
Idealnya pendidikan dasar perawat adalah S1 sehingga mudah dalam penyusunan standar kompetensi dan batas kewenangan. Kita lihat profesi medis, hanya ada dua golongan yaitu dokter umum dan dokter spesialis. Dokter umum adalah S1 ditambah pendidikan profesi. Sedangkan dokter spesialis adalah dokter umum yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan spesialistik. Kewenangan dan standar kompetensi antara dokter umum dengan dokter spesialis sangatlah jelas. Ini sangat berbeda dengan keperawatan.
Tahun 1983 (sudah 26 tahun nihhh) Lokakarya Keperawatan di Ciloto mendeklarasi, Keperawatan adalah sebuah profesi. UU Sisdiknas (yang dibuat tahun 2003 kalau gak salah), menyatakan pendidikan profesi adalah S1. Apa korelasinya ? Kalau pemerintah (Depkes RI) punya niat baik (goodwill) menjadikan keperawatan di Indonesia betul-betul profesional, maju dan berkembang sehingga tidak tertinggal dengan Filipina dan Thailand, maka PENDIDIKAN DASAR PERAWAT ADALAH SARJANA STRATA SATU (S 1 ). Institusi pendidikan perawat di bawah D III (SPK/ Sekolah Menengah Kejuruan Jurusan keperawatan) mutlak harus dihapuskan, tidak boleh berdiri DIII Keperawatan yang baru, dan secara bertahap D III keperawatan yang ada harus dikonversi dan ditingkatkan menjadi S 1. Sehingga dalam hal ini, D IV keperawatan juga tidak boleh berdiri. Sebab D IV Keperawatan hanya akan memperpanjang jalan menuju kesetaraan profesi perawat Indonesia dengan perawat negara maju.
Ini juga kalau Pemerintah RI memiliki goodwill dan perhatian terhadap keperawatan. Kalau tidak ada goodwill, berarti pemerintah hanya melakukan banyolan. Penulis dengar di Makassar masih berdiri SPK dengan label lain, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Keperawatan. Barangkali di kota lain juga masih ada SMK yang serupa. Kalau Depkes konsisten dengan visinya, menjadikan pendidikan perawat di Indonesia berkualitas internasional dan perawat menyatakan perawat Indonesia dapat go international serta bisa berbicara di kancah internasional, maka D IV tidak boleh didirikan karena D IV tidak bermanfaat bagi perawat Indonesia yang akan keluar negeri. Jika untuk kebutuhan pasar dalam negeri, barangkali lulusan D IV Keperawatan bermanfaat, terutama untuk memenuhi kebutuhan bagi para dokter akan tersedianya ”pembantu terdidik” .
Di negara yang sudah maju ilmu keperawatannya macam Filipina, Thailand dan Australia, standar ilmu keperawatan adalah S 1 (bachelor). Dari jenjang bachelor ini mereka kemudian akan menjalani proses registrasi menjadi RN. Kalau ingin sejajar dengan negara lain, mestinya pemerintah RI berkaca dan mencontoh negara yang maju tadi.
Penulis berasumsi bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Kesehatan, saat ini sedang membuat sebuah dagelan atau banyolan alias lawakan. Sayangnya yang menjadi korban adalah perawat. Jenjang D IV tidak dikenal di dunia internasional, mengapa tetap memaksakan diri melangsungkan program tersebut. Kalau niat awal adalah memajukan dunia keperawatan Indonesia agar tidak lagi tertinggal, maka jangan membuat jenjang D IV. Sebutan Sarjana Sain Terapan (SST) bagi lulusan D IV, penulis pikir merupakan hal yang dipaksakan. Dunia pendidikan masa kini hanya mengenal S 1 (sarjana strata satu), S 2 (sarjana strata dua/magister) dan S3 (sarjana strata tiga / doktor). Seorang sarjana S 1 harus lulus 144 SKS. Contohnya Sarjana Kedokteran. Kemudian, apabila yang bersangkutan ingin meraih gelar profesi (dokter), maka dia harus menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu minimal 2,5 semester.
Nah dari patokan tadi, bukankah lulusan D IV tidak pantas disebut sebagai sarjana. Alasannya cukup jelas yakni SKS yang diraih selama menjalani pendidikan DIV tidak pernah mencapai angka SKS minimal (144 SKS). Lantas, di mana logika yang membenarkan lulusan D IV dapat disebut sebagai sarjana (entah Sarjana Sain Terapan ataukah sarjana lainnya). Yang jelas D IV keperawatan adalah sebuah dagelan.
Bontang, 17 Februari 2009
Khairin Fikri
Ketua PPNI Kota Bontang Kalimantan Timur
khairin_fikri@yahoo.com
Ini juga kalau Pemerintah RI memiliki goodwill dan perhatian terhadap keperawatan. Kalau tidak ada goodwill, berarti pemerintah hanya melakukan banyolan. Penulis dengar di Makassar masih berdiri SPK dengan label lain, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Keperawatan. Barangkali di kota lain juga masih ada SMK yang serupa. Kalau Depkes konsisten dengan visinya, menjadikan pendidikan perawat di Indonesia berkualitas internasional dan perawat menyatakan perawat Indonesia dapat go international serta bisa berbicara di kancah internasional, maka D IV tidak boleh didirikan karena D IV tidak bermanfaat bagi perawat Indonesia yang akan keluar negeri. Jika untuk kebutuhan pasar dalam negeri, barangkali lulusan D IV Keperawatan bermanfaat, terutama untuk memenuhi kebutuhan bagi para dokter akan tersedianya ”pembantu terdidik” .
Di negara yang sudah maju ilmu keperawatannya macam Filipina, Thailand dan Australia, standar ilmu keperawatan adalah S 1 (bachelor). Dari jenjang bachelor ini mereka kemudian akan menjalani proses registrasi menjadi RN. Kalau ingin sejajar dengan negara lain, mestinya pemerintah RI berkaca dan mencontoh negara yang maju tadi.
Penulis berasumsi bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Kesehatan, saat ini sedang membuat sebuah dagelan atau banyolan alias lawakan. Sayangnya yang menjadi korban adalah perawat. Jenjang D IV tidak dikenal di dunia internasional, mengapa tetap memaksakan diri melangsungkan program tersebut. Kalau niat awal adalah memajukan dunia keperawatan Indonesia agar tidak lagi tertinggal, maka jangan membuat jenjang D IV. Sebutan Sarjana Sain Terapan (SST) bagi lulusan D IV, penulis pikir merupakan hal yang dipaksakan. Dunia pendidikan masa kini hanya mengenal S 1 (sarjana strata satu), S 2 (sarjana strata dua/magister) dan S3 (sarjana strata tiga / doktor). Seorang sarjana S 1 harus lulus 144 SKS. Contohnya Sarjana Kedokteran. Kemudian, apabila yang bersangkutan ingin meraih gelar profesi (dokter), maka dia harus menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu minimal 2,5 semester.
Nah dari patokan tadi, bukankah lulusan D IV tidak pantas disebut sebagai sarjana. Alasannya cukup jelas yakni SKS yang diraih selama menjalani pendidikan DIV tidak pernah mencapai angka SKS minimal (144 SKS). Lantas, di mana logika yang membenarkan lulusan D IV dapat disebut sebagai sarjana (entah Sarjana Sain Terapan ataukah sarjana lainnya). Yang jelas D IV keperawatan adalah sebuah dagelan.
Bontang, 17 Februari 2009
Khairin Fikri
Ketua PPNI Kota Bontang Kalimantan Timur
khairin_fikri@yahoo.com
sistem pendidikan, gelar dan syarat kompetensi di negara kita emang amburadul mas
BalasHapus