Rabu, 03 Agustus 2011

Susunan Pengurus Pusat PPNI periode 2010 – 2015

Susunan Pengurus Pusat PPNI periode 2010 – 2015
Ketua Umum : Dewi Irawaty, MA, PhD.
Ketua I : Dra. Junaiti Sahar, PhD
Ketua II : Rita Sekarsari, SKp, MHSM.
Sekretaris Jenderal : Harif Fadhillah, SKp., SH.
Sekretaris I : Yeni Rustina, PhD.
Sekretaris II : Yupi Supartini, SKp., MSc.
Bendahara Umum : Netty Sofyan, SKM, M.Kes.
Bendahara I : Ruti Nubi, SKM
Bendahara II : Rasmanawati, SKp., MM
Departemen Organisasi
Ketua : Wawan Arif Sawana, SKp.
Anggota : Sunardi, MKep., Sp.KMB.
: Bambang Tutuko, SKp., SH.
Departemen Hukmas & Pemberdayaan Politik
Ketua : Amelia K, SKp., MN.
Anggota : Ahmad Neru, MKep. Sp.Kom.
: Armen Patria, SKp. MKes.
Departemen Pengembangan Kerjasama Dalam Negeri & Luar Negeri
Ketua : Masfuri, SKp. MN.
Anggota : Meidiana Dwidiyanti, SKM. MSc.
: Ns. Apri Sunadi, SKep.
Departemen Pelayanan
Ketua : Ns. Riyanto, MKep. Sp.Kom.
Anggota : Syahridal, SKp.
: Pawit Rodiah, SKp., M.Kep.
Departemen Pendidikan & Pelatihan
Ketua : Dra. Murni Hartanti, SKp., MSi.
Anggota : Astuti Yuni Nursasi, SKp. MN.
: Michiko Umeda, SKp. MS.Biomed
Departemen Kesejahteraan
Ketua : Mustikasari, SKp. MARS
Anggota : Asep Sopari, SKM, MM, MKM
: Iwan Effendi, Amd.Kep.
Dewan Pertimbangan
Ketua : Prof. Achir Yani, MN. DNSc.
Sekretaris : Drs. Husen, BSc
Anggota : 1. Drs. Husain, SKM.
: 2. Ahmad Djauhari, MM.
: 3. Janes Lesilolo, SKM. MKes.
Majelis Kehormatan Etik Keperawatan (MKEK)
Ketua : Dra. Junarsih W. Sudibjo
Sekertaris : Fitriati, SKM, MKes.
Anggota : 1. Tien Gartinah, MN.
: 2. Dra. Herawani Aziz, MKes. MKep.
: 3. Sumijatun, SKp., MA

Kamis, 28 Juli 2011

ORGANISASI PPNI

Bagaimana caranya organisasi dapat eksis dan berkembang ?
Organisasi tersebut harus memiliki manfaat baik secara internal maupun eksternal. Apa manfaat organisasi secara internal ? Banyak. Misalnya dengan berhimpun di organisasi tersebut, para anggotanya menjadi terlindungi, terangkat perekonomiannya, terangkat status sosialnya, mendapat penghargaan sosial dsb. Kemudian,apa manfaat organisasi secara eksternal ? Contohnya, dengan kehadiran suatu organisasi, banyak pihak di eksternal organisasi tersebut mendapatkan keuntungan.
Kehidupan berorganisasi semesti berlangsung simbiosis mutualisme. Setiap interaksi hendaknya mengandung manfaat yang saling menguntungkan, baik dari pihak internal maupun dan eksternal. Kalaupun tidak saling menguntungkan, sebisanya jangan sampai ada pihak yang dirugikan.
Namun karena keadaan tertentu, biasanya organisasi mendahulukan kepentingan internal dibanding eksternal. Jika keberadaan suatu organisasi hanya menimbulkan kerugian, maka organisasi tersebut akan dijauhi dan dimusuhi. Tidak ada orang yang mau bergabung dan berinteraksi dengan organisasi tersebut.
Bagaimana dengan organisasi PPNI ? Perlu kita lalukan evaluasi, terutama bagi pengurus PPNI. Apa manfaat bagi anggota PPNI ? Apa manfaat PPNI bagi pihak luar (pemerintah dan masyarakat) ?

Rabu, 27 Juli 2011

AKSI MOGOK NASIONAL PERAWAT INDONESIA

Tanggal 22 Juni 2009, PPNI mengadakan Rapat Kerja Nasional Luar Biasa (RAKERNASLUB). Kegiatan ini dilakukan untuk menyikapi kondisi yang mendesak dan genting mengenai pengesahan RUU Keperawatan Indonesia. Hasil keputusan RAKERNASLUB adalah sebagai berikut:
1. Apresiasi terhadap DPR RI yang telah merespon tuntutan PPNI sehingga aksi mogok nasional belum dilaksanakan.
2. Aksi mogok nasional akan dilakukan apabila :
a. Sampai dengan tanggal 4 Juli 2009 tidak dilakukan pembahasan RUU Keperawatan.
b. Undang Undang Keperawatan tidak disyahkan pada periode DPR RI 2004-2009.
c. Pelaksanaan mogok nasional ditentukan oleh Pengurus Pusat PPNI
3. Perawat yang tidak mengikuti aksi mogok, akan diberikan sangsi organisasi.
4. Aksi mogok nasional akan mengikuti aturan PP PPNI dan Internasional Council of Nurses dan mengikat semua perawat yang melakukan aksi mogok nasional.
5. Pengurus Propinsi PPNI siap menyuarakan rencana mogok nasional
6. Pengurus Pusat wajib mengirim surat kepada Presiden RI ditembuskan kepada Ketua DPR, MPR, Menkes, Ka POLRI, Gubernur seluruh Indonesia, PERSI, ARSADA, YLKI, ICN, dan stakeholder lainnya.
PPNI terpaksa melakukan mogok nasional sebagai jalan terakhir yang kami tempuh. Untuk itu, kami perawat Indonesia meminta maaf kepada masyarakat Indonesia yang memerlukan jasa perawatan akan tidak bisa kami penuhi seperti biasanya pada periode mogok yang kami rencanakan.

Ketua Gerakan Sukseskan UU Keperawatan
PP PPNI
Harif Fadilah, SKp, SH (Hp 08161435752)


Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,


Prof. Achir Yani S. Hamid, MN, DNSc. Dra. Junarsih Sudibjo



Hingga pertengahan 2011, berati sudah 2 tahun berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda bakal disahkannya RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan. Apakah perawat Indonesia akan betul-betul mogok ???

Selasa, 26 Juli 2011

PERAWAT INDONESIA, apakah masih punya masa depan ???

Perawat Indonesia sudah sepantasnya iri kepada perawat Filipina. Sejak lama Kepresidenan dan Depkes Filipina sangat memperhatikan perawat. Perawat Filipina difasilitasi untuk bekerja di luar negeri. Semua sistem administrasi bahkan langsung ditangani oleh staf kepresidenan. Pemerintah Filipina betul-betul menghargai perawat-perawat mereka di luar negeri. Bagaimana dengan Indonesia ? Sangat-sangat jauh bedanya. Pemerintah RI sangat minim perhatiannya kepada perawat. Jangankan perawat yang di luar negeri, perawat yang di dalam negeri saja tidak diurusi dengan benar.

Kebutuhan pasar tenaga kerja dunia terhadap perawat melebihi 300.000 orang per tahun. Namun, Indonesia sulit menggarap potensi itu karena rendahnya kompetensi perawat.
Peluang ini terbuka karena hampir setiap tahun ada surplus 22.500 tenaga perawat, dari 30.000 perawat yang baru lulus pendidikan, yang tidak langsung diserap lapangan kerja. Persoalannya, kompetensi mereka masih rendah karena minimnya penguasaan bahasa sehingga sulit bersaing dengan pekerja migran dari Filipina.
"TKI yang profesional itu penting. Karena itu, harus diupayakan pendidikan profesi yang baik sehingga dia mendapatkan sertifikat yang menunjukkan kompetensinya di pasar kerja dunia.

Dengan penanganan yang benar, sebetulnya Indonesia sangat peluang besar untuk kita menjadi nomor tiga terbanyak, setelah India dan Filipina, dalam memasok kebutuhan tenaga perawat di mancanegara. Kuantitas perawat Indonesia sudah melebihi perawat Filipina. Tapi dari sisi kualitas, hanya sedikit perawat Indonesia yang bisa bersaing memperebutkan lapangan kerja di kancah internasional.

Setiap tahun, Indonesia menghasilkan lebih dari 30.000 orang lulusan perawat. Saat ini terdapat lebih dari 770 akademi dan universitas per tahun yang meluluskan perawat. Tak semua lulusan tersebut dapat diserap oleh pasar kerja domestik, sebagian akan menjadi pengangguran terdidik. Jumlahnya meningkat setiap tahun.

Kebutuhan tenaga perawat di luar negeri sangat tinggi. Kesempatan kerja yang sangat luas ini hanya sedikit dimanfaatkan oleh tenaga perawat dari Indonesia. Negara-negara Asia seperti Filipina, India, Thailand, Bangladesh lebih banyak mengisi lowongan tersebut. Kelemahan kita adalah faktor bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut maka persiapan tenaga kerja profesional harus digarap secara sungguh-sungguh dengan mendekatkan organisasi profesi/PPNI, pusat pendidikan dan lahan praktik/rumah sakit.

Upaya peningkatan kesempatan kerja kini diarahkan pada kesempatan kerja di luar negeri. Indonesia belum mampu memenuhi permintaan itu secara optimal karena terkendala persyaratan sertifikat profesi. Indonesia selama ini belum memiliki lembaga sertifikasi profesi yang diakui secara internasional.

Sertifikat Profesi Tingkatkan Daya Saing TKI
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), masalah tenaga kerja Indonesia
ditandai dua hal. Pertama, kesenjangan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan kebutuhan pengguna jasa (industri).
Kesenjangan itu mengakibatkan banyak calon tenaga kerja yang telah mengikuti pendidikan maupun pelatihan, malah tidak dapat diterima oleh industri karena terjadi mismatch antara kualifikasi yang dimiliki tenaga kerja dan yang dibutuhkan industri.
Kedua, kesenjangan antara supply dan demand. Jumlah pencari kerja lebih banyak dibandingkan dengan kesempatan kerja yang tersedia.
Kedua faktor itu memicu peningkatan angka pengangguran, terutama yang bersifat terbuka dengan jumlah saat ini mencapai 10 juta orang. Untuk mengatasinya, harus ada peningkatan kualitas SDM sesuai kebutuhan pasar maupun perluasan kesempatan kerja. Upaya peningkatan mutu SDM terutama tenaga kerja ditempuh melalui pengembangan sistem diklat berbasis kompetensi. Sistem itu diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2004. Dalam sistem ini, terdapat tiga subsistem meliputi Standar Kompetensi, Kurikulum Diklat Berbasis Kompetensi, dan Sertifikasi Kompetensi Kerja atau Sertifikasi Profesi. UU ini mengamatkan BNSP sebagai
pelaksana Sertifikasi Kompetensi Kerja.
Sertifikasi profesi adalah proses pemberian sertifikasi profesi melalui uji kompetensi. Dengan proses ini, kualitas tenaga kerja dijamin sesuai kebutuhan industri. Untuk menjamin kegiatan ini berjalan adil, obyektif, dan transparan, pelaksanaannya diserahkan kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dilisensi BNSP.

LSP dibentuk oleh asosiasi industri ataupun profesi dengan dukungan instansi teknis (regulator). Uji kompetensi dilakukan di Tempat Uji Kompetensi yang diverifikasi LSP dan dikerjakan oleh tenaga penguji (asesor) bersertifikat dari BNSP.

Rabu, 13 Juli 2011

KESEJAHTERAAN PERAWAT

Perawat Indonesia menuntut adanya perbaikan kesejahteraan. PPNI sering menjadi sasaran atas kondisi perawat Indonesia yang tidak sejahtera.
Kesejahteraan tidak melulu masalah duit, income. Kesejahteraan juga meliputi perlindungan hukum, hak untuk menjalankan praktek sesuai keilmuan yang dimiliki dsb.

Kamis, 30 Juni 2011

SUKWANTO, Pemimpin Baru PPNI Kaltim 2011-2016


Musyawarah Provinsi Kaltim yang diselenggarakan di Swiss Belhotel Kota Tarakan Kalimantan Timur, 24-26 Juni 2011 menghasilkan dua keputusan penting.
1. Ketua PPNI Kaltim periode 2011-2016 adalah Sukwanto, SKep.
2. Tuan rumah penyelenggara Musprov 2016 adalah PPNI Kota Bontang.

Sukwanto saat ini menjabat sebagai Direktur RSUD Harapan Insan Sendawar Kabupaten Kutai Barat. Sukwanto merupakan putra daerah Kaltim (suku Dayak). Ia memulai karier sebagai perawat Golongan II A, selesai pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan di Samarinda. Dia ditempatkan di RSJ Samarinda. Sekian tahun bertugas di Kota Tepian (julukan Samarinda), Sukwanto meningkatkan pendidikannya ke Akper dan dilanjutkan Pendidikan S 1 Keperawatan di UNAIR Surabaya.
Selesai meraih gelar SKep.Ns, Sukwanto kembali bertugas di Samarinda. Kemudian pindah tugas ke kampung halamannya di Kabupaten Kutai Barat. Ini terjadi setelah adanya pemekaran Kabupaten Kutai menjadi Kabupaten Kutai Kertanegara (Kutai Induk), Kutai Timur, Bontang dan Kutai Barat.
Tugas pertama Sukwanto di kampung halaman justru tidak berkaitan langsung dengan pendidikan formalnya. Sukwanto dipercaya oleh Pemkab Kutai Barat untuk memegang jabatan sebagai camat di salah satu kecamatan yang terisolir di kabupaten tersebut. Kariernya terus bersinar. Selepas menjadi camat, Sukwanto dimutasi menjadi staf Dinas Kesehatan Kutai Barat. Awal September 2010, Sukwanto dilantik sebagai Direktur RSUD Harapan Insan Sendawar.

Terpilihnya Sukwanto sebagai nahkoda PPNI Kaltim, sempat muncul rasa khawatir di kalangan perawat. Kekhawatiran wajar mengingat status dan aktivitas Sukwanto yang padat sebagai Direktur RSUD. Jabatan sebagai direktur RSUD sudah membuat dirinya sangat sibuk. Sehingga waktu dan pikirannya untuk PPNI mungkin menjadi sangat minim. Namun, Sukwanto berjanji akan tidak akan mengecewakan para perawat. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk memajukan profesi keperawatan di bumi Kaltim.
Kini Sukwanto sedang menyelesaikan pendidikan S 3. Semoga cepat selesai dan dapat menerapkan ilmunya bagi kemajuan profesi keperawatan dan pembangunan di daerah Kutai Barat.
Bagi teman-teman perawat yang ingin kenal lebih dekat dengan sosok Sukwanto silakan klik link ini

Uji Kompetensi Perawat

Uji kompetensi perawat merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh perawat. Sekarang sudah terbit peraturan dari pemerintah tentang keharusan uji kompetensi bagi perawat. Peraturan tersebut yaitu Kepmenkes No.161 Tahun 2009. Badan Pelaksana Uji Kompetensi Perawat adalah Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP).
Suka atau tidak, siap atau tidak, perawat akan berhadapan dengan uji kompetensi. Bergantung pada tujuannya, uji kompetensi dapat diselenggarakan oleh Rumah Sakit, lembaga yang dibentuk pemerintah atau lembaga non pemerintah. Uji kompetensi yang diselenggarakan oleh MTKP terkait dengan perizinan kita sebagai perawat.
Uji kompetensi dapat pula diselenggarakan oleh rumah sakit adalah bertujuan untuk mendapatkan data dalam pemetaan perawat dalam rangka strategi pengembangan ketenagaan.
Lembaga penyelenggara uji kompetensi harus menguasai metodelogi dan sarana uji kompetensi. Yang paling penting, perusahaan yang memakai jasa perawat tersebut mengakui hasil uji kompetensi tersebut.

Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan terkait dengan perizinan tenaga kesehatan dirancang oleh MTKI / MTKP. Syarat penguji yang duduk di MTKP sudah berusia 40-60 tahun dan merupakan tenaga purna waktu.
Lembaga MTKI-MTKP merupakan perintah atau perangkat pelaksana Kepmenkes Nomor 1239 Tahun 2001 dalam hal registrasi tenaga keperawatan. Dalam rentang waktu 2001 hingga 2011, tidak terdapat kemajuan yang berarti. MTKP yang semesti berdiri di tiap-tiap provinsi untuk merealisasikan registrasi dan lisensi perawat, pada kenyataannya cuma masih sebatas wacana. Tidak semua provinsi aktif membentuk MTKP. Provinsi ini juga tidak bisa disalahkan karena Pusat sendiri belum terbentuk induknya yakni MTKI. Provinsi yang bergerak membentuk MTKP terpaksa hanya menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub)sebagai payung hukumnya. Oleh karena ketiadaan kejelasan pembentukan MTKI di pusat, maka Pengurus Pusat PPNI sekitar 2008 silam kemudian berinisiatif membentuk KNUKP (Komite Nasional Uji Kompetensi Perawat). Pembentukan KNUKP adalah untuk menjawab perlunya perawat yang memiliki standard tertentu. Saat ini KNUKP telah menyelenggarakan beberapa kali uji kompetensi di berbagai wilayah, seperti di DKI Jakarta. Apabila UU Keperawatan telah terbit, seperti di negara-negara maju, maka Uji Kompetensi akan diselenggarakan oleh Konsil Keperawatan. Dengan demikian KNUKP akan dilikuidasi dengan sendirinya.
Sekadar pengetahuan, sebetulnya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) telah membuat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Khusus profesi keperawatan, BNSP telah merancang SKKNI Bidang Kesehatan sub bagian keperawatan.
Semoga saja KNUKP, MTKI dan BNSP bisa bersinergi sehingga perawat tidak menjadi korban "perang kepentingan".

Galak di dalam, Melempem di luar.

Saya terbilang baru bergabung di organisasi PPNI. Dari sekian kali saya mengikuti kegiatan musyawarah PPNI, entah itu Musyawarah Nasional (Munas), Musyawarah Provinsi (Musprov) maupun Musyawarah Kabupaten (Muskab) dan Musyawarah Kota (Muskot), saya mencatat suatu kejadian yang terus berulang. Apakah itu ? Yaitu perdebatan sengit ketika pembahasan tata tertib (tatib). Perdebatan semakin sengit begitu memasuki tatib tentang pemilihan ketua pengurus PPNI. Seolah-olah seluruh energi harus dicurahkan di point ini. Padahal, menurut saya, energi peserta musyawarah sebaiknya justru diforsir ketika sidang komisi membahas program kerja ke depan. Sebab program kerja inilah yang menentukan nasib sekian ratus bahkan sekian ribu perawat.
Program kerja tidak usah muluk-muluk. Kita mulai dari yang sederhana tapi efeknya dirasakan oleh banyak perawat. Misalnya program advokasi kesejahteraan perawat.
Saat sidang, para perawat sangat galak. Tapi ketika di luar sidang, berhadapan dengan para penguasa, perawat menjadi melempem dan tidak kompak lagi.
Bahkan parahnya, ajang Musyawarah hanya dijadikan sebagai kegiatan untuk melepaskan kewajiban dari pengurus.

Kesejahteraan

Kesejahteraan dari segi materi (gaji di atas upah minimum, insentif-insentif dll)
Kesejahteraan dari segi non materi (perlindungan / jaminan hukum, hak untuk berpraktek, hak untuk mengembangkan diri, dll)

PPNI, belum mampu meningkatkan kesejahteraan perawat

Hari jadi PPNI adalah 17 Maret 1974. Pada tanggal itu, pelbagai organisasi keperawatan yang bertebaran di Nusantara, melebur ke satu wadah yang bernama PPNI. Sejak saat itu, PPNI adalah organisasi profesi perawat di Indonesia.
Harapan perawat bergabung di PPNI adalah agar profesionalitasnya sebagai perawat senantiasa terpelihara. Selain itu, para perawat bergabung di PPNI agar kesejahteraan mereka meningkat. Seberapa besar peran PPNI dalam menyejahterakan anggotanya ? referensi

Rabu, 29 Juni 2011

Perjuangan Perawat Misran (2)

Dikabulkannya uji materi terhadap Undang-Undang 36/2009 tentang Kesehatan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (27/6/2011), benar-benar mengagetkan banyak pihak. Apalagi, judicial review itu “hanya” diajukan 13 perawat asal Kaltim yang didampingi dua penasihat hukum dengan dana yang terbatas.

Adalah Misran, kepala Puskesmas Pembantu Desa Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar) menjadi tokoh sentral dalam kemenangan uji materi ini. Dia seorang perawat yang ditahan dan divonis bersalah karena terbukti memberikan obat daftar G kepada pasien. UU 36/2009 melarang mantri desa melayani pasien dalam kondisi darurat seperti halnya dokter atau apoteker.

Misran dan dua penasihat hukumnya, yaitu Erwin dan Muhammad Aidiansyah dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korpri Kukar berpendapat, pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal yang salah satu frasenya berbunyi “... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundangan,” dinilai tidak bisa diterapkan di seluruh pelosok negeri. Pasalnya, tidak semua daerah memiliki tenaga kesehatan dan infrastruktur memadai.

Diwawancarai Kaltim Post siang kemarin, Misran mengaku, perjuangan judicial review melewati proses panjang. Bersama Aidiansyah, penasihat hukumnya, dia menceritakan fase sulit pada awal pengajuan uji materi. Tiga bulan pertama, tepatnya pada pengujung 2009, mereka harus membuat syarat-syaratnya yang rumit.

Sebelum gugatan diterima, pemohon mengajukan proposal ke panitera pendaftar. Kepada panitera itu, Misran dan kawan-kawan berkonsultasi apakah proposal itu benar-benar mendasar. “Kalau tidak mendasar atau sekadar retorika, MK pasti menolak,” kata Misran.

Ketua (demisioner) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kaltim Edyar Miharja menambahkan, konsep awalnya, PPNI bersama lawyer menyusun legal standing judicial review. Diputuskan, yang mengajukan gugatan adalah kelompok, bukan individu. Akhirnya, terkumpul 13 perawat dari Paser, Penajam Paser Utara, dan Kukar yang bernasib sama dengan Misran.

“Ketika sidang permohonan, MK menanyakan apakah ada hak konstitusi yang dilanggar. Saat itu, kami harus memperbaiki permohonan dengan melengkapi fakta-fakta yuridis yang dialami para perawat,” kata Edyar.

“Alhamdulillah, MK sangat merespons ide saya. Setelah empat kali konsultasi, dalam tiga bulan gugatan itu diterima untuk disidangkan,” tambah Misran. Dia mengatakan, apa yang diajukan sangat mendasar bahwa terdapat ketakutan di kalangan perawat memberikan pelayanan kesehatan. Padahal, di kondisi tertentu hal itu harus dilakukan karena berhubungan dengan nyawa manusia.

Setelah kesulitan pertama, yakni pendaftaran, berikutnya adalah dalam persidangan. Saksi ahli dari pemerintah menyatakan, undang-undang itu tidak ada masalah. Dalam pemaparan mereka, kata Edyar, sungguh meyakinkan. “Tapi kan, nyatanya di daerah ada masalah,” imbuhnya.

Untuk memperkuat gugatan, pemohon mengajukan saksi ahli yaitu Prof Azrul Azwar. Adapun Azrul adalah mantan ketua umum Ikatan Dokter Indonesia yang bekerja di Kementerian Kesehatan dan aktif di sejumlah organisasi internasional. Azrul memberikan pemahaman bahwa UU Kesehatan tidak bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Sedikitnya, menurut penjelasan Edyar, ada empat kali persidangan.

Aidiansyah, penasihat hukum dalam gugatan ini mengatakan, tidak sepeser pun biaya yang dikeluarkan di MK. “Nol rupiah,” sebutnya. Sementara Misran dan Edyar sama-sama menolak menyebutkan berapa biaya akomodasi dan transportasi di Jakarta. “Banyak bantuan. Tidak mungkin saya sebutkan semua. Biasanya, rombongan ke Jakarta sekitar lima orang setiap persidangan,” ungkapnya.

DIANGGAP GILA

Ketika pertama kali mengajukan gugatan, Edyar mengaku, banyak yang pesimistis. “Sebelum media lokal dan nasional mengungkap apa yang dialami Pak Misran, kami bahkan dianggap gila karena mengajukan judicial review,” ungkapnya. Setelah menjadi isu nasional, lanjut dia, barulah banyak perhatian yang datang.

Akhirnya, dua hari lalu MK mengabulkan permohonan Misran. Dipimpin Ketua MK Mahfud MD, mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Menurut MK, perawat yang bertugas dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa memerlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.

Dilematis, ketika penjelasan pasal 108 ayat 1 yang membatasi kewenangan dan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Mahfud menyatakan, petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan di sisi lain memberikan obat dibayangi ketakutan ancaman pidana.

Apalagi, disebabkan luasnya wilayah Indonesia dan banyak wilayah terpencil, kemampuan keuangan negara, serta sedikitnya SDM kesehatan. “Kalimat “harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang- undangan”, tidak tepat diperlakukan sama di semua tempat di Indonesia,” kata Mahfud.

Perjuangan Perawat Misran (1)

Perawat Misran, Kepala Puskesmas Pembantu Desa Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur divonis Pengadilan Negeri Tenggarong, Kaltim 19 November 2009.

Isi vonis PN Tenggarong tersebut : (1)“Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka praktik kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan yang melanggar pasal 82 ayat 1 huruf b juncto pasal 63 ayat 1 Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan,
(2)“Dijatuhi pidana penjara 3 bulan potong masa tahanan, ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan kurungan.”

Pria kelahiran 28 Oktober 1969 ini tertunduk dengan wajah lemas. Pengabdiannya kepada masyarakat balas oleh negara dengan vonis bersalah.
Kendati dia tidak ditahan karena sudah dipotong masa tahanan; kendati putusan lebih ringan dari dakwaan jaksa, yakni pidana sepuluh bulan; Misran jelas kecewa karena dia dinyatakan bersalah.

Para pendukung Perawat Misran, Ketua PPNI Kukar Abdul Jalal turut kecewa. Kuasa hukum Misran, M Aidiansyah dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korps Pegawai Negeri (Korpri) Kukar waktu itu menyatakan pikir-pikir, walaupun akhirnya mengajukan banding.
******
SEMUA bermula pada Rabu petang, 3 Maret 2009. Sehari sebelumnya, Misran memberikan obat daftar G kepada seorang pasien. Keesokan sore, datang seorang polisi yang menyamar sebagai pembeli. Kepada Misran, polisi itu bertanya apakah ada Amoxicillin, obat jenis antibiotik.

Tak berapa lama, tiga lelaki lainnya bergabung. Mereka memperkenalkan diri sebagai polisi yang ditugaskan memeriksa dan menahannya. “Saya ini kepala puskesmas pembantu. Karena masyarakat memerlukan, saya buka praktik. Saya sudah memiliki izin dari Dinas Kesehatan tingkat satu (Kaltim, Red). Apa yang kami lakukan karena tuntutan masyarakat,” kata Misran, mengulang kalimat yang disampaikan kepada empat orang petugas Polri kala itu.

Para petugas yang diketahui dari Polda Kaltim masing-masing berpangkat komisaris polisi, ajun inspektur polisi satu, brigadir polisi kepala, dan seorang brigadir polisi dua. “Maaf, Pak Misran. Kami hanya menjalankan tugas. Untuk itu, Pak Misran harus nurut kami geledah dan kami tahan,” kata seorang dari para polisi itu.

Pada pukul 18.00 Wita, Misran bersama obat-obatan dibawa ke Balikpapan. Juga, nota pembelian dari Apotek Obat Sehat dan Apotek Setia Jaya di Samarinda yang kemudian menjadi barang bukti di persidangan. Begitu sampai di Mapolda Kaltim di Kota Minyak, Misran terpaksa menunggu pemeriksaan karena listrik sedang padam.

Lewat tengah malam, Misran yang menjadi kepala Puskesmas Pembantu sejak 3 November 1994 mulai diperiksa. Lumayan panjang karena baru berakhir pukul 04.30 Wita.
Dalam rasa kantuk dan lelahnya, Misran mendapat tekanan dan sulit membela diri. ”Saya harus mengakui kesalahan bahwa perawat tidak berwenang memeriksa dan memberi obat,” katanya.

Misran disangka melanggar undang-undang kesehatan, yang tahun itu diperbarui lewat UU 36/2009. Seorang perawat menurut undang-undang itu, tidak berkompeten memberikan obat daftar G kepada pasien, kendati perawat itu satu-satunya tenaga medis di suatu daerah. Obat daftar G (gevaarlijk atau berbahaya) ditandai dengan simbol huruf K (keras) yang dikelilingi lingkaran merah di kemasannya. Boleh didapat hanya dengan resep dokter.

Waktu itu, Misran sama sekali tidak mengerti undang-undang. Jarak dokter terdekat dari desanya 15 kilometer. Yang dia tahu, sebagai tenaga medis dia harus membantu orang. Pisau bermata dua membelah buah simalakama. Membantu pasien ditangkap, tidak membantu bisa-bisa dihakimi orang sekampung.

“Tentang penangkapan, saya terima. Tapi saya bukan pencuri atau pengedar narkotika,” tuturnya, dalam sebuah seminar di Balikpapan belum lama ini. Misran, menyoal cara aparat memperlakukan dia secara tidak pantas. Peraih penghargaan perawat teladan ini tidak dijebloskan ke dalam sel bersama 24 tahanan narkotika. “Ya Allah, inikah penjara? Saya disamakan dengan mereka,” lirih Misran, di sela-sela air mata dan doa, pada dini hari yang tak pernah dilupakannya itu.
******
“SAYA dan teman-teman akan me-judicial review UU Kesehatan. Undang-undang itu tidak bisa diterapkan di semua daerah, apalagi di pelosok, ,” kata Misran usai vonis dibacakan di PN Tenggarong, sembilan belas bulan lalu.

Misran menyayangkan vonis di PN Tenggarong yang tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. “Tidak dipertimbangkan tanggung jawab dinas dan pemerintah. Termasuk jaksa mengatakan, undang-undang itu tidak ada pengecualian. Vonis itu sungguh membuat sakit hati saya,” tuturnya.

Dikatakan ayah tiga anak ini, dia harus mengajukan uji materi UU 36/2009. “Jika tidak, bisa banyak orang yang meninggal. Saya tidak mau, karena seorang Misran saja, membuat kesusahan sebanyak ini,” ungkapnya,
“Undang-undang itu jangan dibikin kasar. Undang-Undang harus berperikemanusiaan, bukan menyusahkan,” ungkapnya.

Vonis kepada Misran turut memantik solidaritas para perawat. Beberapa hari setelahnya, sedikitnya 800-an perawat di Kukar menghentikan kegiatan pelayanan daripada ditangkap aparat. Ada 128 puskesmas pembantu di 18 kecamatan di kabupaten itu yang punya perawat seperti Misran.

Banyak yang memilih cara aman tidak memberi obat daftar G kepada pasien. Ketua PPNI (demisioner) Kaltim Edyar Miharja menuturkan, lepas putusan itu, masyarakat menjadi kesusahan karena harus ke dokter untuk mendapat resep. “Bagaimana masyarakat yang tinggal di perbatasan dan terpencil ? Kondisinya jauh lebih sulit,” tuturnya.

Hampir dua tahun, Misran bersama dua penasihat hukum dari LKBH Korpri Kukar berjuang ke Jakarta. Bolak-balik mulai mengajukan uji materi undang-undang kesehatan, mengikuti persidangan, hingga putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Senin (27/6/2011), sembilan hakim MK sependapat, pasal 108 ayat (1) UU No 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945.

“Sekarang, saya menanti kasasi (terhadap vonisnya) di Mahkamah Agung. Semoga majelis hakim merujuk keputusan MK. Jujur, kata “mala praktik” itu sungguh menyakitkan saya,” kata Misran, ketika dihubungi kemarin masih di Jakarta. Jika kasasinya dikabulkan, Misran mendapatkan kembali nama baiknya. Lalu, apakah dia trauma? Masih ingin membuka praktik? “Saya masih menanti,” jawabnya.

Selasa, 31 Mei 2011

Dilema Peran Perawat Puskesmas

oleh : Harmoko,S.Kep.Ns. (PPNI Dinas Kesehatan Kota Semarang)

Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal, tanpa memandang status sosial, ras, agama dan budaya. Dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal peran pemerintah sangat besar. Dalam hal ini Pemerintah mempunyai tugas untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. (UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992). Pelayanan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah dan atau peran swasta untuk memelihara dan menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, sedang UKP sendiri difokuskan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan.
Dengan demikian jelas bahwa untuk UKM ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab puskesmas tanpa melibatkan usaha kesehatan perorangan. Sedangkan untuk UKP sepenuhnya milik oleh Rumah Sakit tanpa mengabaikan peran serta swasta.
Seperti kita ketahui fungsi puskesmas ada tiga yaitu :
1. Pusat pembangunan berwawasan kesehatan;
2. Pusat pemberdayaan Keluarga dan masyarakat;
3. Pusat Pelayanan Rujukan.
Untuk saat ini ketiga peran tersebut tidak berjalan seimbang, peran Puskesmas yang paling menonjol adalah sebagai pelayanan kesehatan tingkat pertama bahkan ada puskesmas yang sudah memberikan layanan spesialistik (tingkat lanjutan). Kondisi ini lebih diperparah dengan adanya otonomi daerah yang membuat peran puskesmas sebagai pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat makin tersisihkan. Pengembangan puskesmas yang beralih fungsi peran sebagai rumah sakit tanpa memikirkan siapakah yang akan menangani masalah kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Inilah yang membuat kegiatan yang bertujuan untuk kesehatan masyarakat tidak berjalan.
Hal ini ironi sekali dengan banyaknya masalah kesehatan masyarakat yang terjadi. Jika masalah kuratif saja yang selalu menjadi pokok pemikiran pengambilan keputusan maka bisa dipastikan angka kesakitan akan selalu tinggi. Salah program kesehatan masyaraka yang tidak berjalan dengan baik adalah Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas).
Perkesmas dewasa ini dianggap tidak begitu penting dibanding dengan program untuk penanganan angka kematian ibu dan anak, masalah gizi dan penanganan penyakit menular. Perkesmas tidak lagi dijadikan sebagai upaya pelayanan dasar puskesmas dan menjadi program tambahan. Itu berarti perkesmas boleh dilakukan boleh juga tidak oleh puskesmas.
Dilihat dari ketenagaan yang ada di Puskesmas sebagian besar adalah tenaga keperawatan. Salah satu tugas pokok dan fungsi perawat di Puskesmas adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan masyarakat, keluarga, dan individu. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kondisi sekarang ini cenderung kebanyakan perawat di puskesmas belum melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan benar. Sebagian besar kepala puskesmas atau pembuat kebijakan kesehatan di tingkat kabupaten maupun pusat sepenuhnya belum mengerti mengenai perkesmas secara benar.
Mereka beranggapan bahwa setiap kunjungan rumah sudah merupakan perkesmas. Sebenarnya perkesmas tidak sesederhanan seperti itu. Perawatan kesehatan masyarakat itu merupakan serangkaian kegiatan keperawatan dengan menggunakan asuhan keperawatan melalui proses pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan.
Tujuan dari perkesmas ini adalah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatas masalah kesehatannya dalam kegiatan promotif, preventif, tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Sasaran kegiatan ini adalah individu, keluarga/kelompok/masyarakat dengan prioritas sasaran adalah keluarga rawan terhadap masalah kesehatan (Risiko tinggi, rentan). Bisa disimpulkan bahwa kemandirian masyarakat terhadap kesehatan sepenuhnya tanggung jawab perawat. Baik individu, keluarga, kelompok masyarakat sebelum sakit, sesudah sakit dan supaya tidak jatuh lagi pada kondisi sakit adalah peran perawat. Apabila perkesmas ini benar – benar berjalan maka tidak mungkin akan terjadi adanya kondisi KLB, Angka kematian Ibu yang tingi, serta angka gizi buruk yang besar.
Hal ini dikarenakan setiap individu, keluarga dan masyarakat sudah sadar akan pentingnya kesehatan itu sendiri Setelah kita mengetahui apa itu perkesmas pertanyaan yang muncul adalah Apakah mungkin perkesmas dibebankan ke tenaga kesehatan lain seperti bidan dll Sedangkan mereka tidak mendapat ilmu yang harus diterapkan?.
Pertanyaan lain yang muncul adalah mengapa perawat di puskesmas sebagian besar ahli dibidang keilmuan lain (bagian farmasi, menjadi tenaga Kesling, Gizi atau bahkan menjadi bendahara) sedang untuk perkesmas masih sedikit yang melakukan? Siapa yang perlu disalahkan perawat itu sendiri, sistem atau yang lainnya?!. Bagaimanan mungkin mereka memperoleh nilai kredit untuk kenaikan jabatan fungsional yang seluruhnya berhubungan dengan perkesmas?.
Kondisi demikianlah yang perlu untuk dikaji kembali mengenai adanya pembinaan tenaga perawat untuk meningkatkan kinerja mereka serta adanya kerjasama dengan organisasi profesi (PPNI) di wilayah masing – masing. Disamping itu perlu adanya kesadaran dari perawat itu sendiri, puskesmas dan pembuat kebijakan untuk menegakkan kembali peran perawat sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Sudah seharusnya di Dinas kesehatan Kabupaten dan propinsi maupun pusat memiliki tenaga adminkes keperawatan yang bertugas untuk membina dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kinerja perawat puskesmas. Jika tidak dimulai dari kesadaran bersama bisa dipastikan peran perawat sesuai dengan tugasnya tidak akan pernah terwujud

Jumat, 27 Mei 2011

THE ROLE OF NURSE TO PROMOTE PATIENT SAFETY

HIPERCCI JATIM akan menyelenggarakan Simposium Keperawatan Pasien Sakit Kritis 4 dgn tema THE ROLE OF NURSE TO PROMOTE PATIENT SAFETY, dgn materi:
1. Standart Kompetensi of intensive care nurse
2. How to be a profesional nurse
3. Medication safety
4. The role of nurses in medication management focus of emergency drug
5. The role of nurses in medication management focus of antibiotik drug
6. Septik shock
7. How to avoid patient icu readmission
8. The role of nurses in management of fluid therapy
Simposium diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2011 tempat GDC/PDT ( GEDUNG DIAGNOSTIK CENTER/ PUSAT DIAGNOSTIK TERPADU) lantai 7 RSUD DR. SOETOMO SURABAYA.
BIAYA SEMINAR Rp 350000,- setelah tanggal 10 Juni Rp 400000,-
CARA PEMBAYARAN;
1. Langsung sekretariat ICU GBPTBLantai 2 RSUD DR. SOETOMO SURABAYA.
2. Hub ICU GBPTBLantai 2 RSUD DR. SOETOMO SURABAYA 031-5501340 ext 4205-4210.

MENGAPA UU KEPERAWATAN TIDAK DI DALAM UU TENAGA KESEHATAN…?

Sikap PPNI terhadap RUU Tenaga Kesehatan (RUU NAKES) adalah sangat mendukung selama mengatur hal-hal umum terkait Tenaga Kesehatan di Indonesia , antara lain:
Hubungan Industrial Tenaga Kesehatan
Distribusi Tenaga Kesehatan
Hubungan tata kerja antar tenaga kesehatan dalam pelayanan Kesehatan

Pengaturan masing-masing Profesi Tenaga Kesehatan diatur dalam Undang-Undang tersendiri, khususnya Perawat yaitu dalam Undang-Undang Keperawatan.
UU NAKES tidak dapat mencakup seluruh aspek pengaturan Profesi Perawat yang saat ini sangat mendesak, belajar dari UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan bahwa UU tersebut mengatur hal yang pokok dan pelaksanaanya oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang selama 17 tahun hanya terbit 5 PP , Keperawatan tidak akan mungkin diatur seluruhnya pada UU NAKES sehingga diatur dengan PP, Pengaturan dengan PP tidak setara dengan banyak Negara missal pada MRA, belum adanya Nursing Regulatory Autirity Body (Council) maka untuk sementara pada Kementerian Kesehatan, dan negara lain yang belum memiliki UU Keperawtan adalah Vietnam dan Laos. Dokter dan dokter gigi dalam MRA telah mempunyai Undang-undang dalam pengaturannya sehingga tidak masalah.
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 21 ayat (3) yang berbunyi “Untuk Tenaga Kesehatan ditur dengan undang-undang” makna kata “dengan” berarti spesifik diatur dengan masing-masing undang-undang.
Profesi Perawat telah mempersiapkan bebrapa hal untuk Implementasi UU Keperawatan bila segera disyahkan antara lain : Komite Nasional Uji Kompetensi Perawat dengan segala kelengkapannya dan pedoman pelaksanaannya, sudah ada 14 Kolegium Keperawatan, Pedoman Praktik mandiri Perawat, Kode Etik dan mekanisme penanagan maslah etik Keperawatan, Pedoman sertifikasi (Continuing Nursing Education), standar Kompetensi, standar Praktik dengan mengacu pada Frame work International Council of Nursing, dan lainnya.
Bila kita bandingkan dengan Negara-negara lain baik yang maju maupun Berkembang, telah ada Undang-Udang Keperawatan (nursing act), dan umumnya Profesi yang harus diatur dengan Undang-undang tersendiri adalah antara lain : dokter (medical act), Dokter gigi (dentist act), Farmasi (farmacies Act), dan Perawat (Nursing Act) atau ada juga (Nursing and Midwifery Act), jadi bukan hal yang tidak lurah adanya UU Keperawatan.
Kekhawatiran terkait dengan besarnya biaya untuk mengesahkan UU Keperawatan, sangatlah kecil bila dibandingkan dengan ; kualitas pelayanan Perawat yang akan diterima masyarakat dengan perawat diatur dengan UU; ketersediaan akses pelayanan yang bertanggung jawab dan rasional lebih dapat dirasakan; penghargaan yang didapatkan para perawat-perawat dengan standar yang sama dengan Negara-negara yang telah ada pengaturan keperawatan yang setara dengan Negara lain dan ini sangat bernilai ekonomis untuk bangsa.
RUU Keperawatan pada awal perkembangannya bersama-sama dengan Profesi Kedokteran, saat ini telah ada UU Praktik Kedokteran, lalau apakah dengan adanya UU NAKES Profesi dokter akan diatur juga didalamnya, rasanya tidak akan mungkin, jadi perawat seharusnya pulalah ada UU Keperawatan.
Dari Proses yang panjang baik itu oleh para perawat yang tergabung dalam organisasi profesi, ataupun oleh Pemerintah (kementerian Kesehatan) telah dapat meyakinkan Legislatif bahwa Urgensi UU Keperawatan adalah hal yang seharusnya. Hal ini dengan telah masukknya RUU Keperawatan pada Prolegnas DPR RI tahun 2009 no 26 dan Prolegnas tahun 2010 no 18 serta Prioritas 2 usulan RUU DPD RI, sedangkan RUU NAKES belum masuk dalam Prolegnas, jadi tidak seharusnya keberadaan RUU NAKES menghilangkan RUU Keperawatan, keduanya dapat berjalan saling melengkapi.
Dengan Sistem Otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia saat ini maka Pengaturan Perawat di Tingkat UU adalah sesuatu yang dapat mengikat seluruh stake holder, bila pengaturan masih dibawah UU maka akan terjadi penafsiran-penafsiran dari Pemerintah daerah dan Boleh jadi aka nada standar yang berbeda bagi perawat Indonesia sesuai dengan persepsi pemerintah daerah masing-masing, ini sangat berbahaya.

Mengenai Urgensi RUU Keperawatan seperti telah di diskusikan dalam banyak kesempatan dan menjadi dasar diterimanya RUU Keperawatan dalam Prolegnas Inisiatif DPR selain seperti No 2 diatas antara lain ;

Secara Filosofis : Keperawatan merupakan Bagian integral dari Pelayanan Kesehatan harus pula dijamin kualitas Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat,dan menjadi Kewajiban Negara untuk mengupayakannya. Keperawatan sebagai Profesi yang diberikan pengakuan masyarakat mempunyai kewajiban Peran untuk pula memberikan Kewajiban Perannya sebagai Profesi kepada Masyarakat secara Professional dan Bertanggung jawab sehingga Profesi Perawat haruslah dikembangkan dan dan didaya gunakan sepenuhnya untuk memenuhi Hak masyarakat.

Secara Yuridis ; Amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat (1): “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Keperawatan tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Kesehatan sesuai dengan Konstitusi Negara adalah Hak Asasi Masyarakat, sehingga ada kewajiban Yuridis Negara menyediakan pengaturan yang kuat untuk menjamin pelayanan Kesehatan masyarakat dengan Professionalitas dan akuntabilitas Perawat. Untuk mewujudkan Profesional dan mampu bertanggung jawab serta bertanggung gugat sudah selayaknya pula Negara membuat pengaturan yang kuat untuk melindungi masyarakat dari Pelayanan Perawat yang buruk dan tidak bertanggung jawab, yang sekaligus melindungi para pemberi pelayanan pada masyarakat.

UU No 36 tahun 2009 pasal 63 ayat (1),(2),(3),(4). Menerangkan bahwa keperawatan adalah sebuah entitas yang telah diakui secara Yuridis, dalam hal penyembuhan, pemulihan dan pengendalian memerlukan Perawatan yang berdasrkan ilmu Keperawatan, tentu memerlukan pengaturan lebih lanjut secara teknis Profesi dalam bentuk UU keperawatan.

Secara Sosiologis ; Perawat adalah Tanaga Kesehatan yang tebesar dari seluruh NAKES, dengan Karakteristik pelayanan yang Kontinyu, sangat dekat dan lama dengan pasien dan cakupan paraktik yang Luas pada berbagai aspek, dan rentan terhadap Kriminalisasi Profesi karena menjalankan tugas tidak terbatas pada kondisi Geografi dan strata social ekonomi serta berada pada semua seting pelayanankesehatan, namun disisi lain tidak ada pengaturan yang kuat untuk menjamin kompetensi dan kualitas asuhan yang diberikan dan perlindungan dalam melayani masyarakat, sehingga perlu pengaturan yang komplek.

Kasus Perawat Misran di Kalimantan Timur adalah fakta tak terbantahkan betapa akan terancamnya Pelayanan kesehatan pada daerah-daerah Terpencil bila Perawat selalui dihantui olehResiko maslah Hukum karena Perawat Tidak ada Pengaturan oleh UU, mengingat kasus Misran sebenarnya telah banyak Pembelaan dari regulasi-regulasi yang ada dibawah UU Kesehatan, namun fakta hokum tetap Misran di Persalahkan. Perawat akan merasa tenang melayani masyarakat bila ada jaminan Perlindungan jaminan Pelrlindungan itu adalah Undang-Undang Keperawatan yang juga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dalam Pelayanan kesehatan khususnya Perawat.



Banyak fenomena perilaku sehat yang ditunjukkan masyarakat seperti kasus “Ponari” dan lainnya, menggambarkan betapa pelayanan Kesehatan yang rasional dan bertanggung jawab tidak didapatkan sepenuhnya oleh masyarakat dikarenakan selain budaya dan keyakinan juga terbatasnya akses pelayanan kesehatan, dimana perawat kurang difungsikan sebagaimana mestinya, tidak diperbolehkan praktik mandiri sementara masyarakat masih membutuhkan.



Kondisi Global sedikit banyak mempengaruhi tuntutan Global terhadap ketersediaan Perawat dan Pelayanan keperawatan yang disetarakandengan Negara-negara lain. Pasar kerja perawat keluar negeri sangat terbuka luas dan Negara-negara maju membutuhkan ribuahtenaga Perawat, kondisi saat ini dimana Indonesia belum mempunyai system keperawatan yang setara “Registered Nurse system” banyak Negara yang mempekerjakan Perawat Indonesia harus menurunkan level Kompetensi (down grade)

Bila dibandingkan dengan di Indonesia ; contoh di jepang Perawat Indonesia Hanya menjadi Candidate nurse,di timur tengah banyak perawat Indonesia selalu bekerja dibawah supervise perawat Philipina, India, Thailand yang mereka telah mempunyai system Keperawatan berdasarkan UU keperawatan.

Secara Teknis Keperawtan ; Keperawatan sesuai dengan Konvensi Nasional pada Lokakarya Nasional dengan seluruh Stakeholder Keperawtan telah menyepakati bahwa Perawat adalah Profesi dengan konsekuensinya adanya Pelayanan yang Profesional dan Profesi perawat dikembangkan melalui Pendidikan Tinggi. Hingga saat ini telah ada Pendidikan pada Strata 3 Keperawatan namun, belum dapat ditentukan Peran, Fungsi dan tanggung jawab masing-masing level dalam Pelayanan Kesehatan.

Pelayanan Kesehatan yang mengharuskan adanya kerjasama multi profesi juga memerlukan pengaturan terhadap batas-batas kewenangan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan Perawat dalam melayani klien, dan bagaimana tugas limpah dari Profesi lain kepada perawat, dari perawat kepada Profesi lain maupun pendelegasian dari perawat kepada perawat dibawahnya ataupun Rujukan keperawatan memerlukan Pengaturan tersendiri sesuai dengan keunikan profesi perawat.

Sesuai dengan pasal 63 UU No. 36 tahun 2009, yang merupakan dasar pelayanan kesehatan dari aspek penyembuhan, pemulihan dan pengendalian, saat ini belum dirasakan sepenuhnya pelayanan perawat terutama di Rumah Sakit, Puskesmas atau di Institusi Kesehatan. Karena Manajemen dan masyarakat masih menganggap pelayanan Keperawatan adalah sepenuhnya Pelayanan Perpanjangan tangan profesi Kedoteran, padahal secara keilmuan seharusnya Pelayanan keperawatan diakui sebagai penentu keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien, sebagai contoh bila sesorang hanya memerlukan Pelayanan dokter maka pasien-pasien yang dioperasi setelah dilakukan operasi seharusnya langsung bias pulang, tetapi karena harus memerlukan pelayanan keperawatanmaka pasien harus menginap dan dilayani 24 jam oleh perawat.



Citra Perawat di Indonesia yang belum begitu membanggakan seperti di Negara lain, dimana dinegara lain Profesi Perawat sangat dihargai baik secara pengakuan maupun secara materiil, namun di Indonesia Profesi perawat belum dapat membanggaakan, kekhawatiran akan menurunnya minat menjadi Perawat harus dapat diselesaikan dengan adanya UU Keperawatan yang dapat memberikan Pengakuan dan Penghargaan yang tinggi untuk Profesi Perawat.

Perkembangan terakhir RUU Keperawatan :

RDPU Komisi IX DPR RI dengan 4 Profesi ; PPNI, IBI, IAKMI dan HIMPSY tentang UU NAKES terkuak informasi bahwasanya UU NAKES akan menjadi PRioritas 2010 menggantikan RUU keperawatan yang telah lebih dahulu masuk Prolegnas 2010.



Diperkuat dengan Usulan Baleg yang dibacakan oleh Juru Bicara Baleg pada Sidang Paripurna tanggal 12 Oktober 2010 bahwa Baleg mengusukan untuk merivisi Prolegnas 2010 dengan memprioritaskan RUU NAKES menggantikan RUU Keperawatan.

PAda saat yang sama perwakilan perwakilan perawat dan mahasiswa perawat di DKI dan Banten mengadakan aksi damai untuk menyuarakan agar Sidang paripurna tidak mencabut RUU keperawatan dari Prolegnas dan tetap harus dibahas dan dan disyahkan.

Hasil Sidang paripurna menunda keputusan atas usul Baleg untuk memasukkan RUU NAKES menggantikan RUU Keperawatan, artinya saat ini RUU Keperawatan masih menjadi Prioritas di Prolegnas, namun hal ini sangat rawan karena sebagian anggota Dewan ada yang berupaya meniadakan RUU Keperawatan. Sehingga Perawat Indonesia Perlu merapatkan barisan dan untuk tetap mempertahankan upaya Profesi yang telah berjalan puluhan tahun yaitu UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN.



Sumber. Tim RUU PP PPNI, Diteruskan Oleh Dirjen Kastrad dan Advokasi ILMIKI Periode 2009-2011

Kamis, 05 Mei 2011

SEMINAR POLITIK DAN HUKUM RUU KEPERAWATAN

PROGRESS REPORT



Ironis bangsaku,,,,sepertiku ingin tertidur memejamkan mata saja daripada memandang keabsurdan negri ini..tangan tangan yang mengelolah kebijakan di negri ini seolah tak pernah melirik besarnya profesi ini… kelu, tapi mimpi itu membuatku terus melangkah di jalan ini…Bismillah

Lagi, sosialisasi-sosialisasi RUU digencarkan diberbagai waktu dan lini oleh komunitas berwarna.. Seakan tak henti hentinya menggaung, kali ini sosialisasi dikemas dalam bentuk pencerdasan politik dan hukum terkait RUU Keperawatan oleh mahasiswa keperawatan Sumatera Selatan (ILMIKI Wil 2 Bekerajasama dengan IMIKS), Sabtu 30 April 2011. Bertempat di aula DPRD Provinsi Sumsel, Seminar politik dan hukum RUU Keperawatan ini mengambil tema” Mengungkap Fakta dibalik RUU Keperawatan” dengan pembicara pertama ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc dan Pembicara kedua bapak Fahmi Yoesmar, S.H.,MS

Materi pertama diawali oleh Prof. Yani dengan menyampaikan materi mengenai Bargaining Position RUU Keperawatan berikut analisis SWOTnya. Prof Yani mengawali pembicaraan dengan menggaungkan bahwa RUU adalah harga mati ! Seakan menghipnotis kefokusan peserta, beliau memflash back kembali perjuangan RUU Keperawatan, dari mulai diakuinya keperawatan sebagai profesi ditahun 1983 sampai posisi RUU Keperawatan di prolegnas tahun 2011 ini. Beliau juga menyinggung kasus Misran yang menjadi korban kebijakan yang tidak memihak di Kuala Samboja, Kutai Negara, Kalimantan Timur. Seorang mantri desa sekaligus kepala Puskesmas pembantu yang sudah 18 tahun mengabdi di wilayah terpencil tersebut, harus dipenjara 3 bulan karena memberikan resep obat kepada masyarakat. Padahal, kondisi saat itu tidak ada dokter dan apoteker untuk meresep, sementara apotek juga terletak jauh sekitar 25 km jalan sungai dari tempat pustunya.

Kebijakan mana lagi yang akan memihak pada kita, kalaupun UU Kesehatan yang notabene seharusnya memayungi tenaga kesehatan termasuk salah satunya perawat, malah menjadi boomerang bagi profesi ini. Inilah sekiraya bermain badminton dilapangan volley (mengutip salah satu statement sambutan Ketum PPNI Provinsi Sumsel), yang menjadikan profesi ini menjadi serba salah dalam bertindak. Ingin melempar jauh akan kena bola keluar, mau melempar dekat akan kena smash, menyedihkan L. Beliau juga menceritakan perihal pertemuan beliau saat di komisi IX. Mengecewakan, bahwa saat suasana sidang, bukan seperti suara wakil rakyat terdengar, tapi suara aspirasi dokter-dokter. Suasana sidang resmi seakan disulap seperti suasana di suatu rumah sakit. Padahal seharusnya para wakil rakyat harus menempatkan diri mereka menjadi suara rakyat saat menyampaikan pendapat, bukan suara-suara pribadi. Diakhir materi, beliau menyampaikan tentang perkembangan terakhir RUU Keperawatan serta draft terbaru RUU yang belum dipublish karena masih dalam proses pematangan. Saat ini RUU Keperawatan sudah menjadi agenda prioritas 2011 dengan urutan ke 18 di prolegnas. Selain itu, sudah terbentuk panja RUUK dengan pengajuan usul dari tiap fraksi di komisi IX serta satu yang mewakili secara umum dari komisi IX. Jadi, akan ada draft usulan RUUK versi fraksi dan komisi IX. Saat ini sudah ada dua usulan draft dari PDIP dan Golkar, sementara PKS akan menyusul dalam waktu dekat ini, dan fraksi lain masih dalam proses.

Selanjutnya, materi kedua disampaikan oleh bapak Fahmi Yoesmar, SH. MS selaku pakar Tata Negara Unsri mengenai RUU Keperawatan dalam Tinjauan Hukum Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa hukum adalah produk politik, politik dan hukum adalah suatu yang interdeminan. Politik tanpa hukum adalah dzalim, dan hukum tanpa politik akan lumpuh. Beliau juga menyinggung karakter produk hukum yang dihasilkan pemerintah yang bisa saja mencerminkan harapan dari masyarakat sehingga membahas secara detail tentang kebutuhan masyarakat atau sebuah profesi tersebut, atau bisa jadi akan berupa produk hukum ortodaks yang isinya lebih mencerminkan visi elit politik tertentu sehingga tidak dibahas secara detail disebuah peraturan.

Diakhir pembicaraan beliau menyampaikan mengenai proses pembuatan UU, dari penyerapan aspirasi dari masyarakat sampai pada melakukan uji publik dengan melibatkan pihak yang berkepentingan. Point terakhir inilah yang sering menjadi koreksian terhadap pemerintah dan DPR yang sering tidak melibatkan profesi saat melakukan uji publik atau penentuan kebijakan. Padahal, sebagai sebuah profesi mempunyai kewenangan untuk mengatur profesinya sendiri yang tentunya kewenangan yang bertanggung jawab

Selanjutnya, acara yang dimoderatori oleh Weni Widya Shari, Dirjend Kastrad & Advokasi ILMIKI tersebut dibuka dengan 2 sesi pertanyaan. Dengan atmosfer yang masih terbakar, peserta berebut bertanya kepada kedua pembicara. Pembicaraan yang menggelitik diajukan oleh salah satu peserta forum, pertanyaan yang hampir dipertanyakan di setiap forum diskusi RUU Keperawatan. Peserta menanyakan mengapa sampai saat ini RUU Keperawatan belum disyahkan padahal ide pembuatannya sudah dari tahun 1989, apakah ada peluang untuk tahun ini ?? Prof Yani menimpali, bahwa tidak disyah-syahkannya RUU sampai saat ini karena masih ada pihak yang menghambat terhadap proses pengesahannya. Mereka tidak nyaman dan aman karena merasa terancam. Proses adaptasi terhadap perbaikan sistem yang akan diajukan oleh profesi keperawatan ( red:RUU Keperawatan) akan membutuhkan waktu yang panjang sehingga mengganggu kenyamanan mereka. Akan tetapi, yang tidak mendukung di komisi IX ini hanya oknum dan beberapa fraksi, karena IDI secara tertulis sebenarnya sudah mendukung terhadap peengesahan RUU Keperawatan ini. Selain itu, ketika disyahkannya RUU Keperawatan ini, akan terjadi perubahan pola atasan dan bawahan menjadi pola kemitraan. Ini yang menyebabkan mereka belum siap dan bertentangan. Menjawab pertanyaan yang sama, pak Fahhmi menguatkan bahwa sebenarnya bisa saja RUU Keperawatan disyahkan dalam waktu dekat. Hal ini, tergantung political will (kemauan politik) pemerintah dan DPR untuk mengatur segera suatu kebijakan. Apalagi pernah terjadi dizaman Pak Habibie dalam 1 tahun itu bisa menggolkan sebanyak 67 UU.

Keingintahuan peserta semakin besar terkait draft usulan versi fraksi dan komisi IX, karena memungkinkan atau tidak usulan draft yang diusulkan oleh mereka akan menjawab kebutuhan masyarakat dan profesi. Mengingat, mereka tidak paham seutuhnya terhadap profesi ini. Ditakutkan usulan draft tersebut hanya menambah rentetan daftar panjang kebingungan-kebingungan di profesi ini serta menunda lagi proses pengesahan RUU Keperawatan ini. Dengan keyakinannya, prof.Yani menjelaskan bahwa dalam pemberian kewenangan terhadap fraksi dan komisi untuk mengusulkan draft RUU Keperawatan, Vocal point dalam hal ini PPNI, akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai hal yang mutlak dan tidak untuk ada di draft RUU Keperawatan. Jadi, tetap ada pengkawalan dalam penyusunan draftnya sampai akhirnya dijadikan sebagai usulan.

Akhirnya seminar ditutup dengan penandatanganan sejuta dukungan terhadap pengesahan RUU Keperawatan diatas kain putih 4 meter. Penandatanganan diawali dengan tanda tangan oleh Prof.Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N. Sc yang merupakan mantan Ketua Umum PPNI Pusat ini, dilanjutkan oleh tanda tangan pembicara kedua serta seluruh peserta seminar. Peserta semua antusias melakukan aksi tanda tangan ini. Aksi penandatanganan terhadap sejuta dukungan pengesahan RUU Keperawatan ini akan dilanjutkan saat long march mahasiswa di moment International Nursing Day 2011. Selanjutnya spanduk dukungan ini akan dipasang di pagar DPR RI pada 12 Mei 2011 mendatang dengan menggabungkan seluruh tanda tangan elemen keperawatan dan masyarakat se-Indonesia..

Kawan, Untuk dapat memberi kita harus peduli, untuk peduli kita harus mencintai, mencintai secara total apa yang ingin kita cintai…maka disana akan lahir kepedulian, akan tumbuh pengorbanan. Pengorbanan untuk yang ingin kita miliki, tak terkecuali darah segar ini…untuk sesuatu yang kita cintai. Begitupun dengan profesi ini. Cintai, Peduli, maka kita akan sanggup berkorban untuk profesi ini tanpa pamrih.

Untukmu jiwa-jiwa yang haus akan kebenaran, yang rindu akan keadilan, kami ketuk hati nuranimu untuk bergabung dibarisan ini. Wujudkan mimpi profesi ini sebagai abdi diri di bangsa ini. Bergabunglah !!!! kitalah sang perubah ! Semoga Allah mempermudah segalanya. Amin

Palembang, 30 April 2011

Weni Widya Shari

Dirjend Kastrad & Advokasi ILMIKI 2009-2011/Mahasiswa Profesi Unsri

Sabtu, 16 April 2011

PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN INSTRUMEN BEDAH

KETENTUAN UMUM PADA INSTRUMEN BEDAH
JENIS INSTRUMEN :
INSTRUMEN POTONG DAN NON INSTRUMEN POTONG.
INSTRUMEN POTONG misalnya gunting, scalpel, chisel. Sedangkan NON INSTRUMEN POTONG misalnya clamps, forceps, hooks.

INSTRUMEN POTONG harus :
- anti karat
- pemotongan yang tepat (precise)
- kekerasan tinggi
- untuk pemakaian jangka panjang
- permukaan potong tahan lama

NON INSTRUMEN POTONG harus :
- Anti karat
- elastisitas tinggi
- stabilitas tinggi
- kekerasan pegas konstan

Kamis, 14 April 2011

GAJI PERAWAT (2)

Lanjutan dari tulisan GAJI PERAWAT (1)
Data gaji dinyatakan dalam :
1. Total gaji kotor
2. Total penghasilan kotor
3. Total penghasilan bersih
4. Total pendapatan

MACAM-MACAM INSENTIF
1. BONUS
yaitu suatu bentuk insentif yang sangat umum diberikan perusahaan dan dibayarkan tahunan atau setengah tahunan.
2. KOMISI
yaitu suatu bentuk insentif yang biasa diberikan kepada karyawan bagian penjualan atau bagian penagihan.
3. PIECE WORK
yaitu insentif yang diberikan untuk unit yang dihasilkan oleh karyawan.
4. STANDARD HOUR PLAN
yaitu insentif yang diberikan berdasarkan prosentase dari premi yang sama, bila hasilnya melampaui standar.
5. MERIT PAY
yaitu sejumlah uang yang ditambahkan pada gaji, berdasarkan prestasi kerja.
6. SCANLON PLAN
yaitu memberi perangsang berupa uang, dengan tujuan pengurangan biaya dan peningkatan efisiensi kerja.
7. PROFIT SHARING
yaitu hampir setiap karyawan menerima suatu bagian dari keuntungan perusahaan.
8. STOCK OPTION
yaitu insentif berupa pembagian deviden atas dasar prestasi kelompok/organisasi.

TUJUAN PEMBERIAN INSENTIF
1. Output meningkat.
2. Waktu produksi berkurang / menjadi cepat.
3. Beban kerja meningkat.
4. Sistem lebih sempurna.
5. Mutu meningkat.
6. Penggunaan bahan baku lebih efisien.
7. Efisiensi meningkat
8. Pelayanan meningkat
9. Kebersihan meningkat
10. Keamanan kerja meningkat
11. Pengawasan lebih efektif
12. Absensi berkurang
13. Ongkos produksi berkurang, dsb.

KEGAGALAN SISTEM INSENTIF
1. Standar dirasa tidak adil
2. Kekhawatiran bahwa kalau berprestasi jauh melebihi standar, maka standarnya akan dinaikkan.
3. Hambatan dari sekelompok orang.
4. Karyawan tidak paham pedoman insentif
5. Imbalan uang dirasa kurang penting bagi karyawan.

MERIT PAY
HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN :
1. Sistem Penilaian Karya (SPK)harus baik / adil. Validitas SPK sangat
mempengaruhi keberhasilan Sistem Merit.
2. Atasan cenderung mengeliminasi / mengurangi perbedaan prestasi anak buahnya
pada waktu menghitung kenaikan merit.
3. Kecenderungan setiap karyawan merasa bahwa prestasinya di atas rata-rata.
4. Biaya gaji karyawan meningkat.

KOMISI LEBIH BESAR KALAU :
1. Persuasif tinggi
2. Produksi kualitas rendah
3. Persaingan ketat
4. Penjualan besar-besaran

KOMISI LEBIH KECIL KALAU :
1. Hanya order taking
2. Perusahaan / produk terkenal
3. Didukung promosi
4. Sasaran >>> Customer Service.

Selasa, 12 April 2011

GAJI PERAWAT (1)

Teman-teman perawat di tanah air sering mengeluh gajinya rendah. Kesejahteraan tidak diperhatikan. Terlepas dari predikat perawat sebagai pekerja atau bukan, setiap pekerja tentu mengharapkan gaji yang besar. Tapi pengusaha, selalu pengen memberikan gaji yang minimal. Bagaimana sebenarnya perhitungan gaji ? Semoga tulisan berikut dapat memberikan sedikit pencerahan.

SURVEI PENGGAJIAN
survei penggajian adalah suatu proyek survei tentang sistem penggajian dan tingkat gaji yang sedang berlaku di sejumlah perusahaan, guna memperoleh gambaran yang aktual tentang iklim penggajian, untuk selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan, sistem dan tingkat gaji di perusahaan-perusahaan peserta survei.

APA YANG DISURVEI ?
Pertama, Data Gaji yang terdiri dari :
- Gaji pokok
- Tunjangan -tunjangan (fringe benefit)
- Insentif (misalnya : bonus, komisi)

Kedua, Data Remunerasi
Yaitu informasi yang berhubungan dengan kebijakan perusahaan dalam memberikan imbal jasa pada karyawan, seperti misalnya : kebijakan bonus, komisi, insentif, tunjangan lembur, tunjangan cuti, tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua dan sebagainya.

MANFAAT SURVEI
1. Mengetahui tingkat gaji yang pada suatu saat berlaku di pasaran untuk setiap jabatan.
- pada umumnya (all industries)
- industri tertentu, misalnya :
* manufaktur, perdagangan atau jasa (pada survei penggajian umum)
* perbankan, periklanan, konstruksi dll (pada survei penggajian khusus
industri)
2. Mengetahui data yang mutakhir tentang struktur balas jasa pada umumnya serta kecenderungan perkembangannya.
3. Menciptakan struktur penggajian yang memadai untuk dapat menarik dan mempertahankan karyawan yang potensial bagi perusahaan.
PROSEDUR / CARA MELAKUKAN SURVEI PENGGAJIAN
1. Mengundang calon peserta
2. Membentuk tim khusus
3. Mengembangkan bahan survei
4. Membagikan bahan survei
5. Mengumpulkan data
6. Mengolah data
7. Menyajikan / Menyusun laporan

DAFTAR PERTANYAAN MENGENAI SISTEM ATAU KEBIJAKAN IMBAL JASA
A. PERSYARATAN DAN KONDISI KERJA
1. Jumlah jam dan hari kerja seminggu
2. Kerja beregu
3. Lembur
4. Cuti
5. Penghargaan bagi karyawan yang sudah lama bekerja
6. Ketentuan tentang PHK (oleh perusahaan atau atas permintaan karyawan)

B. KEBIJAKAN YANG MENYANGKUT KEUANGAN
1. Kebijakan gaji
2. Kebijakan bonus
3. Kebijakan komisi

C. MACAM-MACAM FASILITAS DAN TUNJANGAN
1. Perumahan
2. Transportasi
3. Kesehatan
4. Jabatan rangkap
5. Makan siang
6. Kebijakan pensiun
7. Asuransi
8. Tunjangan mutasi dan pelatihan
9. Produk perusahaan
10. Fasilitas tambahan

D. GAJI PERMULAAN DAN PERCOBAAN
1. Gaji permulaan
2. Gaji selama masa percobaan

E. ROTASI KARYAWAN

Rabu, 30 Maret 2011

Sekolah Mahal, Cari Kerja Susah, Begitu Dapat Bayarannya Rendah

Liku-liku kehidupan para perawat di Indonesia terbilang unik.
Banyak remaja yang berbondong-bondong mendaftar ke perguruan tinggi keperawatan. Lantaran kemauan sendiri, disuruh orang tua, karena tidak lulus di perguruan tinggi favorit dsb. Apapun latar belakangnya, mereka semua berharap gampang cari kerja setelah lulus pendidikan perawat.
Walaupun biaya kuliahnya mahal, tetap juga mereka berebutan untuk sekolah di Akper atau di STIKES.
Berbeda dengan remaja yang kuliah di luar bidang keperawatan, para mahasiswa keperawatan harus rela "membuang kesenangan pribadi". Di saat orang lain tidur lelap, mahasiswa keperawatan harus rela begadang. Ketika orang lain hidup nyaman, mahasiswa perawat harus rela bersahabat dengan orang sakit dan aneka penyakit. Yang bukan tidak mustahil sejak itu dia kecipratan bibit-bibit penyakit berbahaya.
Tapi, ketika lulus pendidikan, ternyata apa yang mereka dapatkan ????
Semuanya bertolak belakang dengan harapan dan pengorbanan mereka lakukan. Cari kerja susahnya minta ampun.
Begitu dapat kerja, waduuuuh upahnya minta juga ampun. Rendah !!! Jauh di bawah UMR.

Senin, 28 Maret 2011

Persyaratan Perpanjangan Izin Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)

1. Foto Copy Izin LPKS yang masih berlaku.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.

Lembaga Pelatihan Kerja

Syarat mendapatkan Izin Baru mendirikan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) :
1. Foto Copy Akte Pendirian dan / atau Akte Perubahan Sebagai Badan Hukum dan Tanda Bukti Pengesahan dari Instansi yang berwenang.
2. Daftar Nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup Penanggung Jawab Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS).
3. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Sarana, Prasarana dan Fasilitas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) Tahun sesuai dengan program Pelatihan yang akan diselenggarakan.
4. Program Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi.
5. Profile LPKS yang meliputi antara lain Struktur Organisasi, Alamat, Telephone dan Faximile.
6. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.
Persyaratan Perpanjangan Izin Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) :
1. Foto Copy Izin LPKS yang masih berlaku.
2. Foto Copy Surat Tanda Bukti Kepemilikan atau Penguasaan Prasarana dan Fasiltas Pelatihan Kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (Tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan.
3. Realisasi Program Pelatihan Kerja yang telah dilaksanakan.
4. Daftar Instruktur dan Tenaga Kepelatihan.

Larangan Kuliah Jarak Jauh

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk ke sekian kalinya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 595/D5.1/2007 tertanggal 27 Februari 2007. Inti dari surat edaran itu ialah pelaksanaan perkuliahan jarak jauh oleh perguruan tinggi mana pun—negeri atau swasta, dalam negeri atau luar negeri—tak dibenarkan atau dilarang, kecuali yang dilaksanakan oleh Universitas Terbuka (UT) yang memang disediakan dan dilengkapi fasilitas untuk menyelenggarakan kuliah jarak jauh.
Pelarangan serupa sudah lama dilakukan oleh Dirjen Dikti, tetapi tak dihiraukan oleh perguruan tinggi yang melaksanakannya. Bersamaan dengan itu, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X mengeluarkan Surat Larangan Kuliah Kelas Jauh dan Perkuliahan Sabtu-Ahad.
Penjaminan Mutu
Yang dimaksud dengan pelarangan ini, sebagai contoh, Perguruan Tinggi (universitas, institut, dan sebagainya) XYZ yang berkampus induk di Jawa (entah di Jakarta, Semarang, Surabaya, dll.), di Sumatera (entah di Aceh, , Pekanbaru, Padang, dll.), di Sulawesi (entah di Gorontalo, Manado, Ujungpandang, dll.), atau di Malaysia (entah di Kualalumpur, Kedah, Johor Baru, dll.) membuka cabangnya atau mengadakan kuliah (boleh jadi di hotel, ruko, dan sebagainya) dengan membuka satu atau beberapa jurusan di Tanjungpinang, Batam, Tanjungbalai Karimun, dan sebagainya. Praktik perkuliahan seperti itulah yang dilarang atau jelas ilegal sesuai dengan surat edaran Dirjen Dikti dan memang tak pernah ada izinnya dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Jadi, pelarangan itu bukan baru terjadi sejak terbitnya surat edaran Dirjen Dikti, Depdiknas terbaru (2007) seperti yang dipaparkan di atas, kecuali yang dilaksanakan oleh UT yang memang sah. Pelarangan perkuliahan jarak jauh, perkuliahan kelas jauh, dan perkuliahan Sabtu-Ahad dapat dipahami dan seyogianya diapresiasi secara positif serta disukai atau dibenci harus ditaati karena ada peraturan hukum tentang pelarangan penyelenggaraannya. Jika dilaksanakan juga jelas praktik seperti itu melanggar ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini dikeluarkan oleh institusi yang berwewenang dalam masalah pendidikan di Indonesia yaitu Depdiknas melalui Dirjen Dikti.
Dari segi akademik, pelarangan tersebut dikaitkan dengan penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tak ada jaminan mutu dari kegiatan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, yang sama sekali tak dilengkapi dengan pelbagai fasilitas wajib seperti perpustakaan, laboratorium, studio, dan sarana-prasarana pendidikan lainnya yang lazimnya sangat diperlukan. Apalagi perkuliahan hanya dilaksanakan satu atau dua hari seminggu dan bukan rahasia lagi satu mata kuliah hanya dilaksanakan perkuliahan tatap muka satu atau dua kali per semester. Sedangkan perkuliahan reguler di kampus induk yang dilaksanakan enam hari seminggu dan setiap mata kuliah dilakukan 18 kali tatap buka per semester, mutunya masih diragukan kalau mahasiswanya hanya mengharapkan ilmu dari materi perkuliahan, tanpa memperkaya khazanah ilmunya dengan menimbanya sebanyak-banyaknya di luar jam kuliah.
Malangnya, banyak orang yang merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan secara mudah seperti itu. Tak jarang kita membaca ucapan selamat yang dimuat dalam ukuran besar di surat-surat kabar apabila seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya, baik S1 (sarjana), S2 (magister), dan S3 (doktor), apalagi kalau yang meraihnya para pejabat. Disebutlah bahwa yang bersangkutan telah meraih kesarjanaan dari Universitas X di Jawa, misalnya, padahal masyarakat tahu bahwa yang bersangkutan justru bekerja rutin di luar Jawa. Tragis dan memalukan !!!
Efek Jera
Dengan sekali lagi ditegaskan larangan perkuliahan jarak jauh dan kelas jauh oleh Dirjen Dikti, timbul pelbagai reaksi dan keresahan. Hal itu terutama dirasakan oleh para pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan ijazahnya untuk penyetaraan jenjang karir (menjabat eselon tertentu yang mempersyaratkan pendidikan sarjana). Keresahan juga dialami oleh mereka yang sedang mengikuti perkuliahan seperti yang terbaca di surat-surat kabar di banyak daerah.
perguruan tinggi membuka kelas perkuliahan karak jauh dilarang oleh Dirjen Dikti. Siapakah yang akan bertanggung jawab apabila perkuliahan dan kesarjanaannya dilikuidasi? Masyarakat agar berhati-hati memilih perguruan tinggi dan berkuliahlah di perguruan tinggi yang berkampus induk di daerah masing-masing kalau memang tak dapat meninggalkan pekerjaan untuk tugas belajar atau izin belajar ke luar daerah.
Penyebab terjadinya perkuliahan ilegal ini adalah orang memerlukan ijazah sarjana untuk penyetaraan jenjang kepangkatan atau karir. Di samping itu, orang Indonesia memang tergolong suka pamer gelar, kalau perlu berderet-deret, termasuk gelar akademik. Kebetulan, ada perguruan tinggi yang menawarkannya dengan cara yang mudah dan cepat melalui perdagangan pendidikan tinggi. Gayung bersambut, kata berjawab antara produsen gelar dan konsumennya.
Pihak Depdiknas melalui Dirjen Dikti harus bersikap dan bertindak tegas. Perguruan tinggi yang melakukannya harus dikenakan sanksi yang jelas dan tegas. Selama ini sanksi itu tak pernah ada sehingga praktek ilegal tetap marak. Ijazah dan gelar yang diperoleh melalui praktik perkuliahan ilegal, walau harus dikatakan dengan berat hati, harus dilikuidasi. Jika ada yang nekat tetap menggunakannya, perlu dilakukan tindakan hukum.
Dalam hal ini, Depdiknas harus bekerja sama dengan institusi dan instansi yang terkait. Kalau tindakan dan sanksi yang tegas tak diberlakukan, aturan pemerintah hanyalah jadi macan kertas dan praktik perkuliahan ilegal akan terus menjamur di Indonesia. Mau dibawa ke mana bangsa ini dengan pendidikan dan gelar akademik karbitan itu ?

Selasa, 22 Maret 2011

PERAWAT INDONESIA, BAGAI BUIH DI LAUTAN

Saudaraku Perawat Indonesia, Jumlahnya perawat di Indonesia sungguh banyak. Lima tahun silam, PPNI pernah dalam situs resminya menyebutkan jumlah perawat di Indonesia sudah lebih dari 500 ribu orang. Sekarang jumlahnya mungkin sudah lebih dari 1 juta orang. 60 % dari total tenaga kesehatan adalah perawat. Alangkah hebatnya kekuatan perawat di Indonesia. Melihat dari sisi angka, terkesan perawat Indonesia merupakan profesi yang berpengaruh kuat. Profesi yang disegani. Baik di lingkup profesi kesehatan maupun di luar profesi kesehatan.
Namun ternyata tidak demikian. Secara kuantitas, memang perawat merupakan tenaga kesehatan yang mayoritas. Unggul kuantitasnya. Tapi sebenarnya profesi perawat sangat lemah. Hal ini bisa kita lihat dari produk-produk regulasi di bidang kesehatan. Hingga saat ini, banyak regulasi di bidang kesehatan yang "tidak memandang" profesi perawat. Ambil contoh, desa siaga. Peran dan fungsi tenaga keperawatan di desa siaga sama sekali tidak disinggung-singgung. Di sana hanya disebutkan peran bidan. Contoh lain adalah program Pegawai Tidak Tetap (PTT). PTT yang dilaunching departemen kesehatan hanya untuk tenaga dokter dan tenaga bidan. Artinya, perawat tidak dianggap perlu untuk menjadi bagian dari program menyehatkan masyarakat.
Dari segi jumlah, bidan mungkin cuma 1/5 dari jumlah perawat. Walaupun jumlahnya sedikit, bidan mampu menjalin lobi-lobi yang kuat dengan departemen kesehatan. Bidan mampu memberi pengaruh kuat di departemen kesehatan sehingga profesi ini bisa "masuk" di program kesehatan.
Lemahnya posisi Perawat Indonesia di Departemen Kesehatan tersebut bukan untuk diratapi. Kebijakan Departemen Kesehatan yang tidak memandang perawat juga bukan untuk dikutuk. Perawat Indonesia harus segera berbenah diri. Perawat Indonesia agar segera bangkit menjadi profesi yang kuat. Sebanding dengan jumlahnya.

Rabu, 16 Maret 2011

PENATAAN PROFESI DAN PENDIDIKAN PERAWAT

Menjelang awal tahun 2000-an, di tanah air telah berdiri ribuan D III Keperawatan, STIKES dan program studi serta Fakultas / jurusan ilmu keperawatan. Banyak pihak yang terjun ke dunia pendidikan keperawatan, seolah-olah berlomba mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi bekal memasuki dunia kerja. Pertambahan sekian ribu institusi pendidikan keperawatan ini membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah profesi perawat tumbuh pesat. Kuantitas perawat meningkat dengan pesat. Namun dampak negatifnya tidak kalah mengerikan. Profesi perawat justru terpuruk. Lapangan kerja di dalam negeri menjadi sangat sempit, kualitas perawat menurun drastis.
Banyak perguruan tinggi keperawatan yang tidak bertanggung jawab terhadap kualitas lulusannya. Asal mahasiswanya bayar lancar, dijamin lulus kuliah. Padahal profesi keperawatan ke depan disiapkan harus mampu berkompetesi global, sehingga harus memenuhi standar keperawatan global.
Oleh karena itu, untuk menata profesi keperawatan agar semakin berkualitas, amat dibutuhkan peran organisasi profesi (PPNI), asosiasi institusi pendidikan keperawatan (AIPNI) dan pemerintah RI. Campur tangan pemerintah yang diharapkan dalam hal penataan tenaga keperawatan, adalah berupa terbitnya UU Keperawatan.
Konsil Keperawatan Indonesia (Nursing Board) harus dibentuk. Namun pembentukannya harus dilandasi oleh perintah Undang- Undang. Hingga saat ini pemerintah RI baru bisa menerbitkan aturan setingkat menteri yang bernama Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes nomor 161 tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan yang merupakan perbaikan atas kepmenkes nomor 1239 tahun 2001. Di kepmenkes 1239 perawat harus memiliki SIP dan SIK. Bagi yang ingin melakukan praktik mandiri harus memegang SIPP. SIP dan SIK dikeluarkan Dinas Kesehatan setelah ada rekomendasi organisasi profesi. Pada Permenkes nomor 161, istilah SIP dan SIK ditiadakan dan dilebur menjadi Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk mendapatkan STR, perawat harus melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Dalam operasionalnya, uji kompetensi dijalankan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) yang berkedudukan di ibukota tiap-tiap provinsi.
Tanggal 16 Februari 2011, Menkes RI dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, melantik MTKI. MTKI terdiri dari wakil Kementerian Kesehatan, wakil dari unsur pendidikan dan 21 wakil dari berbagai profesi kesehatan yang akan menduduki Divisi Profesi, Divisi Standarisasi dan Divisi Evaluasi. Perwakilan perawat (PPNI) yang duduk dalam keanggotaan MTKI adalah Dra. Junaiti Sahar, M. Appp,Sc, PhD, Harif Fadhillah, S.Kp, SH, Rita Sekarsari, S.Kp, MHSM. Jauh sebelum MTKI dilantik Menkes, di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah memiliki MTKP dan menjalankan uji kompetensi bagi perawat. Cukup unik juga. Induknya yang bernama MTKI belum lahir. Di daerah malah sudah terbentuk sang anak yang bernama MTKP. Daerah-daerah membentuk MTKP dengan menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub). Perintah pembentukan MTKI dan MTKP sebetulnya sudah ada sejak keluarkan Kepmenkes Nomor 1239 Tahun 2001. Perlu 10 tahun bagi pemerintah untuk bisa merealisasikan keputusan yang sejatinya dibuat oleh mereka sendiri.
Fungsi dan tugas MTKI sesuai dengan Permenkes nomor 161/Menkes/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan adalah :
1. Membantu menteri dalam menyusun kebijakan, strategi, dan tata laksana registrasi
2. melakukan upaya pengembangan mutu tenaga kesehatan
3. Melakukan kaji banding mutu tenaga kesehatan
4. Menyusun tata cara uji kompetensi, penguji, dan memonitor MTKP
5. Memberikan nomor Registrasi Tenaga Kesehatan
6. Menerbitkan dan mencabut STR (surat tanda registrasi)
7. Melakukan sosialisasi Registrasi Tenaga Kesehatan, dan
8. Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan registrasi
Selanjutkan MTKI akan membentuk MTKP di 33 propinsi sebagai unit fungsional dari Badan PPSDM Kesehatan dibawah koordinasi MTKI dan bertanggung jawab kepada kepala badan melalui MTKI. MTKP di provinsi sebagai lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKP bertugas melakukan rekrutmen calon peserta uji kompetensi; meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan calon peserta uji kompetensi; melaksanakan uji kompetensi; menerbitkan sertifikat uji kompetensi; memberikan rekomendasi kepada institusi pendidikan yang terakreditasi untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peserta yang tidak lulus uji kompetensi; melaksanakan kebijakan uji kompetensi; melaksanakan pemantauan uji kompetensi; dan mempublikasikan hasil uji kompetensi.
Dengan terbentuknya kedua lembaga tersebut akan semakin besar harapan terwujudnya tenaga kesehatan yang berkualitas, memenuhi standar mutu secara nasional serta berdaya saing tinggi.

Selasa, 15 Maret 2011

PERAWAT MENGABDI DI BELANTARA KOMERSIALISASI

Perawat selalu dikait-kaitkan dengan rumah sakit walaupun sebenarnya perawat dapat saja bekerja di luar rumah sakit seperti di klinik dan lembaga konsultasi kesehatan.
Rumah sakit saat ini banyak yang bergeser orientasinya. Dari orientasi sosial ke orientasi bisnis (komersial). Padahal dahulu, rumah sakit didirikan karena niat untuk menolong sesama manusia yang menderita. Kini rumah sakit didirikan karena melihat prospek keuntungan bisnis. Rumah Sakit adalah tambang emas.
Rumah sakit yang berorientasi bisnis ”lebih disenangi” pelanggan dari pada rumah sakit sosial. Dengan ditopang modal yang kuat, rumah sakit berorientasi bisnis melakukan investasi peralatan medis canggih dan merekrut SDM yang hebat. Efeknya, pelanggan berduit lebih tertarik datang ke rumah sakit seperti ini. Ujung-ujungnya, profit diraih. Sebaliknya, rumah sakit yang berorientasi sosial kalah kuat dan kalah gesit. Peralatan medisnya tidak terlalu canggih. SDM-nya biasa-biasa saja. Akibatnya, rumah sakit yang berorientasi sosial ”ditinggalkan” oleh pelanggan yang berduit.
Di Indonesia walaupun seorang perawat bekerja di rumah sakit megah nan hebat dengan fasilitas medis canggih, bertarif mahal selangit, kesejahteraan perawat tidak beda jauh dengan rekan mereka yang bekerja rumah sakit yang biasa-biasa saja. Banyak rumah sakit yang luar biasa megah, mewah fasilitasnya maju bisnisnya namun rumah sakit ini memberikan imbalan gaji yang minim kepada perawat.
Hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang bisa memberikan gaji secara layak kepada perawat. Hal ini sungguh menyedihkan. Banyak perawat yang digaji cuma Rp300.000 sampai Rp500.000 per bulan. Yang lebih menyedihkan, beberapa rumah sakit mengancam akan memecat perawat yang menuntut kenaikan gaji tersebut.
Dengan upah Rp.500.000, bagaimana mungkin perawat bisa hidup layak ? Kalau kehidupannya saja tidak layak, bagaimana mungkin dia bisa memberikan pelayanan yang baik kepada para pasien ? Dengan gaji Rp.500.000 per bulan, kapan BEP investasi biaya pendidikan tercapai ?

Senin, 14 Maret 2011

Uji kompetensi

Latar Belakang Uji Kompetensi
Uji kompetensi diselenggarakan dengan maksud :
Sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka setiap tenaga kesehatan (kecuali tenaga medis dan farmasi), diwajibkan untuk melakukan uji kompetensi pasal 32 Permenkes No. 161 tahun 2010). Upaya ini dilakuan untuk menilai lebih lanjut apakah seorang tenaga kesehatan kompeten di bidangnya dan layak memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi adalah adanya Peraturan Menteri Kesehatan RI No.161 Tahun 2010 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini merupakan landasan hukum dibentuknya Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) di tingkat pusat dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) di tingkat propinsi.

Lembaga pelaksana uji dan penjamin mutu
MTKI adalah lembaga yang berfungsi menjamin mutu tenaga kesehatan. Sedangkan MTKP adalah lembaga yang melaksanakan uji kompetensi di daerah dalam rangka proses registrasi.
MTKI diharapkan selambat-lambatnya terbentuk 6 bulan setelah Permenkes ditetapkan (Permenkes No 161 ditetapkan Januari 2010), sedangkan MTKP selambat-lambatnya 1 tahun setelah Permenkes ditetapkan. Sampai dengan saat ini MTKI sudah terbentuk dan kepengurusannya sudah dilantik. Di beberapa provinsi sudah terbentuk MTKP. seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pembentukan MTKP terkendala oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena tidak ada anggaran daerah untuk mendanai kegiatan MTKP.

Uji Kompetensi
Hingga saat ini sudah ada beberapa provinsi yang melakukan uji kompetensi, di antaranya Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Provinsi ini mengawali adanya uji kompetensi oleh MTKP dengan berdasarkan Peraturan Gubernur. Metode yang digunakan dalam uji kompetensi di Jawa Tengah menggunakan metode OSCA.

Alur Sertifikasi dan Registrasi
Peserta yang lulus uji kompetensi akan mendapatkan sertifikasi kompetensi, ditandatangani MTKP. Setelah mendapatkan sertifikat kompetensi, tenaga kesehatan dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). STR iniditandatangani Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Isinya, menyatakan tenaga kesehatan bersangkutan telah teregistrasi sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan STR mempunyai kewenangan melaksanakan tugas sebagai Tenaga kesehatan di wilayah RI.

Syarat Uji Kompetensi :

1. Foto Kopi Ijazah terakhir
2. Surat keterangan Dokter, dari dokter yang memiliki ijin Praktek
3. Surat Pelaksanaan akan mematuhi dan melaksanakan peraturan etik profesi dan
foto kopi bukti angkat sumpah
4. Pasfoto 4 x 6, 2 lembar

Syarat mengajukan STR

1. Foto copy ijazah pendidikan di bidang kesehatan yang dilegalisir
2. Foto kopi transkrip akademik yang dilegalisir
3. Memiliki sertifikasi kompetensi
4. Surat keterangan telah mengikuti program adaptasi/evaluasi
5. Surat keterangan sehat dari dokter dengan ijin praktek
6. Pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi dan
rekomendasi organisasi profesi
7. Pasfoto 4 x 6, sebanyak 2 lembar

Sertikat kompetensi dan STR berlaku 5 tahun. Bagi tenaga kesehatan yang sudah mengikuti uji kompetensi (SIP dan SIK) sebelum ada peraturan ini, Sertifikat dan SIP/SIK-nya tetap berlaku, dan langsung bisa mengajukan STR (Pasal 30, ayat 3 dan 4). Bagi tenaga kesehatan yang sudah terregistrasi dan dinyatakan dengan bukti tertulis untuk menjalankan kewenangan di seluruh wilayah Indonesia dinyatakan telah memiliki STR sampai masa berlakunya habis (PASAL 1 DAN 2).
Dengan adanya Permenkes No 161 tahun 2010, ini maka peraturan yang mengatur mengenai registrasi tenaga kesehatan menjadi tidak berlaku lagi sejak MTKI dan MTKP setempat telah dibentuk (Pasal 31 ayat 2.

Minggu, 23 Januari 2011

UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN MELINDUNGI SELURUH ANAK BANGSA

Rancangan Undang-Undang Keperawatan (RUUK) sejak lebih dari 10 tahun silam telah masuk ke DPR. Tahun 2010 malah berada pada urutan ke-18 dalam Program Legislasi Nasional 2010. Namun, hingga akhir tahun, RUUK belum pernah dibahas untuk dijadikan Undang-Undang (UU) Keperawatan.
Seberapa pentingkah UU Keperawatan bagi bangsa Indonesia ? Dari sisi harkat dan martabat bangsa dalam kancah pergaulan internasional. Di kawasan Asia Tenggara saja, hanya lima negara yang tidak memiliki UU Keperawatan. Negara tersebut adalah Indonesia, Timor Leste, Laos, Kamboja dan Vietnam. Artinya, Negara RI yang sudah merdeka lebih dari 65 tahun, tapi pada kenyataannya tidak lebih maju daripada negara-negara miskin yang baru merdeka tersebut. Sungguh memilukan. Sedemikian terkebelakangnya negara kita.
Dari sisi pelayanan kesehatan, lebih dari 60 persen tenaga kesehatan di Indonesia adalah profesi perawat. Sementara itu, distribusi dokter dan tenaga farmasi di Indonesia tidak merata. Ada daerah yang tidak memiliki tenaga dokter dan tenaga farmasi sama sekali. Lalu, karena tidak adanya dokter dan tenaga farmasi di suatu tempat, maka pekerjaan tersebut terpaksa dipikul oleh perawat. Mengapa terpaksa dilakukan oleh perawat ? Sebab kalau perawat tidak melaksanakan tugas dari profesi kedokteran dan profesi kefarmasian tersebut, maka masyarakat akan terlantar. Mereka menjadi korban akibat tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Artinya profesi perawat telah berjasa besar kepada masyarakat, kepada negara. Juga berjasa kepada profesi lain karena membantu menjalankan tugas profesi lain tersebut.
Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktek Kedokteran, Peraturan Pemerintah Tentang Praktek Kefarmasian secara jelas menerangkan bahwa tindakan pengobatan (praktek kedokteran) adalah kewenangan profesi kedokteran. Menyimpan dan mengelola obat (praktek dispensing) adalah kewenangan tenaga farmasi.
Oleh karena ketiadaan dokter dan tenaga farmasi, demi menolong masyarakat yang membutuhkan, demi kemanusiaan, malpraktek terpaksa dijalankan. Akibatnya terjadilah kasus penangkapan oleh polisi kepada Sdr Misran di Kalimantan Timur dan Sdr Irfan di Situbondo serta di tempat-tempat lain ? Hukum memang hanya mengenal benar dan salah. Hukum memang hanya berpedoman pada apa yang telah dituliskan di Undang-Undang. Lalu, di manakah peran dan fungsi negara dalam melindungi warganegaranya yang sedang bertugas demi kemanusiaan ? Apakah pemerintah dan DPR mesti menunggu penjara penuh dengan perawat baru memikirkan UU Keperawatan ? Kejadian-kejadian ironi tadi merupakan indikator bahwa regulasi kesehatan di Indonesia masih semrawut.
Dari sisi hukum ketatanegaran, produk hukum negara berupa peraturan tertinggi tentang keperawatan baru pada level keputusan/peraturan menteri. Sementara menurut undang-undang nomor 10 tahun 2004, peraturan menteri tidak termasuk dalam hirarki hukum yang berlaku di negara kita. Artinya perawat dalam menjalankan tugas kemanusiaannya tidak dilindungi oleh aturan/payung hukum yang kuat. Karena selama ini keperawatan diatur hanya sebagai aksesori dalam peraturan terkait tenaga kesehatan. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut. Melainkan perlu diatur secara khusus lewat UU. Profesi keperawatan berbeda dari tenaga kesehatan lainnya lantaran sudah ada standar praktik, kode etik, dan sistem pendidikan tinggi keperawatan hingga program doktor.Profesi perawat memiliki UU agar terlindungi dalam menjalankan tugas-tugasnya. UU Keperawatan juga melindungi masyarakat. UU Keperawatan dapat mengatur hal yang mana saja boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seorang perawat, kompetensi apa yang harus dimiliki oleh perawat yang akan melakukan suatu tindakan tertentu. Selama tidak ada UU Keperawatan, bagaimana mungkin masyarakat bisa memperoleh pelayanan kesehatan dengan standar berkualitas teruji kalau para pemberi pelayanan kesehatan sendiri tidak dikelola oleh negara secara benar dan baik. Oleh karena itu, Undang-Undang Keperawatan sangat penting bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pengelolaan keperawatan melalui UU Keperawatan tersebut tidak hanya pada aspek praktik, tetapi juga pada aspek lain seperti pendidikan, penelitian, dan pengembangan keilmuan keperawatan. Jika telah ada UU Keperawatan, masyarakat akan dilayani oleh perawat yang teruji kompetensinya.