Jumat, 25 September 2009

Mencegah dan Mengelola Mendelson’s syndrome

Mendelson’s syndrome atau aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung dan sisa makanan, merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat dihindari. Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anestesia yang dapat terjadi pada saat intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun angka kematiannya relatif rendah, namun ketidak tepatan penanganan akan menambah morbiditas.
Volum dan derajat keasaman asam lambung menentukan keparahan akibat aspirasi. Aspirasi dapat dicegah dengan puasa pra pembedahan, pemberian obat-obatan untuk mengurangi volum dan keasaman lambung dan melakukan teknik anestesi yang tepat.
Tindakan segera yang dilakukan setelah diduga terjadi aspirasi adalah tindakan suportif dengan memposisikan kepala pasien lebih rendah dari tubuhnya (head down), pembersihan jalan napas, diberikan oksigen 100% dengan PPV. Dengan melakukan obervasi keadaan klinis dalam 2 jam setelah aspirasi, ditentukan apakah pasien perlu dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif. Terapi oksigen dan pemberian bronkodilator disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien tersebut. Pemberian antibiotika dilakukan apabila pasien sudah dinyatakan pneumonia. Pemberian kortikosteroid hanya bermanfaat apabila aspirat asam lambung pHnya berkisar antara 1,5-2,5.


Salah satu penyulit selama tindakan pembedahan dengan pembiusan umum adalah terjadinya aspirasi. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan aspirasi adalah masuknya benda asing melalui trakea ke paru. Benda asing tersebut dapat berasal dari lambung, esofagus, mulut dan hidung, serta dapat berupa makanan, darah, air ludah atau cairan lambung. Masuknya cairan lambung ke saluran napas dapat terjadi akibat muntah atau regurgitasi.
Mendelson’s syndrome merupakan kejadian yang sangat dikhawatirkan oleh anestetis karena dapat mengancam jiwa pasien. Warner et al. membuktikan, 3 bahwa dari 215.488 tindakan pembiusan umum berisiko terjadi Mendelson's Syndrome, angka kejadian aspirasinya adalah 1:3886 untuk pembedahan elektif, dan 1:895 untuk pembedahan darurat. Enam puluh empat persen pasien yang mengalami aspirasi dalam waktu 2 jam tidak tampak gejala pada proses pernapasan, akan tetapi terjadi kematian pada tiga pasien dari enam pasien yang dilakukan pemasangan alat bantu napas (respirator) dalam 24 jam.

Pasien yang mengalami aspirasi harus didiagnosis dengan tepat dan cepat agar dapat dilakukan penanganan yang adekwat sesegera mungkin. Gejala terjadinya aspirasi harus dapat cepat diidentifikasi. Mendelson mengklasifikasikan 2 kelompok gejala akibat aspirasi dari isi lambung. Kelompok pertama adalah gejala akibat dari bahan padat isi lambung yang mempunyai tanda dan gejala sianosis, wheezing, coughing, takhipneu, hipotensi dan mediastinal shift dan konsolidasi jaringan paru. Kelompok kedua adalah gejala dikenal dengan sindroma Mendelson yang klasik, adalah akibat dari aspirasi asam dengan gejala spasme bronchus, takhipneu, wheezing, sianosis dan panas.
Berikutnya sejak diketahui bahwa aspirasi lebih mudah terjadi pasien obstetri, Mendelson menyatakan bahwa penyebab aspirasi antara lain adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada ibu kehamilan, pengosongan lambung yang memanjang dan penurunan kekuatan otot sphincter-esophagus.
Aspirasi isi lambung dapat dan harus dihindari oleh tim pembedahan, oleh karena itu sebagai anggota tim seorang anestesiologis memerlukan penguasaan pengetahuan tentang apirasi ini dan ketrampilan teknik mengatasinya. Dalam naskah ini akan diuraikan secara singkat tentang patofisiologi, predisposisi, pencegahan dan penatalaksanaan/manajemen aspirasi.

Patofisiologi
Aspirasi isi lambung, penyebab, akibat dan gejalanya dapat dibedakan oleh 3 bahan aspirat jaitu berupa asam, partikel (sisa makanan) dan bakteri. Secara umum aspirasi dapat dicegah dengan menjaga isi lambung agar tidak masuk ke esophagus dan faring, aspirat yang di faring dijaga tidak masuk trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung menentukan keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru diupayakan menjadi lebih sedikit.
Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam waktu 5 detik, asam akan bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial yang bersilia dan yang tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu 3 hari, dan dalam waktu 7 hari terjadi regenerasi yang sempurna pada sel yang mengalami kerusakan. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap asam hidroklorid dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi. Peningkatan yang cepat lisophophosphatidyle choline dalam 4 jam setelah aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan cairan paru (lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan compliance paru, meningkatkan ventilation-perfusion mismatching dan meningkatkan alveolar-arterial oxygen tension difference. Pada fase kedua, ditandai dengan acid-mediated induction dan pelepasan pro-inflamatory cytokine seperti TNFα dan interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekpresi sel adhesion molecule L-selectin dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM) pada endothel paru yang selanjutnya merangsang reaksi keradangan (neutrophilic inflammatory response).

Aspirasi lokal memicu reaksi keradangan yang menyeluruh yang memungkinan terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara bersama dengan adanya akibat partikel, menyebabkan terjadi fokus keradangan dan reaksi tubuh terhadap benda asing dengan kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar
Aspirasi partikel besar dari isi lambung, akan menimbulkan gejala obstruksi jalan napas, dan dalam waktu pendek dapat terjadi kematian pasien, oleh karena itu partikel tersebut harus segera dikeluarkan, dan dilakukan oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari hipoksia, dan segera dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya.
Isi lambung tidak steril sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. Enam puluh sampai 100% terdiri dari kuman anaerob. Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi pneumoni yang terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella dan Escheresia colli merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai penyebab pneumonia nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif yang patogen. Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator, 34% berasal dari aspirasi isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga merupakan penyebab kematian pneumonia pasca bedah.

Predisposisi terjadinya aspirasi.
Meningkatnya kejadian aspirasi, disebabkan oleh adanya faktor pasien, faktor pembedahan, faktor anestesi.

Faktor pasien
Adanya peningkatan isi lambung, seperti yang terjadi pada: 1) pasien dengan hipersekresi lambung pada kehamilan dan obesitas, 2) pembedahan emergensi yang waktu puasanya belum cukup, dan 3) pengosongan lambung yang memanjang terjadi pada kehamilan, obesitas, trauma, pemberian opioid, kelainan gastro intestinal (obstruksi usus, hambatan pada proses pengeluaran dari lambung dan pada perdarahan saluran pencernakan atas), neuropati anatomi karena diabet dan kegagalan ginjal meningkatkan kemungkinan aspirasi.
Selain itu kondisi seperti: 1) meningkatnya kecenderungan terjadinya regugurgitasi terjadi pada pasien dengan tonus sphincter esophagus yang menurun, misalnya pada kehamilan, obesitas dan hiatus hernia, adanya reflek gastro esophageal yang terjadi pada hiatus hernia dan kelainan GIT, kelainan esophagus misalnya penyempitan dan carcinoma esophagus dan pada usia lanjut; serta 2) inkompenten dari laring misalnya pasien yang tidak sadar, kelainan anatomi laring dan neuro muscular disorder akibat bulbar atau pseudobulbar palsy juga dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi.

Faktor pembedahan
Tehnik pembedahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya aspirasi diantaranya adalah: 1) manipulasi usus pada pembedahan abdomen atas dapat terjadi reflux dari lambung, 2) kenaikan tekanan intra-abdominal akibat pneumoperitoneum pada pembedahan laparoscopi, dan 3) posisi lithotomy dan trendelenburg mendesak gaster ke arah proksimal menyebabkan terjadi regurgitasi.

Faktor anestesi
Hal yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya aspirasi sewaktu melakukan anestesi yang perlu diantisipasi adalah: (1) pemberian obat anestesi lokal disekitar trakhea pada saat intubasi, (2) belum kembalinya kemampuan batuk akibat pemberian obat pelumpuh otot (neuroblocking agent), (3) teknik anestesi yang tidak sesuai misalnya a) laringoskopi yang dilakukan pada tahap anestesi yang dangkal dan sudah diberikan obat pelumpuh otot menyebabkan timbulnya batuk, regurgitasi dan muntah, b) dilakukan ekstubasi sebelum kembalinya reflek untuk melindungi jalan napas dari muntah dan regurgitasi c) pemakaian laryngeal mask atau alat pembebas jalan napas yang berada di depan supraglotik menyebabkan penurunan tonus spinkter esofagus distal, serta (4) kesulitan manajemen jalan napas, misalnya kesulitan melakukan intubasi sehingga harus memberikan positif pressure ventilation dengan masker, cricoid pressure yang tidak sempurna atau melepaskan tekanan sebelum endotracheal tube nya masuk dan pemasangan endotracheal tube yang masuk ke esofagus pada pasien dengan lambung penuh.
Verghes melakukan audit prospektif pada 2359 pasien yang dilakukan anestesi umum dengan LMA, 41% dilakukan positve pressure ventilation 5 pasien mengalami regurgitasi, 3 pasien terjadi pada saat pelepasan LMA pasca bedah, hanya 1 pasien yang diketahui terjadi regurgitasi dan pasca bedah tidak ada gejala sisa.4 Hasil survei Brimacombe dan Berry di unit perawatan intensive pada tahun 1990-1991 memperlihatkan bahwa 758 pasien dengan laryngeal mask, 8 pasien terjadi aspirasi ada 1 orang terjadi aspirasi penumonitis, tanpa ada kematian.

Pencegahan aspirasi
Aspirasi dapat terjadi setiap saat, sebelum, selama dan sesudah pemberian anestesia. Aspirasi isi lambung tanpa gejala terjadi pada 45% pasien tidur dan 75% pada pasien tidak sadar. Kecurigaan terjadi aspirasi apabila terdengar suara tambahan, terjadi kenaikan airway pressure atau pengeluaran sekret yang berlebih. Adanya suara napas tambahan berupa wheezing, rales yang menyeluruh, takhipneu, takhikardia, dan panas yang tidak tinggi merupakan gejala dari aspirasi isi lambung. Untuk diagnosa pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan invasif misalnya fibreoptic bronchoscopy, bronchoalveolar lavage.
Aspirasi dapat terjadi pada keadaan peningkatan tekanan lambung, meningkatnya kecenderungan terjadinya regurgitasi dan adanya penurunan kompetensi laring. Pencegahan dilakukan dengan mengurangi produksi asam lambung dan keasaman lambung. Produksi asam lambung yang lebih dari 25ml(0,4 ml/kg) dan pH kurang dari 2,5 mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam lambung kurang dari 1,5, kerusakan yang terjadi pada paru sangat hebat.
Aspirasi dapat dicegah melalui: puasa pra pembedahan, pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung dan melakukan dengan teknik anestesi yang tepat.

Puasa pra pembedahan
Puasa merupakan salah satu cara dari pengurangan isi lambung yang berupa padat dan cair. Berkurangnya jumlah asam lambung akan meminimalkan efek terjadinya aspirasi pneumonitis. Tujuan utama puasa adalah mengurangi volume isi lambung dibawah 25 ml. Puasa pra bedah menyebabkan mulut kering, haus, meningkatkan resiko PONV dan terjadinya hipovolemi. Pengosongan cairan lambung dikendalikan oleh bagian proksimal dari gaster dan berkaitan langsung perbedaan tekanan dari gastroduodenal, kecuali kalau ada hal yang patologi dari pyloric dan terjadi perubahan anatomi akibat pembedahan.
Jumlah isi lambung tergantung dari dimulainya waktu puasa. Puasa dengan minum air putih 2 jam sebelum pembedahan tidak meningkatkan volume cairan lambung dan keasaman lambung, karena dalam 2 jam sudah terjadi pengosongan lambung, tetapi apabila minum ASI pengosongan lambung baru terjadi setelah 4 jam. Untuk susu formula, makanan ringan pasien dipuasakan dalam waktu 6 jam. Makanan berat pengosongan lambung terjadi dalam waktu 9 jam.

Pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung
Derajat keasaman lambung sangat berpengaruh terhadap derajat kerusakan dan kegawatan dari aspirasi paru. Pemberian Na citrate akan meningkatkan pH asam lambung. Sucralfate akan mengikat empedu dan asam lambung, mempunyai efek untuk perdarahan lambung, tetapi apabila terjadi aspirasi akan menyebabkan pneumonitis akut dan perdarahan paru. H2 reseptor antagonis yang diberikan 90-120 menit akan mengurangi produksi dan menaikkan pH asam lambung. Apabila pasien sudah memakai obat H2 reseptor antagonis untuk beberapa waktu efektivitas untuk mengurangi produksi dan menaikan pH asam lambung berkurang sehingga akan meningkatan resiko akibat terjadi aspirasi paru. Proton pump inhibitors (PPls) mengikat residu cisteine dari H+/K+ ATPase pump mukosa gaster. PPls menurunkan produksi dan meningkatkan pH asam lambung, namun efek tersebut tidak tampak menurunkan kejadian dan keparahan dari paru akibat aspirasi.
Obat prokinetic yang dikenal dengan metoclopramide menurunkan resiko aspirasi dengan menurunkan volume isi lambung. Efek obat prokinetic akan dihambat oleh atropin (10µg/kg), pemberian opiat yang menyebabkan perpanjangan pengosongan lambung dan meningkatkan tonus dinding lambung.

Teknik anestesi
Aspirasi paling sering terjadi pada saat induksi dan laringoskopi. Kemungkinan terjadinya aspirasi ini dapat dikurangi dengan mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Pemasangan endotrakheal secara sadar atau dilakukan rapid sequence induction dengan cricoid pressure akan mengurangi terjadinya aspirasi. Sellick mengemukakan dengan dilakukan penekanan pada cricoid pada pasien yang telentang dan kepala lebih rendah(slight head down) akan mengakibatkan isi lambung yang keluar tidak dapat masuk dalam jalan napas. Posisi head up 450 pada saat intubasi untuk menghindari terjadinya aspirasi. Laringokopi yang dilakukan dengan kedalaman anestesi yang tidak cukup akan mengakibatkan batuk, bucking, muntah dan spasme laring. Keadaan ini akan menyulitkan intubasi sehingga akan memperbesar kemungkinan terjadi aspirasi.
Pemakaian LMA tidak mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Hasil meta analisis menunjukkkan bahwa 2 dari 10.000 yang dilakukan dengan LMA mengalami aspirasi.

Manajemen aspirasi
Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia dan pemberian obat-obatan yang mengurangi reflek proteksi jalan napas. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonitis, meningkatkan kejadian pneumonia dan adult respiratory distress syndrome (ARDS).
Tindakan segera setelah diketahui terjadi aspirasi, pertama adalah terapi suportif dengan, pasien diposisikan head down untuk meminimalkan kontaminasi isi lambung dengan paru. Mulut dan faring segera dibersihkan dengan menekan cricoid. Pembersihan jalan napas melalui endotrakheal dapat dilakukan dengan mengisap intratrakheal yang sebelumnya diberikan oksigen 100% dengan PPV. Tindakan selanjutnya adalah melakukan bronhoscopy untuk membuang partikel dari aspirat. Pemasangan oro/nasogastro ditujukan untuk mengosongkan lambung dan mengukur derajat keasaman lambung. Terapi oksigen dan bronchodilator diberikan sesuai dengan keadaan klinis dari pasien tersebut.
Setelah diagnosis aspirasi ditegakkan kelanjutan dari tindakan pembedahan dapat dibicarakan dan disesuaikan dengan keadaan pasien. Setelah pembedahan berakhir dilihat keadaan klinik dalam 2 jam setelah aspirasi, apakah pasien perlu dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif. Pertimbangan ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Warner melakukan studi retrospektif pada 66 pasien yang mengalami aspirasi. Empat puluh dua pasien dari 66 orang dalam 2 jam tidak tampak adanya gejala dan pasca bedah tidak dilakukan intervensi pada pernapasan. Delapan belas pasien yang dilakukan rawat jalan 12 pasien, pulang pada hari tersebut. Delapan belas pasien dari 24 pasien yang menunjukan gejala wheezing, penurunan SpO2 lebih dari 10% dan ada gambaran radiologis dari aspirasi dalam waktu 2 jam. Pasien tersebut dilanjutkan perawatan di ICU untuk diberikan napas buatan. Tiga pasien dilakukan napas buatan lebih dari 24 jam, dan 2 orang mengalami sindroma distres napas dan meninggal.

Pemberian antibiotika dilakukan bila pasien sudah dinyatakan pneumonia. Pemeriksaan mikrobiologi dari pasien aspirasi diperlukan untuk memastikan pemberian obat-obatan. Bahan aspirat membawa kuman masuk kedalam jaringan paru. Dari penelitian bahan aspirat pada kasus aspirasi berat, didapatkan kuman basili gram negatif 49%, bakteri anaerob 16% dan stafilokokus 12%. Keberadaan kuman basili gram negatif menunjukan bahwa pasien tersebut mengalami aspirasi dari bahan tractus gatrointestinal.
Pemberian corticosteroid masih kontroversi. Pertimbangan penggunaannya adalah untuk mengurangi keradangan dan stabilisasi membrane lysosom. Selain itu diduga dapat mencegah kerusakan sel paru dengan cara melindungi pneumosit alveolar tipe II dan mengurangi aglutinasi leukosit dan platelet. Hasil penelitian eksperimental oleh Downs JB et al menunjukan efektivitas pemberian kortikosteroid ada hubungannya dengan nilai pH Aspirat, jika pH aspirat berada pada 1,5-2,5 terapi corticosteroid berperan untuk membantu proses kesembuhan acid aspiration pneumonitis. Dexamethasone diberikan 0,8 mg/kg BB tiap 6 jam menurunkan cairan paru (lung water) secara bermakna mulai 24jam, dan kembali kekeadaan normal setelah 72 jam. Bila pH aspirat lebih kecil dari 1,5 akan terjadi kerusakan parensim paru yang hebat dan luas, oleh karena itu terapi steroid tidak efektif. Apabila pH aspirat lebih besar dari 2,5 pemberian kortikosteroid tidak ada artinya. Penelitian Wolfe et al, memperlihatkan bahwa pasien pneumonia pasca aspirasi yang disebabkan oleh kuman gram negatif lebih banyak ditemukan pada pasien yang diberi kortikosteroid.