Selasa, 21 Juli 2009

MRA, PERAWAT INDONESIA DIUNTUNGKAN ATAU DIRUGIKAN ?

Tenaga keperawatan Indonesia tidak siap dengan pasar bebas. Ketidaksiapan tersebut terlihat jelas diungkapkan ketika demo perawat menuntut disahkannya RUU Keperawatan menjadi Undang-Undang Keperawatan. Salah satu argumen yang diangkat para perawat di dalam mendesak pengesahan RUU tersebut adalah efek Mutual Recognition Agreement (MRA) terhadap perawat Indonesia. Argumen tersebut menyatakan, perawat Indonesia akan semakin terpinggirkan kalau MRA diberlakukan karena perawat Indonesia dan sistem keperawatan Indonesia tidak memiliki payung hukum yang kuat yang bernama Undang-Undang Keperawatan. Sekadar diketahui, salah satu kesepakatan negara-negara anggota Asean pada Mutual Recognition Agreement (MRA) on Nursing Service yang ditandatangani di Cebu Filipina pada 8 Desember 2006, adalah menggunakan satu tanda dalam pertukaran dan pelatihan tenaga keperawatan yaitu Registered Nurse (RN). Hingga saat ini perawat-perawat Indonesia melakukan Sertifikasi RN di luar negeri. Konsekuensinya tentu pada biaya yang sangat tinggi. Sertifikasi RN tidak bisa dilakukan di Indonesia karena Indonesia belum memiliki lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi registrasi RN tersebut. Di negara-negara yang telah maju, lembaga yang berwenang memberikan sertifikasi tersebut dibentuk oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) atas perintah Undang-Undang Keperawatan (Nursing Acts). Lembaga tersebut bernama Nursing Board, bersifat independen namun amat kredibel. Sertifikasi RN berlaku di seluruh dunia dan dapat dipakai untuk bekerja di negara mana saja.
Oleh karena negara Indonesia tidak memiliki UU Keperawatan, apalagi Nursing Board, tentunya tidak bisa bersaing di era pasar bebas dengan perawat dari negara yang yang telah memiliki Nursing Acts.

Akibat dari keengganan Pemerintah Indonesia dalam hal ini Depkes RI dalam membentuk Nursing Board ini, Perawat Indonesia akhirnya hanya menjadi 'Jago Kandang' yang 'Keok' dalam kiprahnya secara internasional hanya karena Perawat Indonesia tidak memiliki selembar sertifikat RN.

MRA sendiri efektif berlaku pada 1 Januari 2010. Semestinya, sejak pemerintah RI ikut menandatangani MRA, pemerintah RI dalam hal ini Depkes RI segera membuat langkah strategis guna melindungi (memproteksi) perawat Indonesia. Jadi, ketidaksiapan perawat Indonesia dalam era pasar bebas adalah buah dari kelengahan, kecerobohan dan kesalahan pemerintah RI. Dengan adanya MRA, pihak asing diberi kebebasan masuk ke Indonesia. Misalnya mendirikan rumah sakit, membawa tenaga perawat dan dokter yang handal dari negara mereka.

Sedemikian besarkah ancaman efek MRA buat Rumah sakit dan Tenaga Perawat pribumi Indonesia ? Ancaman jelas iya. Namun hal ini sekaligus merupakan kesempatan (opportunity) bagi perawat dan rumah sakit. Rumah Sakit yang tidak siap dengan persaingan global, yang memberikan pelayanan asal-asalan dengan sendirinya akan terpinggirkan. Tapi tidak terlalu pinggir-pingir amat sih. Mengapa ? Kebanyakan penduduk Indonesia adalah berpenghasilan rendah. Sudah tentu mereka tidak berobat ke rumah sakit asing. Mereka ini toh tetap masuk ke rumah sakit pemerintah yang relatif murah bahkan gratis.
Diperkirakan hanya 5% penduduk Indonesia yang kaya. Mereka inilah kalau sakit biasanya ke Singapura atau ke Australia untuk berobat. Nah mereka inilah yang dibidik oleh investor asing dengan mendirikan rumah sakit asing di Indonesia. Artinya, mendekatkan diri dengan customer.

Adanya MRA maka perawat yang tidak handal juga akan terpinggirkan. Maksudnya, jika perawat Indonesia ingin bekerja di rumah sakit milik asing tersebut, maka harus siap berkompetisi. Harus siap mengerahkan seluruh kemampuannya. Kemampuan bahasa dan kemampuan (skill) keperawatan sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh rumah sakit asing tersebut. Karena pasti rumah sakit asing ini merekrut tenaga perawat terbaik (profesional) dari mancanegara. Yang dikhawatirkan adalah, apabila rumah sakit asing tersebut, mempersyaratkan sertifikasi RN untuk bekerja di tempat mereka. Maka, tipis peluang bagi perawat Indonesia untuk bisa berkompetisi.
Namun jangan berkecil hati. Ada satu kelebihan dari perawat Indonesia. Apa itu ? "Berani dibayar murah". Nah inilah senjata andalan PERAWAT Indonesia.
Rumah Sakit asing tidak akan merekrut banyak-banyak perawat mancanegera kalau perawat dari Indonesia sendiri kualitasnya mumpuni (meski tanpa RN barangkali), murah lagi bayarannya.
Paling-paling posisi strategis saja yang diisi / dipegang oleh perawat asing. Misalnya direktur keperawatan, kepala divisi dan kepala bangsal. Nah, perawat Indonesia kebagian jatah menjadi pembantu perawat asing (SUNGGUH MENYEDIHKAN JIKA INI TERJADI). Menjadi babu orang asing di rumah sendiri !!!!
Perawat Indonesia mungkin akan dipaksa kehilangan pekerjaan dan segera digusur oleh perawat asing, kalau rumah sakit swasta pribumi juga harus menerima perawat asing.
Tapi, kecil kemungkinannya rumah sakit pribumi merekrut perawat asing. Karena bagi rumah sakit pribumi buat apa merekrut yang mahal kalau yang murah aja bejibun alias berlimpah ruah.

Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan Sumber Daya perawat menyongsong era keterbukaan (globalisasi), amatlah carut marut. Berantakan. Amburadul. Tidak tampak visi dan misi yang jelas dalam pengelolaan tenaga perawat. Di satu sisi pemerintah memberikan kemudahan pendirian Akademi Perawat (Akper) dan STIKES. Namun di sisi lain, pemerintah tidak mengontrol kualitas output pendidikan tersebut. Selain itu, tidak nampak upaya mengerem kuantitas perawat-perawat. Sehingga perawat-perawat lulusan Akper dan STIKES semakin banyak yang tidak dapat pekerjaan alias menjadi pengangguran terdidik.
Di tengah semakin membesarnya jumlah pengangguran perawat terdidik, juga semakin tidak terjaganya kualitas lulusan Akper (D3) dan STIKES, pemerintah malah mendirikan D 4 Keperawatan. Untuk beberapa tahun ini, lulusan D 4 memang dimanjakan oleh pemerintah lewat kebijakan penerimaan PNS. Di mana tersedia formasi untuk lulusan D4. Tapi sampai kapan dan seberapa besar daya serap dari sektor pemerintah ?
Sektor swasta (rumah sakit swasta, klinik swasta) yang penuh pertimbangan cost and benefit pasti menghindari perekrutan perawat dengan cost mahal. Akibat terbatasnya lapangan pekerjaan, perawat S 1 lulusan STIKES/PSIK/FIK yang tidak dapat pekerjaan, mau tidak mau daripada menganggur dan daripada tidak ada income, akhirnya bersedia digaji dengan standar dengan lulusan D 4 atau D 3. Yang lulusan D 4 juga demikian, bersedia digaji dengan standar D 3 atau SPK. Nah yang SPK bagaimana ?? Tidak digaji ???? SUNGGUH TERLALU.

Kemudian, pemerintah semestinya telah membuat perlindungan (proteksi) bagi perawat. Proteksi tersebut berupa UU Keperawatan. Ada tiga aspek proteksi yaitu Proteksi hukum, proteksi kesehatan dan proteksi peraturan.
Proteksi hukum yaitu perlindungan hukum yang kuat bagi perawat ketika perawat melaksanakan profesi dan tindakannya, baik tindakan yang independen maupun yang dependen. Proteksi kesehatan yakni perawat dilindungi oleh negara jika terkena penyakit akibat menjalankan profesinya. Proteksi peraturan yakni perawat dijaga dengan seperangkat regulasi tidak terpinggirkan oleh arus globalisasi dan tidak digilas oleh sistem kapitalis liberal.
Mengapa kita harus takut akan terjadinya Kapitalis liberal ? Karena Kapitalis liberal menjadikan perawat Indonesia sebagai tenaga kerja murah dan tidak dianggap bukan sebagai tenaga profesi.
Ada upaya sistematis dari kaum kapitalis liberal di dalam melemahkan perawat Indonesia. Upaya tersebut sedemikian halus sehingga tanpa disadari banyak juga perawat yang malah mendukung upaya kaum kapitalis liberal ini. Contoh gamblangnya adalah upaya membuka sebanyak mungkin Akper / D 4 / STIKES / S 1 Keperawatan dengan pelbagai kemudahan. Sebagai perawat, kita pasti gembira melihat fenomena meningkatnya pendidikan perawat. Bagi sejawat yang berpendidikan S 1, S2 atau S3, ini adalah kesempatan untuk menjadi dosen dan menambah income. Namun apakah sejawat juga berpikir, apakah lulusannya Akper / D 4 / STIKES / S 1 Keperawatan tersebut bisa memasuki dunia kerja dengan standar gaji yang layak ? Kalau anak didik mereka mendapatkan kerja di luar negeri, mungkin akan mendapatkan gaji yang layak. Bagaimana jika anak didik tersebut tidak ke luar negeri ? Sementara lapangan kerja di Indonesia sedemikian sempitnya. Mungkin ini sama sekali tidak ada dalam benak para dosen tersebut.
Pola-pola yang dijalankan kaum kapitalis liberal adalah dengan memproduksi sebanyak-banyak tenaga perawat, untuk kemudian menarik untung sebesar-besarnya. Dari proses produksi (pendidikan) perawat saja sudah banyak rupiah yang masuk ke kantong kaum kapitalis. Bukankan para mahasiswa membayar mahal ke lembaga pendidikan yang merupakan kepanjangan tangan kaum kapital ?
Akibat produksi yang melimpah sementara daya serap lapangan kerja rendah maka harga perawat akan merosot dan jatuh. Dengan harga perawat yang jatuh ke titik rendah tersebut, kaum kapitalis liberal lagi-lagi mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka mempekerjakan perawat dengan gaji serendah-rendahnya (berbiaya murah) namun dengan hasil yang setinggi-tingginya (perawat dipaksa berkerja keras). Jika tidak mau mengikuti kemauan para kapitalis maka perawat akan di PHK, tidak dapat pekerjaan dsb.
Sistem rekrut perawat pun juga penuh campur tangan dan permainan para kapitalis liberal. Contohnya adalah menjadikan perawat menjadi tenaga outsourcing / tenaga honorer atau tenaga kontrak (PKWT).
Fenomena outsourcing terhadap perawat adalah jelas-jelas merupakan perbudakan moden ( modern slavery ). Perbuatan ini melanggar konstitusi kita, amanat UU No.13 tahun 2003 dan KepMenakerTrans No.100 tahun 2004 melarang untuk melakukan tindakan kontrak/honor atau bahkan PHL ( Pekerja Harian Lepas ). Tenaga kontrak sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi buruh yang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan itu pun hanya berlaku 2 tahun plus satu tahun. Sedangkan tenaga harian lepas untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran. Praktek-praktek ini masih banyak menimpa para perawat Indonesia karena lemahnya bargaining position.
Perlu diketahui bahwa perawat HARAM hukumnya untuk dikontrak, terlebih menggunakan pihak ketiga. Perawat secara tupoksi (tugas pokok dan fungsi) adalah mengerjakan pekerjaan tetap dengan frekuensi terus-menerus dan bukan mengerjakan barang yang sedang diuji cobakan.

Akibat pelemahan kekuatan perawat Indonesia tadi maka harga diri perawat kian hari kian diinjak-injak tanpa pengakuan sama sekali. Perawat bekerja secara terus-menerus 24 Jam dengan 2-3 Shift dengan segala resiko yang mengancam kesehatan dan keselamatan kerja.
UU 13/2003 pasal 85/86 tidak dijalankan oleh pemerintah melalui instansi-instansi yang mempekerjakan perawat. Hal ini diperparah lagi dengan system jaminan social yang tidak pernah merata, antara resiko dan pendapatan tidak berimbang, penghasilan perawat dari dahulu hingga kini tak banyak mengalami suatu perubahan yang signifikan. Ini artinya profesi perawat Indonesia semakin termarginalkan.

Berapa banyak pula kasus-kasus yang diangkat dipermukaan menyangkut kesejahteraan perawat di Rumah-rumah sakit, di Jakarta sudah terjadi Di RSU UKI, RS HAJI, RS Mata, AGD 118, RS DUREN SAWIT dan masih banyak lagi ibarat fenomena gunung es, yang menyoalkan masalah kesejahteraan, kejadian ini akan terus berlanjut sampai kapanpun sebelum nasib perawat dan keluarganya diperhatikan dan dibuatkan suatu aturan secara definitive untuk kesejahteraan para perawat.
Perawat yang bekerja di Indonesia maksimum hanya Rp.800.000 s/d 1,5 jt perbulan,

Selayaknya sesama tenaga kesehatan dengan standart pendidikan yang setara harus memiliki upah yang tidak terpaut jauh.
Mari kita perjuangkan Upah Minimum sector Provinsi ( UMSP ) di bidang keperawatan, UU Ketenangakerjaan nomor 13 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa upah minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Justru pemerintah telah melanggar ketentuan ini. Melalui Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 PER-17/MEN/VIII/2005, komponen KHL hampir tidak pernah diterapkan di keperawatan,bahkan masih banyak perawat dengan gaji dibawah rata-rata UMP/R/S Akhirnya Kepmen 17/2005 menjadikan UPAH LAYAK bagi perawat, hanyalah omong kosong belaka. Perawat Indonesia harus mendapatkan kesejahteraan yang sama Seperti halnya upah PNS, TNI dan Polri, Upah Layak ini berlaku secara nasional. Pengabdian perawat sama dengan mereka.
Segera bentuk unit-unit organisasi yang efektif untuk melakukan perlawanan yang serius. Selain itu standart kompetensi melalui pengesahan UU praktik keperawatan.

Lemahnya perlindungan Hukum bagi Perawat. UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan menegaskan bahwa ada pengakuan profesi keperawatan, ada suatu perbedaan kewenangan profesi antara dokter dan perawat. Hal ini seyogyanya menjadi acuan dalam penguatan Legal aspek profesi perawat di mata publik. UU tersebut belum cukup memproteksi perawat terlebih dalam menjawab tantangan global yang saat ini mengancam kehidupan segenap anak bangsa.
Lemahnya perlindungan Hukum terhadap perawat Indonesia sangat jelas terlihat ketika para tenaga perawat yang sedang mengalami gugatan Hukum tak terbela, misalnya perawat AGD Dinkes DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan dini hari ( 1-6-08 ) di tabrak oleh oknum artis ibukota dan hingga kini kasusnya menggantung di Pengadilan tinggi negeri Jaksel tanpa ada advokasi dari pemerintah. Masih banyak kasus lain yang menimpa perawat namun tidak mendapat perhatian akibat sikap banci pemerintah.

Perubahan dari internal perawat juga harus dimulai dari sekarang, tidak boleh lagi ada perawat yang hanya bangga menjadi jongos para dokter di rumah sakit, tegakkan kepala kalian jangan menunduk di depan para dokter, sesungguhnya kita sejajar sebagai partner yang sama-sama kuat di mata hukum terlebih dimata TUHAN. Paradigma kesejajaran profesi haruslah kita hujamkan dalam kerangka berfikir kita. Biarkan para dokter mengambil stetoskopnya sendiri, biarkan para dokter mengusap keringat keningnya sendiri karena semua itu bukan tugas kita. Tegakkan diagnosis keperawatan dengan bangga. Wahai para mahasiswa keperawatan kalian adalah agen of change akan kelangsungan perubahan ini, tolak semua perintah senior Anda jika memang terindikasi melenceng dari konsep-konsep keperawatan dan segera katakan keilmuan dengan sebenarnya tanpa basa-basi. Dalam transisi pergerakan keperawatan gejolak sosial tidak bisa dihindari, oleh karenanya para pejuang keperawatan tidak boleh hanya bisa mengutuk keadaan, tetapi harus aktif membuat rekayasa social ( social engineering ) menuju masyarakat yang kita cita-citakan.