Liku-liku kehidupan para perawat di Indonesia terbilang unik.
Banyak remaja yang berbondong-bondong mendaftar ke perguruan tinggi keperawatan. Lantaran kemauan sendiri, disuruh orang tua, karena tidak lulus di perguruan tinggi favorit dsb. Apapun latar belakangnya, mereka semua berharap gampang cari kerja setelah lulus pendidikan perawat.
Walaupun biaya kuliahnya mahal, tetap juga mereka berebutan untuk sekolah di Akper atau di STIKES.
Berbeda dengan remaja yang kuliah di luar bidang keperawatan, para mahasiswa keperawatan harus rela "membuang kesenangan pribadi". Di saat orang lain tidur lelap, mahasiswa keperawatan harus rela begadang. Ketika orang lain hidup nyaman, mahasiswa perawat harus rela bersahabat dengan orang sakit dan aneka penyakit. Yang bukan tidak mustahil sejak itu dia kecipratan bibit-bibit penyakit berbahaya.
Tapi, ketika lulus pendidikan, ternyata apa yang mereka dapatkan ????
Semuanya bertolak belakang dengan harapan dan pengorbanan mereka lakukan. Cari kerja susahnya minta ampun.
Begitu dapat kerja, waduuuuh upahnya minta juga ampun. Rendah !!! Jauh di bawah UMR.
Blog ini disediakan demi kemajuan perawat. Kirimkan saran dan kritik Anda ataupun tulisan dan foto/video tentang keperawatan dan kesehatan ke : ppnibontang@gmail.com atau ppni_bontang@yahoo.co.id Terima kasih.
Rabu, 30 Maret 2011
Senin, 28 Maret 2011
Persyaratan Perpanjangan Izin Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)
1. Foto Copy Izin LPKS yang masih berlaku.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
Lembaga Pelatihan Kerja
Syarat mendapatkan Izin Baru mendirikan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) :
1. Foto Copy Akte Pendirian dan / atau Akte Perubahan Sebagai Badan Hukum dan Tanda Bukti Pengesahan dari Instansi yang berwenang.
2. Daftar Nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup Penanggung Jawab Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS).
3. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Sarana, Prasarana dan Fasilitas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) Tahun sesuai dengan program Pelatihan yang akan diselenggarakan.
4. Program Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi.
5. Profile LPKS yang meliputi antara lain Struktur Organisasi, Alamat, Telephone dan Faximile.
6. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
Persyaratan Perpanjangan Izin Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) :
1. Foto Copy Izin LPKS yang masih berlaku.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
1. Foto Copy Akte Pendirian dan / atau Akte Perubahan Sebagai Badan Hukum dan Tanda Bukti Pengesahan dari Instansi yang berwenang.
2. Daftar Nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup Penanggung Jawab Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS).
3. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Sarana, Prasarana dan Fasilitas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) Tahun sesuai dengan program Pelatihan yang akan diselenggarakan.
4. Program Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi.
5. Profile LPKS yang meliputi antara lain Struktur Organisasi, Alamat, Telephone dan Faximile.
6. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
Persyaratan Perpanjangan Izin Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) :
1. Foto Copy Izin LPKS yang masih berlaku.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
Larangan Kuliah Jarak Jauh
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk ke sekian kalinya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 595/D5.1/2007 tertanggal 27 Februari 2007. Inti dari surat edaran itu ialah pelaksanaan perkuliahan jarak jauh oleh perguruan tinggi mana pun—negeri atau swasta, dalam negeri atau luar negeri—tak dibenarkan atau dilarang, kecuali yang dilaksanakan oleh Universitas Terbuka (UT) yang memang disediakan dan dilengkapi fasilitas untuk menyelenggarakan kuliah jarak jauh.
Pelarangan serupa sudah lama dilakukan oleh Dirjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh perguruan tinggi yang melaksanakannya. Bersamaan dengan itu, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X mengeluarkan Surat Larangan Kuliah Kelas Jauh dan Perkuliahan Sabtu-Ahad.
Penjaminan Mutu
Yang dimaksud dengan pelarangan ini, sebagai contoh, Perguruan Tinggi (universitas, institut, dan sebagainya) XYZ yang berkampus induk di Jawa (entah di Jakarta, Semarang, Surabaya, dll.), di Sumatera (entah di Aceh, , Pekanbaru, Padang, dll.), di Sulawesi (entah di Gorontalo, Manado, Ujungpandang, dll.), atau di Malaysia (entah di Kualalumpur, Kedah, Johor Baru, dll.) membuka cabangnya atau mengadakan kuliah (boleh jadi di hotel, ruko, dan sebagainya) dengan membuka satu atau beberapa jurusan di Tanjungpinang, Batam, Tanjungbalai Karimun, dan sebagainya. Praktik perkuliahan seperti itulah yang dilarang atau jelas ilegal sesuai dengan surat edaran Dirjen Dikti dan memang tak pernah ada izinnya dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Jadi, pelarangan itu bukan baru terjadi sejak terbitnya surat edaran Dirjen Dikti, Depdiknas terbaru (2007) seperti yang dipaparkan di atas, kecuali yang dilaksanakan oleh UT yang memang sah. Pelarangan perkuliahan jarak jauh, perkuliahan kelas jauh, dan perkuliahan Sabtu-Ahad dapat dipahami dan seyogianya diapresiasi secara positif serta disukai atau dibenci harus ditaati karena ada peraturan hukum tentang pelarangan penyelenggaraannya. Jika dilaksanakan juga jelas praktik seperti itu melanggar ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini dikeluarkan oleh institusi yang berwewenang dalam masalah pendidikan di Indonesia yaitu Depdiknas melalui Dirjen Dikti.
Dari segi akademik, pelarangan tersebut dikaitkan dengan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tak ada jaminan mutu dari kegiatan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, yang sama sekali tak dilengkapi dengan pelbagai fasilitas wajib seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan sarana-prasarana pendidikan lainnya yang lazimnya sangat diperlukan. Apalagi perkuliahan hanya dilaksanakan satu atau dua hari seminggu dan bukan rahasia lagi satu mata kuliah hanya dilaksanakan perkuliahan tatap muka satu atau dua kali per semester. Sedangkan perkuliahan reguler di kampus induk yang dilaksanakan enam hari seminggu dan setiap mata kuliah dilakukan 18 kali tatap buka per semester, mutunya masih diragukan kalau mahasiswanya hanya mengharapkan ilmu dari materi perkuliahan, tanpa memperkaya khazanah ilmunya dengan menimbanya sebanyak-banyaknya di luar jam kuliah.
Malangnya, banyak orang yang merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan secara mudah seperti itu. Tak jarang kita membaca ucapan selamat yang dimuat dalam ukuran besar di surat-surat kabar apabila seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya, baik S1 (sarjana), S2 (magister), dan S3 (doktor), apalagi kalau yang meraihnya para pejabat. Disebutlah bahwa yang bersangkutan telah meraih kesarjanaan dari Universitas X di Jawa, misalnya, padahal masyarakat tahu bahwa yang bersangkutan justru bekerja rutin di luar Jawa. Tragis dan memalukan !!!
Efek Jera
Dengan sekali lagi ditegaskan larangan perkuliahan jarak jauh dan kelas jauh oleh Dirjen Dikti, timbul pelbagai reaksi dan keresahan. Hal itu terutama dirasakan oleh para pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan ijazahnya untuk penyetaraan jenjang karir (menjabat eselon tertentu yang mempersyaratkan pendidikan sarjana). Keresahan juga dialami oleh mereka yang sedang mengikuti perkuliahan seperti yang terbaca di surat-surat kabar di banyak daerah.
perguruan tinggi membuka kelas perkuliahan karak jauh dilarang oleh Dirjen Dikti. Siapakah yang akan bertanggung jawab apabila perkuliahan dan kesarjanaannya dilikuidasi? Masyarakat agar berhati-hati memilih perguruan tinggi dan berkuliahlah di perguruan tinggi yang berkampus induk di daerah masing-masing kalau memang tak dapat meninggalkan pekerjaan untuk tugas belajar atau izin belajar ke luar daerah.
Penyebab terjadinya perkuliahan ilegal ini adalah orang memerlukan ijazah sarjana untuk penyetaraan jenjang kepangkatan atau karir. Di samping itu, orang Indonesia memang tergolong suka pamer gelar, kalau perlu berderet-deret, termasuk gelar akademik. Kebetulan, ada perguruan tinggi yang menawarkannya dengan cara yang mudah dan cepat melalui perdagangan pendidikan tinggi. Gayung bersambut, kata berjawab antara produsen gelar dan konsumennya.
Pihak Depdiknas melalui Dirjen Dikti harus bersikap dan bertindak tegas. Perguruan tinggi yang melakukannya harus dikenakan sanksi yang jelas dan tegas. Selama ini sanksi itu tak pernah ada sehingga praktek ilegal tetap marak. Ijazah dan gelar yang diperoleh melalui praktik perkuliahan ilegal, walau harus dikatakan dengan berat hati, harus dilikuidasi. Jika ada yang nekat tetap menggunakannya, perlu dilakukan tindakan hukum.
Dalam hal ini, Depdiknas harus bekerja sama dengan institusi dan instansi yang terkait. Kalau tindakan dan sanksi yang tegas tak diberlakukan, aturan pemerintah hanyalah jadi macan kertas dan praktik perkuliahan ilegal akan terus menjamur di Indonesia. Mau dibawa ke mana bangsa ini dengan pendidikan dan gelar akademik karbitan itu ?
Pelarangan serupa sudah lama dilakukan oleh Dirjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh perguruan tinggi yang melaksanakannya. Bersamaan dengan itu, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X mengeluarkan Surat Larangan Kuliah Kelas Jauh dan Perkuliahan Sabtu-Ahad.
Penjaminan Mutu
Yang dimaksud dengan pelarangan ini, sebagai contoh, Perguruan Tinggi (universitas, institut, dan sebagainya) XYZ yang berkampus induk di Jawa (entah di Jakarta, Semarang, Surabaya, dll.), di Sumatera (entah di Aceh, , Pekanbaru, Padang, dll.), di Sulawesi (entah di Gorontalo, Manado, Ujungpandang, dll.), atau di Malaysia (entah di Kualalumpur, Kedah, Johor Baru, dll.) membuka cabangnya atau mengadakan kuliah (boleh jadi di hotel, ruko, dan sebagainya) dengan membuka satu atau beberapa jurusan di Tanjungpinang, Batam, Tanjungbalai Karimun, dan sebagainya. Praktik perkuliahan seperti itulah yang dilarang atau jelas ilegal sesuai dengan surat edaran Dirjen Dikti dan memang tak pernah ada izinnya dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Jadi, pelarangan itu bukan baru terjadi sejak terbitnya surat edaran Dirjen Dikti, Depdiknas terbaru (2007) seperti yang dipaparkan di atas, kecuali yang dilaksanakan oleh UT yang memang sah. Pelarangan perkuliahan jarak jauh, perkuliahan kelas jauh, dan perkuliahan Sabtu-Ahad dapat dipahami dan seyogianya diapresiasi secara positif serta disukai atau dibenci harus ditaati karena ada peraturan hukum tentang pelarangan penyelenggaraannya. Jika dilaksanakan juga jelas praktik seperti itu melanggar ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini dikeluarkan oleh institusi yang berwewenang dalam masalah pendidikan di Indonesia yaitu Depdiknas melalui Dirjen Dikti.
Dari segi akademik, pelarangan tersebut dikaitkan dengan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tak ada jaminan mutu dari kegiatan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, yang sama sekali tak dilengkapi dengan pelbagai fasilitas wajib seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan sarana-prasarana pendidikan lainnya yang lazimnya sangat diperlukan. Apalagi perkuliahan hanya dilaksanakan satu atau dua hari seminggu dan bukan rahasia lagi satu mata kuliah hanya dilaksanakan perkuliahan tatap muka satu atau dua kali per semester. Sedangkan perkuliahan reguler di kampus induk yang dilaksanakan enam hari seminggu dan setiap mata kuliah dilakukan 18 kali tatap buka per semester, mutunya masih diragukan kalau mahasiswanya hanya mengharapkan ilmu dari materi perkuliahan, tanpa memperkaya khazanah ilmunya dengan menimbanya sebanyak-banyaknya di luar jam kuliah.
Malangnya, banyak orang yang merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan secara mudah seperti itu. Tak jarang kita membaca ucapan selamat yang dimuat dalam ukuran besar di surat-surat kabar apabila seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya, baik S1 (sarjana), S2 (magister), dan S3 (doktor), apalagi kalau yang meraihnya para pejabat. Disebutlah bahwa yang bersangkutan telah meraih kesarjanaan dari Universitas X di Jawa, misalnya, padahal masyarakat tahu bahwa yang bersangkutan justru bekerja rutin di luar Jawa. Tragis dan memalukan !!!
Efek Jera
Dengan sekali lagi ditegaskan larangan perkuliahan jarak jauh dan kelas jauh oleh Dirjen Dikti, timbul pelbagai reaksi dan keresahan. Hal itu terutama dirasakan oleh para pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan ijazahnya untuk penyetaraan jenjang karir (menjabat eselon tertentu yang mempersyaratkan pendidikan sarjana). Keresahan juga dialami oleh mereka yang sedang mengikuti perkuliahan seperti yang terbaca di surat-surat kabar di banyak daerah.
perguruan tinggi membuka kelas perkuliahan karak jauh dilarang oleh Dirjen Dikti. Siapakah yang akan bertanggung jawab apabila perkuliahan dan kesarjanaannya dilikuidasi? Masyarakat agar berhati-hati memilih perguruan tinggi dan berkuliahlah di perguruan tinggi yang berkampus induk di daerah masing-masing kalau memang tak dapat meninggalkan pekerjaan untuk tugas belajar atau izin belajar ke luar daerah.
Penyebab terjadinya perkuliahan ilegal ini adalah orang memerlukan ijazah sarjana untuk penyetaraan jenjang kepangkatan atau karir. Di samping itu, orang Indonesia memang tergolong suka pamer gelar, kalau perlu berderet-deret, termasuk gelar akademik. Kebetulan, ada perguruan tinggi yang menawarkannya dengan cara yang mudah dan cepat melalui perdagangan pendidikan tinggi. Gayung bersambut, kata berjawab antara produsen gelar dan konsumennya.
Pihak Depdiknas melalui Dirjen Dikti harus bersikap dan bertindak tegas. Perguruan tinggi yang melakukannya harus dikenakan sanksi yang jelas dan tegas. Selama ini sanksi itu tak pernah ada sehingga praktek ilegal tetap marak. Ijazah dan gelar yang diperoleh melalui praktik perkuliahan ilegal, walau harus dikatakan dengan berat hati, harus dilikuidasi. Jika ada yang nekat tetap menggunakannya, perlu dilakukan tindakan hukum.
Dalam hal ini, Depdiknas harus bekerja sama dengan institusi dan instansi yang terkait. Kalau tindakan dan sanksi yang tegas tak diberlakukan, aturan pemerintah hanyalah jadi macan kertas dan praktik perkuliahan ilegal akan terus menjamur di Indonesia. Mau dibawa ke mana bangsa ini dengan pendidikan dan gelar akademik karbitan itu ?
Selasa, 22 Maret 2011
PERAWAT INDONESIA, BAGAI BUIH DI LAUTAN
Saudaraku Perawat Indonesia, Jumlahnya perawat di Indonesia sungguh banyak. Lima tahun silam, PPNI pernah dalam situs resminya menyebutkan jumlah perawat di Indonesia sudah lebih dari 500 ribu orang. Sekarang jumlahnya mungkin sudah lebih dari 1 juta orang. 60 % dari total tenaga kesehatan adalah perawat. Alangkah hebatnya kekuatan perawat di Indonesia. Melihat dari sisi angka, terkesan perawat Indonesia merupakan profesi yang berpengaruh kuat. Profesi yang disegani. Baik di lingkup profesi kesehatan maupun di luar profesi kesehatan.
Namun ternyata tidak demikian. Secara kuantitas, memang perawat merupakan tenaga kesehatan yang mayoritas. Unggul kuantitasnya. Tapi sebenarnya profesi perawat sangat lemah. Hal ini bisa kita lihat dari produk-produk regulasi di bidang kesehatan. Hingga saat ini, banyak regulasi di bidang kesehatan yang "tidak memandang" profesi perawat. Ambil contoh, desa siaga. Peran dan fungsi tenaga keperawatan di desa siaga sama sekali tidak disinggung-singgung. Di sana hanya disebutkan peran bidan. Contoh lain adalah program Pegawai Tidak Tetap (PTT). PTT yang dilaunching departemen kesehatan hanya untuk tenaga dokter dan tenaga bidan. Artinya, perawat tidak dianggap perlu untuk menjadi bagian dari program menyehatkan masyarakat.
Dari segi jumlah, bidan mungkin cuma 1/5 dari jumlah perawat. Walaupun jumlahnya sedikit, bidan mampu menjalin lobi-lobi yang kuat dengan departemen kesehatan. Bidan mampu memberi pengaruh kuat di departemen kesehatan sehingga profesi ini bisa "masuk" di program kesehatan.
Lemahnya posisi Perawat Indonesia di Departemen Kesehatan tersebut bukan untuk diratapi. Kebijakan Departemen Kesehatan yang tidak memandang perawat juga bukan untuk dikutuk. Perawat Indonesia harus segera berbenah diri. Perawat Indonesia agar segera bangkit menjadi profesi yang kuat. Sebanding dengan jumlahnya.
Namun ternyata tidak demikian. Secara kuantitas, memang perawat merupakan tenaga kesehatan yang mayoritas. Unggul kuantitasnya. Tapi sebenarnya profesi perawat sangat lemah. Hal ini bisa kita lihat dari produk-produk regulasi di bidang kesehatan. Hingga saat ini, banyak regulasi di bidang kesehatan yang "tidak memandang" profesi perawat. Ambil contoh, desa siaga. Peran dan fungsi tenaga keperawatan di desa siaga sama sekali tidak disinggung-singgung. Di sana hanya disebutkan peran bidan. Contoh lain adalah program Pegawai Tidak Tetap (PTT). PTT yang dilaunching departemen kesehatan hanya untuk tenaga dokter dan tenaga bidan. Artinya, perawat tidak dianggap perlu untuk menjadi bagian dari program menyehatkan masyarakat.
Dari segi jumlah, bidan mungkin cuma 1/5 dari jumlah perawat. Walaupun jumlahnya sedikit, bidan mampu menjalin lobi-lobi yang kuat dengan departemen kesehatan. Bidan mampu memberi pengaruh kuat di departemen kesehatan sehingga profesi ini bisa "masuk" di program kesehatan.
Lemahnya posisi Perawat Indonesia di Departemen Kesehatan tersebut bukan untuk diratapi. Kebijakan Departemen Kesehatan yang tidak memandang perawat juga bukan untuk dikutuk. Perawat Indonesia harus segera berbenah diri. Perawat Indonesia agar segera bangkit menjadi profesi yang kuat. Sebanding dengan jumlahnya.
Rabu, 16 Maret 2011
PENATAAN PROFESI DAN PENDIDIKAN PERAWAT
Menjelang awal tahun 2000-an, di tanah air telah berdiri ribuan D III Keperawatan, STIKES dan program studi serta Fakultas / jurusan ilmu keperawatan. Banyak pihak yang terjun ke dunia pendidikan keperawatan, seolah-olah berlomba mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi bekal memasuki dunia kerja. Pertambahan sekian ribu institusi pendidikan keperawatan ini membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah profesi perawat tumbuh pesat. Kuantitas perawat meningkat dengan pesat. Namun dampak negatifnya tidak kalah mengerikan. Profesi perawat justru terpuruk. Lapangan kerja di dalam negeri menjadi sangat sempit, kualitas perawat menurun drastis.
Banyak perguruan tinggi keperawatan yang tidak bertanggung jawab terhadap kualitas lulusannya. Asal mahasiswanya bayar lancar, dijamin lulus kuliah. Padahal profesi keperawatan ke depan disiapkan harus mampu berkompetesi global, sehingga harus memenuhi standar keperawatan global.
Oleh karena itu, untuk menata profesi keperawatan agar semakin berkualitas, amat dibutuhkan peran organisasi profesi (PPNI), asosiasi institusi pendidikan keperawatan (AIPNI) dan pemerintah RI. Campur tangan pemerintah yang diharapkan dalam hal penataan tenaga keperawatan, adalah berupa terbitnya UU Keperawatan.
Konsil Keperawatan Indonesia (Nursing Board) harus dibentuk. Namun pembentukannya harus dilandasi oleh perintah Undang- Undang. Hingga saat ini pemerintah RI baru bisa menerbitkan aturan setingkat menteri yang bernama Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes nomor 161 tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan yang merupakan perbaikan atas kepmenkes nomor 1239 tahun 2001. Di kepmenkes 1239 perawat harus memiliki SIP dan SIK. Bagi yang ingin melakukan praktik mandiri harus memegang SIPP. SIP dan SIK dikeluarkan Dinas Kesehatan setelah ada rekomendasi organisasi profesi. Pada Permenkes nomor 161, istilah SIP dan SIK ditiadakan dan dilebur menjadi Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk mendapatkan STR, perawat harus melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Dalam operasionalnya, uji kompetensi dijalankan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) yang berkedudukan di ibukota tiap-tiap provinsi.
Tanggal 16 Februari 2011, Menkes RI dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, melantik MTKI. MTKI terdiri dari wakil Kementerian Kesehatan, wakil dari unsur pendidikan dan 21 wakil dari berbagai profesi kesehatan yang akan menduduki Divisi Profesi, Divisi Standarisasi dan Divisi Evaluasi. Perwakilan perawat (PPNI) yang duduk dalam keanggotaan MTKI adalah Dra. Junaiti Sahar, M. Appp,Sc, PhD, Harif Fadhillah, S.Kp, SH, Rita Sekarsari, S.Kp, MHSM. Jauh sebelum MTKI dilantik Menkes, di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah memiliki MTKP dan menjalankan uji kompetensi bagi perawat. Cukup unik juga. Induknya yang bernama MTKI belum lahir. Di daerah malah sudah terbentuk sang anak yang bernama MTKP. Daerah-daerah membentuk MTKP dengan menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub). Perintah pembentukan MTKI dan MTKP sebetulnya sudah ada sejak keluarkan Kepmenkes Nomor 1239 Tahun 2001. Perlu 10 tahun bagi pemerintah untuk bisa merealisasikan keputusan yang sejatinya dibuat oleh mereka sendiri.
Fungsi dan tugas MTKI sesuai dengan Permenkes nomor 161/Menkes/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan adalah :
1. Membantu menteri dalam menyusun kebijakan, strategi, dan tata laksana registrasi
2. melakukan upaya pengembangan mutu tenaga kesehatan
3. Melakukan kaji banding mutu tenaga kesehatan
4. Menyusun tata cara uji kompetensi, penguji, dan memonitor MTKP
5. Memberikan nomor Registrasi Tenaga Kesehatan
6. Menerbitkan dan mencabut STR (surat tanda registrasi)
7. Melakukan sosialisasi Registrasi Tenaga Kesehatan, dan
8. Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan registrasi
Selanjutkan MTKI akan membentuk MTKP di 33 propinsi sebagai unit fungsional dari Badan PPSDM Kesehatan dibawah koordinasi MTKI dan bertanggung jawab kepada kepala badan melalui MTKI. MTKP di provinsi sebagai lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKP bertugas melakukan rekrutmen calon peserta uji kompetensi; meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan calon peserta uji kompetensi; melaksanakan uji kompetensi; menerbitkan sertifikat uji kompetensi; memberikan rekomendasi kepada institusi pendidikan yang terakreditasi untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peserta yang tidak lulus uji kompetensi; melaksanakan kebijakan uji kompetensi; melaksanakan pemantauan uji kompetensi; dan mempublikasikan hasil uji kompetensi.
Dengan terbentuknya kedua lembaga tersebut akan semakin besar harapan terwujudnya tenaga kesehatan yang berkualitas, memenuhi standar mutu secara nasional serta berdaya saing tinggi.
Banyak perguruan tinggi keperawatan yang tidak bertanggung jawab terhadap kualitas lulusannya. Asal mahasiswanya bayar lancar, dijamin lulus kuliah. Padahal profesi keperawatan ke depan disiapkan harus mampu berkompetesi global, sehingga harus memenuhi standar keperawatan global.
Oleh karena itu, untuk menata profesi keperawatan agar semakin berkualitas, amat dibutuhkan peran organisasi profesi (PPNI), asosiasi institusi pendidikan keperawatan (AIPNI) dan pemerintah RI. Campur tangan pemerintah yang diharapkan dalam hal penataan tenaga keperawatan, adalah berupa terbitnya UU Keperawatan.
Konsil Keperawatan Indonesia (Nursing Board) harus dibentuk. Namun pembentukannya harus dilandasi oleh perintah Undang- Undang. Hingga saat ini pemerintah RI baru bisa menerbitkan aturan setingkat menteri yang bernama Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes nomor 161 tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan yang merupakan perbaikan atas kepmenkes nomor 1239 tahun 2001. Di kepmenkes 1239 perawat harus memiliki SIP dan SIK. Bagi yang ingin melakukan praktik mandiri harus memegang SIPP. SIP dan SIK dikeluarkan Dinas Kesehatan setelah ada rekomendasi organisasi profesi. Pada Permenkes nomor 161, istilah SIP dan SIK ditiadakan dan dilebur menjadi Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk mendapatkan STR, perawat harus melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Dalam operasionalnya, uji kompetensi dijalankan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) yang berkedudukan di ibukota tiap-tiap provinsi.
Tanggal 16 Februari 2011, Menkes RI dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, melantik MTKI. MTKI terdiri dari wakil Kementerian Kesehatan, wakil dari unsur pendidikan dan 21 wakil dari berbagai profesi kesehatan yang akan menduduki Divisi Profesi, Divisi Standarisasi dan Divisi Evaluasi. Perwakilan perawat (PPNI) yang duduk dalam keanggotaan MTKI adalah Dra. Junaiti Sahar, M. Appp,Sc, PhD, Harif Fadhillah, S.Kp, SH, Rita Sekarsari, S.Kp, MHSM. Jauh sebelum MTKI dilantik Menkes, di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah memiliki MTKP dan menjalankan uji kompetensi bagi perawat. Cukup unik juga. Induknya yang bernama MTKI belum lahir. Di daerah malah sudah terbentuk sang anak yang bernama MTKP. Daerah-daerah membentuk MTKP dengan menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub). Perintah pembentukan MTKI dan MTKP sebetulnya sudah ada sejak keluarkan Kepmenkes Nomor 1239 Tahun 2001. Perlu 10 tahun bagi pemerintah untuk bisa merealisasikan keputusan yang sejatinya dibuat oleh mereka sendiri.
Fungsi dan tugas MTKI sesuai dengan Permenkes nomor 161/Menkes/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan adalah :
1. Membantu menteri dalam menyusun kebijakan, strategi, dan tata laksana registrasi
2. melakukan upaya pengembangan mutu tenaga kesehatan
3. Melakukan kaji banding mutu tenaga kesehatan
4. Menyusun tata cara uji kompetensi, penguji, dan memonitor MTKP
5. Memberikan nomor Registrasi Tenaga Kesehatan
6. Menerbitkan dan mencabut STR (surat tanda registrasi)
7. Melakukan sosialisasi Registrasi Tenaga Kesehatan, dan
8. Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan registrasi
Selanjutkan MTKI akan membentuk MTKP di 33 propinsi sebagai unit fungsional dari Badan PPSDM Kesehatan dibawah koordinasi MTKI dan bertanggung jawab kepada kepala badan melalui MTKI. MTKP di provinsi sebagai lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKP bertugas melakukan rekrutmen calon peserta uji kompetensi; meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan calon peserta uji kompetensi; melaksanakan uji kompetensi; menerbitkan sertifikat uji kompetensi; memberikan rekomendasi kepada institusi pendidikan yang terakreditasi untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peserta yang tidak lulus uji kompetensi; melaksanakan kebijakan uji kompetensi; melaksanakan pemantauan uji kompetensi; dan mempublikasikan hasil uji kompetensi.
Dengan terbentuknya kedua lembaga tersebut akan semakin besar harapan terwujudnya tenaga kesehatan yang berkualitas, memenuhi standar mutu secara nasional serta berdaya saing tinggi.
Selasa, 15 Maret 2011
PERAWAT MENGABDI DI BELANTARA KOMERSIALISASI
Perawat selalu dikait-kaitkan dengan rumah sakit walaupun sebenarnya perawat dapat saja bekerja di luar rumah sakit seperti di klinik dan lembaga konsultasi kesehatan.
Rumah sakit saat ini banyak yang bergeser orientasinya. Dari orientasi sosial ke orientasi bisnis (komersial). Padahal dahulu, rumah sakit didirikan karena niat untuk menolong sesama manusia yang menderita. Kini rumah sakit didirikan karena melihat prospek keuntungan bisnis. Rumah Sakit adalah tambang emas.
Rumah sakit yang berorientasi bisnis ”lebih disenangi” pelanggan dari pada rumah sakit sosial. Dengan ditopang modal yang kuat, rumah sakit berorientasi bisnis melakukan investasi peralatan medis canggih dan merekrut SDM yang hebat. Efeknya, pelanggan berduit lebih tertarik datang ke rumah sakit seperti ini. Ujung-ujungnya, profit diraih. Sebaliknya, rumah sakit yang berorientasi sosial kalah kuat dan kalah gesit. Peralatan medisnya tidak terlalu canggih. SDM-nya biasa-biasa saja. Akibatnya, rumah sakit yang berorientasi sosial ”ditinggalkan” oleh pelanggan yang berduit.
Di Indonesia walaupun seorang perawat bekerja di rumah sakit megah nan hebat dengan fasilitas medis canggih, bertarif mahal selangit, kesejahteraan perawat tidak beda jauh dengan rekan mereka yang bekerja rumah sakit yang biasa-biasa saja. Banyak rumah sakit yang luar biasa megah, mewah fasilitasnya maju bisnisnya namun rumah sakit ini memberikan imbalan gaji yang minim kepada perawat.
Hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang bisa memberikan gaji secara layak kepada perawat. Hal ini sungguh menyedihkan. Banyak perawat yang digaji cuma Rp300.000 sampai Rp500.000 per bulan. Yang lebih menyedihkan, beberapa rumah sakit mengancam akan memecat perawat yang menuntut kenaikan gaji tersebut.
Dengan upah Rp.500.000, bagaimana mungkin perawat bisa hidup layak ? Kalau kehidupannya saja tidak layak, bagaimana mungkin dia bisa memberikan pelayanan yang baik kepada para pasien ? Dengan gaji Rp.500.000 per bulan, kapan BEP investasi biaya pendidikan tercapai ?
Rumah sakit saat ini banyak yang bergeser orientasinya. Dari orientasi sosial ke orientasi bisnis (komersial). Padahal dahulu, rumah sakit didirikan karena niat untuk menolong sesama manusia yang menderita. Kini rumah sakit didirikan karena melihat prospek keuntungan bisnis. Rumah Sakit adalah tambang emas.
Rumah sakit yang berorientasi bisnis ”lebih disenangi” pelanggan dari pada rumah sakit sosial. Dengan ditopang modal yang kuat, rumah sakit berorientasi bisnis melakukan investasi peralatan medis canggih dan merekrut SDM yang hebat. Efeknya, pelanggan berduit lebih tertarik datang ke rumah sakit seperti ini. Ujung-ujungnya, profit diraih. Sebaliknya, rumah sakit yang berorientasi sosial kalah kuat dan kalah gesit. Peralatan medisnya tidak terlalu canggih. SDM-nya biasa-biasa saja. Akibatnya, rumah sakit yang berorientasi sosial ”ditinggalkan” oleh pelanggan yang berduit.
Di Indonesia walaupun seorang perawat bekerja di rumah sakit megah nan hebat dengan fasilitas medis canggih, bertarif mahal selangit, kesejahteraan perawat tidak beda jauh dengan rekan mereka yang bekerja rumah sakit yang biasa-biasa saja. Banyak rumah sakit yang luar biasa megah, mewah fasilitasnya maju bisnisnya namun rumah sakit ini memberikan imbalan gaji yang minim kepada perawat.
Hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang bisa memberikan gaji secara layak kepada perawat. Hal ini sungguh menyedihkan. Banyak perawat yang digaji cuma Rp300.000 sampai Rp500.000 per bulan. Yang lebih menyedihkan, beberapa rumah sakit mengancam akan memecat perawat yang menuntut kenaikan gaji tersebut.
Dengan upah Rp.500.000, bagaimana mungkin perawat bisa hidup layak ? Kalau kehidupannya saja tidak layak, bagaimana mungkin dia bisa memberikan pelayanan yang baik kepada para pasien ? Dengan gaji Rp.500.000 per bulan, kapan BEP investasi biaya pendidikan tercapai ?
Senin, 14 Maret 2011
Uji kompetensi
Latar Belakang Uji Kompetensi
Uji kompetensi diselenggarakan dengan maksud :
Sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka setiap tenaga kesehatan (kecuali tenaga medis dan farmasi), diwajibkan untuk melakukan uji kompetensi pasal 32 Permenkes No. 161 tahun 2010). Upaya ini dilakuan untuk menilai lebih lanjut apakah seorang tenaga kesehatan kompeten di bidangnya dan layak memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi adalah adanya Peraturan Menteri Kesehatan RI No.161 Tahun 2010 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini merupakan landasan hukum dibentuknya Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) di tingkat pusat dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) di tingkat propinsi.
Lembaga pelaksana uji dan penjamin mutu
MTKI adalah lembaga yang berfungsi menjamin mutu tenaga kesehatan. Sedangkan MTKP adalah lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKI diharapkan selambat-lambatnya terbentuk 6 bulan setelah Permenkes ditetapkan (Permenkes No 161 ditetapkan Januari 2010), sedangkan MTKP selambat-lambatnya 1 tahun setelah Permenkes ditetapkan. Sampai dengan saat ini MTKI sudah terbentuk dan kepengurusannya sudah dilantik. Di beberapa provinsi sudah terbentuk MTKP. seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pembentukan MTKP terkendala oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena tidak ada anggaran daerah untuk mendanai kegiatan MTKP.
Uji Kompetensi
Hingga saat ini sudah ada beberapa provinsi yang melakukan uji kompetensi, di antaranya Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Provinsi ini mengawali adanya uji kompetensi oleh MTKP dengan berdasarkan Peraturan Gubernur. Metode yang digunakan dalam uji kompetensi di Jawa Tengah menggunakan metode OSCA.
Alur Sertifikasi dan Registrasi
Peserta yang lulus uji kompetensi akan mendapatkan sertifikasi kompetensi, ditandatangani MTKP. Setelah mendapatkan sertifikat kompetensi, tenaga kesehatan dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). STR iniditandatangani Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Isinya, menyatakan tenaga kesehatan bersangkutan telah teregistrasi sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan STR mempunyai kewenangan melaksanakan tugas sebagai Tenaga kesehatan di wilayah RI.
Syarat Uji Kompetensi :
1. Foto Kopi Ijazah terakhir
2. Surat keterangan Dokter, dari dokter yang memiliki ijin Praktek
3. Surat Pelaksanaan akan mematuhi dan melaksanakan peraturan etik profesi dan
foto kopi bukti angkat sumpah
4. Pasfoto 4 x 6, 2 lembar
Syarat mengajukan STR
1. Foto copy ijazah pendidikan di bidang kesehatan yang dilegalisir
2. Foto kopi transkrip akademik yang dilegalisir
3. Memiliki sertifikasi kompetensi
4. Surat keterangan telah mengikuti program adaptasi/evaluasi
5. Surat keterangan sehat dari dokter dengan ijin praktek
6. Pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi dan
rekomendasi organisasi profesi
7. Pasfoto 4 x 6, sebanyak 2 lembar
Sertikat kompetensi dan STR berlaku 5 tahun. Bagi tenaga kesehatan yang sudah mengikuti uji kompetensi (SIP dan SIK) sebelum ada peraturan ini, Sertifikat dan SIP/SIK-nya tetap berlaku, dan langsung bisa mengajukan STR (Pasal 30, ayat 3 dan 4). Bagi tenaga kesehatan yang sudah terregistrasi dan dinyatakan dengan bukti tertulis untuk menjalankan kewenangan di seluruh wilayah Indonesia dinyatakan telah memiliki STR sampai masa berlakunya habis (PASAL 1 DAN 2).
Dengan adanya Permenkes No 161 tahun 2010, ini maka peraturan yang mengatur mengenai registrasi tenaga kesehatan menjadi tidak berlaku lagi sejak MTKI dan MTKP setempat telah dibentuk (Pasal 31 ayat 2.
Uji kompetensi diselenggarakan dengan maksud :
Sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka setiap tenaga kesehatan (kecuali tenaga medis dan farmasi), diwajibkan untuk melakukan uji kompetensi pasal 32 Permenkes No. 161 tahun 2010). Upaya ini dilakuan untuk menilai lebih lanjut apakah seorang tenaga kesehatan kompeten di bidangnya dan layak memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi adalah adanya Peraturan Menteri Kesehatan RI No.161 Tahun 2010 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini merupakan landasan hukum dibentuknya Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) di tingkat pusat dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) di tingkat propinsi.
Lembaga pelaksana uji dan penjamin mutu
MTKI adalah lembaga yang berfungsi menjamin mutu tenaga kesehatan. Sedangkan MTKP adalah lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKI diharapkan selambat-lambatnya terbentuk 6 bulan setelah Permenkes ditetapkan (Permenkes No 161 ditetapkan Januari 2010), sedangkan MTKP selambat-lambatnya 1 tahun setelah Permenkes ditetapkan. Sampai dengan saat ini MTKI sudah terbentuk dan kepengurusannya sudah dilantik. Di beberapa provinsi sudah terbentuk MTKP. seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pembentukan MTKP terkendala oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena tidak ada anggaran daerah untuk mendanai kegiatan MTKP.
Uji Kompetensi
Hingga saat ini sudah ada beberapa provinsi yang melakukan uji kompetensi, di antaranya Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Provinsi ini mengawali adanya uji kompetensi oleh MTKP dengan berdasarkan Peraturan Gubernur. Metode yang digunakan dalam uji kompetensi di Jawa Tengah menggunakan metode OSCA.
Alur Sertifikasi dan Registrasi
Peserta yang lulus uji kompetensi akan mendapatkan sertifikasi kompetensi, ditandatangani MTKP. Setelah mendapatkan sertifikat kompetensi, tenaga kesehatan dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). STR iniditandatangani Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Isinya, menyatakan tenaga kesehatan bersangkutan telah teregistrasi sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan STR mempunyai kewenangan melaksanakan tugas sebagai Tenaga kesehatan di wilayah RI.
Syarat Uji Kompetensi :
1. Foto Kopi Ijazah terakhir
2. Surat keterangan Dokter, dari dokter yang memiliki ijin Praktek
3. Surat Pelaksanaan akan mematuhi dan melaksanakan peraturan etik profesi dan
foto kopi bukti angkat sumpah
4. Pasfoto 4 x 6, 2 lembar
Syarat mengajukan STR
1. Foto copy ijazah pendidikan di bidang kesehatan yang dilegalisir
2. Foto kopi transkrip akademik yang dilegalisir
3. Memiliki sertifikasi kompetensi
4. Surat keterangan telah mengikuti program adaptasi/evaluasi
5. Surat keterangan sehat dari dokter dengan ijin praktek
6. Pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi dan
rekomendasi organisasi profesi
7. Pasfoto 4 x 6, sebanyak 2 lembar
Sertikat kompetensi dan STR berlaku 5 tahun. Bagi tenaga kesehatan yang sudah mengikuti uji kompetensi (SIP dan SIK) sebelum ada peraturan ini, Sertifikat dan SIP/SIK-nya tetap berlaku, dan langsung bisa mengajukan STR (Pasal 30, ayat 3 dan 4). Bagi tenaga kesehatan yang sudah terregistrasi dan dinyatakan dengan bukti tertulis untuk menjalankan kewenangan di seluruh wilayah Indonesia dinyatakan telah memiliki STR sampai masa berlakunya habis (PASAL 1 DAN 2).
Dengan adanya Permenkes No 161 tahun 2010, ini maka peraturan yang mengatur mengenai registrasi tenaga kesehatan menjadi tidak berlaku lagi sejak MTKI dan MTKP setempat telah dibentuk (Pasal 31 ayat 2.
Langganan:
Postingan (Atom)