Selasa, 09 September 2008

Journey to the Profession (1)

Oleh: Syaifoel Hardy
Sebagai warga Indonesia yang beragama, saya percaya sepenuhnya bahwa manusia merencanakan, Allah Yang Menentukan. Meski demikian, saya juga meyakini, bahwa hidup ini senantiasa didasari oleh pilihan. Pilihan adalah bentangan luas kesempatan. Kita diberi hak oleh Allah SWT untuk memilih mana yang terbaik. Ada kalanya kita dihadapkan pada suatu yang sulit sekali, dan ‘terpaksa’ untuk tidak memilih. Bagi mereka yang dewasa cara berpikirnya, melihat cela-cela kesulitan memilih ini, tersembunyi hikmah. Tidak terkecuali kesempatan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada saya dalam memilih profesi ini: Nursing. Sejuta kesulitan yang pernah dan tengah saya hadapi, sejuta kemudahan yang Dia kehendaki.

Journey to the Profession, adalah personal experience yang saya tuangkan dalam artikel ini bertujuan: pertama bernostalgia dengan masa lalu, dan yang kedua, saya berharap kita bisa memetik hikmah darinya.

Tulisan ini saya pilah menjadi tiga bagian. Pertama, mengisahkan latar belakang bagaimana awal saya memasuki profesi ini serta liku-liku yang harus saya jalani hingga mendapatkan pekerjaan. Bagian Kedua tentang sejumlah kiat yang saya tempuh guna merangkai masa depan menghadapi fenomena dunia keperawatan di Indonesia. Sedangkan Bagian Ketiga berkisar tentang perjuangan dalam meniti karir, utamanya sesudah bekerja di luar negeri.

*****


Bagian Pertama

Dibesarkan oleh keluarga yang kurang mampu, anak ke-delapan dari dua belas bersaudara, seperti halnya sebagian besar masyarakat pedesaan, saya mengalami masa-masa yang sulit. Untuk mendaftar sekolah SMP saja yang jumlah uangnya sebenarnya tidak seberapa, tidak kami punya. Entah apa yang dilakukan oleh kakak tertua saya, sehingga duit yang sebesar Rp 500 itu akhirnya diperoleh pada hari pemungkas pendaftaran. Kesulitan demi kesulitan selama tiga tahun menjalani sekolah menengah di sebuah yayasan milik Katolik di kota kecil kecamatan di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, harus saya hadapi.

Jangankan yang namanya uang saku atau transport sehari-hari, sarapan pagi saja saya terkadang harus puas jika makan ‘Karaq’ (nasi basi yang sudah dikeringkan kemudian dimasak kembali, dibubuhi garam dan atau kelapa). Sepatu olah raga yang saya kenakan, saya peroleh dari rongsokan kakak perempuan yang bekerja di sebuah pabrik Farmasi di kota kami. Kakak saya mengenakan sepatu Cat di laboratorium pabrik tersebut dan dapat jatah sepatu setahun dua kali. Ukuran yang lebih kecil dibanding kaki ini, tidak saya hiraukan. Guna membayar karcis masuk kolam renang sewaktu pelajaran olah raga, tidak jarang harus saya peroleh duitnya dengan membantu teman menulis pelajaran di bukunya. Setiap malam hari, saya mengajari sejumlah anak-anak tetangga, terkadang memijat Mbah Tun, nenek tua seberang rumah, berharap agar dalam saku ini ada yang bisa dirogoh.

Himpitan ekonomi yang demikian ini, membuat saya pada akhirnya tidak memilih untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum. Saya sadar sekolah umum menuntut tingkatan pendidikan lebih lanjut. Bapak kami, pensiunan pegawai sipil Angkatan Darat, menyarankan masuk sekolah kejuruan saja. Kantor Bapak yang dekat Rumah Sakit Umum (RSU) Malang, tempat di mana Sekolah Perawat tersebut ada, membuat beliau memiliki akses yang mudah guna mendapatkan prospektus pendaftaran. Saya pun didaftarkannya. Waktu itu AKPER belum lahir di Jatim.

Meski rumah kami lebih dekat dengan RS Jiwa ketimbang RSU di Malang, tapi entahlah, saya kurang tertarik kalau harus mendaftar sekolah di dekat rumah kami. Bapak memberikan ‘kebebasan’ untuk memilih. Saya lebih suka di RSU, bukan hanya lingkungan yang berbeda, namun juga lebih dinamis. Masuk Sekolah Perawat negeri, waktu itu, tidak seperti sekarang ini yang mahal dan tak terjangkau rakyat kecil seperti kami. Sekolah gratis, dapat makan, uang saku, bahkan jatah sabun cuci. Di Malang, ada tiga sekolah yang menawarkan pendidikan serupa. Masing-masing di bawah naungan TNI, RS Jiwa dan RSU. Kapan negeri kita bisa kembali ke kondisi seperti itu lagi? Wallahu a’lam!

Saat pengumuman penerimaan calon siswa baru tiba, bersama Bapak, saya ikut truk RS Jiwa yang melayani antar-jemput siswa perawat. Gratis pula! Di atas bangku truk, saya melihat sejumlah siswa Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Jiwa yang tengah duduk berderet rapi, menyisakan kebanggaan dalam benak ini, sekiranya saya nanti diterima. Dari 420 peserta tes waktu itu, 30 calon siswa terpilih. Sepuluh orang di antaranya laki-laki. Alhamdulillah saya bisa diterima. Doa kami terjawab!

*****

Awal tahun 80-an adalah masa-masa transisi antara SPR dan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Hampir setiap pengajar kami mengemukakan hal-hal yang sama. Bahwa kami diprogram untuk mampu ini dan itu. Fokus dititik-beratkan kepada pelayanan komunitas. Perubahan kurikulum yang demikian padat kami rasakan seperti dipaksakan. Dan kami, siswa, menjadi ‘korban’ kelinci percobaan. Maklum, kami waktu itu angkatan kedua. Jadi, boleh dibilang sistem administrasi, pengajaran maupun konsep yang diikuti oleh guru-guru, masih berjalan terseok-seok. Seingat saya, saat itu kita sudah mengalami 5 kali periode perubahan, sejak tahun 50-an, sistem pendidikan perawat. Mulai dari juru rawat, penjenang kesehatan, sekolah perawat, sekolah pengatur rawat dan SPK.

Tanpa bermaksud mengedepankan bahwa kami siswa ‘terbaik’, jujur saja bahwa rata-rata teman-teman sekelas saya adalah pelajar berprestasi di sekolah asal mereka, mulai dari Banyuwangi, Gresik, Lumajang, Blitar hingga Trenggalek. Bisa dibayangkan bagaimana kami berkompetisi dalam belajar untuk meraih prestasi di dalam kelas. Tempaan yang ‘keras’ gaya Belanda sudah biasa bagi kami.

Tapi kepinteran kami tetap membuat kami bungkam. Atau, mungkin karena sekolah ‘gratis’ inilah, sehingga kami tidak sanggup ‘bersuara’ manakala kami, disamping sekolah, terkesan ‘dipekerjakan’. Sebelum jam belajar, yang rata-rata dimulai pada jam 6.30 pagi, terkadang malah jam 6 pagi, kami harus masuk bangsal pasien terlebih dahulu. Ada juga yang bertugas di Kantor Pendidikan. Kami tidak lebih dari seorang Cleaning Service ketimbang pelajar. Bukannya merawat pasien atau belajar, kami malah membersihkan toilet, kamar mandi, mengepel, membersihkan jendela dan pintu hingga kantor pendidikan. Siswa pula yang menata meja kepala sekolah dan guru. Beberapa guru saya, ‘cerewet’ sekali. Mereka bahkan mengusap permukaan almari bagian atas untuk membuktikan apakah kami benar-benar melakukan tugas atau tidak. Saya pikir semula, bahwa memang inilah bagian dari pekerjaan perawat. Jadi, no problem!

Suatu hari saya bertugas di Ruang 11, Penyakit Dalam. Seperti yang saya ungkapkan di atas, bahwa kami melakukan tugas layaknya tukang bersih-bersih. Waktu itu saya kebagian ‘belakang’ (Baca: WC dan kamar mandi). Anda tahu sendiri, di ruang penyakit dalam yang waktu itu namanya kebersihan masih belum menjadi prioritas utama agenda RS. Kerja perawat merangkap ini dan itu. Mulai dari kerjaan dokter, administrasi, petugas gizi, pembantu hingga tukang bersih-bersih. Dalam hati saya ‘menangis’: “Mengapa saya harus melakukan pekerjaan seperti ini?”

Alhamdulillah, di tengah-tengah kerja, saya masih ingat dengan petuah Bapak. Bahwa apa-apa yang kita cintai dalam hidup ini belum tentu yang terbaik bagi kita. Sebaliknya, hal yang kita benci, belum tentu tidak membawa manfaat. Saya ‘terhibur’ karenanya, dan menjalani semua ini dengan ‘senang hati’.

Kami digembleng ekstra aktif. Itu yang membuat selama sekolah saya juga aktif. Ikut dalam berbagai kegiatan baik itu kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan bersemangat. Saya tidak mau disebut sebagai siswa yang ‘menjilat’. Saya ikuti berbagai kegiatan organisasi: kesenian, olahraga, koperasi dan agama. Setiap hari-hari besar agama, nasional atau momen-momen penting seperti pelantikan, Porseni, perkenalan siswa baru atau perpisahan, saya tidak pernah ketinggalan. Sebagai koordinator, perencana hingga pemain. Boleh dikata, saya adalah satu siswa aktif yang banyak dikenal, baik oleh guru (tetap atau tidak tetap), kakak-kakak serta adik-adik kelas. Saya pernah diundang makan malam oleh Kepala Bidang Kesehatan Lingkungan Kabupaten, bahkan menginap di rumahnya sampai diantar pulang esok harinya. Beliau mengajar Hygiene Sanitasi. Sebagai siswa, saya merasa ‘terhormat’. Saya kerap diberi uang saku pula oleh seorang Dokter Ahli THT. Mungkin beliau bisa membaca, saya anak orang kebanyakan. Keduanya adalah guru favorit saya. Pendeknya, saya banyak kenalan dan bisa akrab dengan teman, guru juga pasien.

Perjuangan selama menjadi siswa SPK tidak sia-sia. Meski saya satu-satunya siswa yang tidak memiliki sepeda ongkel di kelas, tidak menjadi hambatan besar bagi saya untuk menjadi siswa berprestasi. Di SMP, saya biasa jalan kaki 6 km pulang pergi. Di SPK 6 km pulang pergi. Tak beda. Pendidikan selama 3 tahun berlangsung mulus dengan jerih payah. Bapak saya hadir pada saat wisuda, membawa sehelai tikar. Ditertawakan oleh teman sekamar saya. Katanya: “Lihat Bapakmu! Beliau pikir di sini tidak ada tempat duduk!” Kelakarnya. Mungkin maksudnya untuk membungkus kasur bila saya langsung pulang nanti.

Rasa kasihan saya terbersit kepada beliau. Saya tunjukkan hasil kerja keras saya ke hadapan beliau: anakmu yang kurang beruntung secara finansial ini, sekarang lega bernafas. Ijinkan kini menjelajah dunia!

*****

Kesempatan kerja waktu itu terbentang luas. Hanya dalam waktu 10 hari sesudah lulus, alhamdulilah, saya mendapatkan pekerjaan di sebuah RS negeri di Kotamadya Pasuruan. Sebagai tenaga yunior, sudah tentu banyak tantangannya. Minimnya staf keperawatan yang ada membuat pekerjaan jadi serabutan. Jadi orang baru, harus siap seperti bola: dilempar ke sana-ke mari. Tugas di VIP, merangkap ruang penyakit dalam. Kalau masuk sore, dinas di bangsal penyakit dalam merangkap gawat darurat dan kamar operasi.

Untungnya, pengalaman jadi seambreg! Kesempatan yang sebenarnya besar bagi saya untuk mempelajari banyak kasus. Dan Pasuruan, waktu itu masih terbelakang, telah berjasa memperluas wawasan bermasyarakat saya dengan orang-orang pedesaan. Saya seringkali diminta untuk home visit serta home care. Gaji kecil tidak masalah. Tahun 1982, dibayar Rp 8000 per bulan, OK! Dari home visit dan home care saya bisa dapat lebih. Alhamdulillah.

Tapi bukan uang tujuan utama saya! Saya harus berubah. Di Pasuruan, saya merasa tidak bisa ‘besar’ di RS ini. Saya ikuti jejak salah seorang kakak kelas yang menjadi senior di RS tersebut. Sambil bekerja dia sekolah lagi. Saya tidak ingin ketinggalan. Langkah konkrit segera saya ambil. Pagi kerja, sore sekolah di sebuah SMA PGRI. Kecuali jika dinas sore, saya absen. Tapi saya tidak mau ketinggalan. Semua text book saya beli dari gaji.

Surat Keputusan (SK) Pegawai Negeri saya turun sebelum genap bekerja di Pasuruan 8 bulan. Tidak seperti saat ini. Jadi PN harus pasang tarif 30 juta. Meski waktu itu yang namanya KKN ada, alhamdulillah, sepeserpun saya tidak bayar. Jangankan bayar, ngurus status kepegawaian saja hanya sekali. Sesudah itu datang sendiri. Mendapatkan tawaran PN, pikirku lebih baik. Masa depan lebih cerah. Saya pun pindah kerja, juga pindah sekolah.

*****

Masuk dunia kerja di bidang pendidikan sejumlah tantangan baru yang amat besar menghadang. Ijazah SPK, disuruh mengajar SPK? No way! Pendidikan tetap saya lanjutkan. Karena hanya lewat pendidikan kita bisa maju dan terangkat. Apa jadinya jika siswa diajar oleh guru yang kualifikasinya sama dengan siswanya? Saya berpikir ke sana. Saya serius belajar, melebihi siswa SMA reguler yang kebanyakan asal sekolah. Dengan berpredikat sebagai pekerja sambil sekolah, tidak mengurangi hasrat saya sebagai siswa yang berprestasi. Saya lulus Ujian Negara dengan prestasi amat memuaskan!

Dari kantor, saya kemudian ditugaskan ke Sekolah Guru Perawat (SGP), menempuh pendidikan satu tahun di Sulawesi. Permohonan saya untuk mengikuti jenjang D3 Keguruan di Bandung ditolak oleh pimpinan. Saya mengerti alasannya. Karena minimnya tenaga pengajar, sehingga saya tidak bisa berlama-lama belajar. Satu tahun pun nggak masalah, dari pada lulusan SPK yang ‘tawar’. Saya pun terbang ke Sulawesi.

Dasarnya saya memang senang sekolah. Jadi, di Makassar saya jalani pendidikan dengan senang hati. Hanya ada dua jurusan di sana. Kebidanan dan Perawatan Anak. Saya pilih yang terakhir tentunya. Seperti waktu SPK dan SMA, selain giat belajar, di SGP yang mendapatkan bantuan dana dari JICA (Jepang), saya juga aktif dalam organisasi. Susahnya, kami berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, dari Medan hingga Merauke. Beragam watak dan temperamen mewarnai sekolah kami. Mengantisipasi hal ini, secara fisik, saya punya ‘backing’, orang Papua Barat.

Meski status sebagai tugas belajar, institusi tempat saya bekerja tergolong pelit! Saya tidak mendapatkan uang saku sama sekali, kecuali gaji yang mengalir setiap awal bulan diweselkan oleh Bapak. Tidak seperti daerah-daerah lain. Uang sakunya saja bisa melebihi gaji! Saya mendapatkan tambahan dari teman-teman. Boleh dikata, extra money ini dari teman-teman yang membutuhkan bantuan belajar. Ada saja modelnya: mulai dari menulis mata pelajaran, bikin rangkuman, menyelesaikan pekerjaan rumah, laporan, rencana pembelajaran, hingga (sorry!) membantu saat ujian tiba! Maklum, sebagian peserta sudah ‘lanjut’ usia. Semangat belajar mereka berbeda. Jadi, apa salahnya ‘memanfaatkan’ saya?

Setahun di Makassar berlalu begitu cepat. Lulus SGP, berprestasi gemilang. Ada rekan, asal Papua, mertuanya seorang Bupati, suaminya calon Camat, sambil gurau menawari saya ‘jabatan’ jadi kepala sekolah di Papua. Maklum, teman-teman dari Indonesia Timur ini rata-rata kalah ‘bersaing’ dengan orang-orang Jawa. Dari peringkat 1-10, semuanya dari Jatim kecuali rangking 2, orang Kalimantan Timur.

*****

Sebenarnya saya kurang begitu sreg selepas belajar di SGP. Anggapan bahwa lulusan SGP kurang layak sebagai SIM mengajar SPK tetap tertanam kuat dalam pikiran saya. Jadi, kepulangan saya ke instansi tidak sambil mengantongi kebanggaan. Di tambah lagi dengan kepuasan kerja yang tidak saya dapatkan. Saya sibuk sekali selama bekerja. Staf pengajar tetap hanya 3, termasuk saya. Bagaimana kami bisa mengolah sebuah sekolah dengan baik jika staf begitu minim? Saya berniat mau mengundurkan diri. Saya mempertimbangkan masak-masak kerugian dan keuntungannya yang berakhir dengan kesimpulan bahwa untuk berkarir dan berhasil, kita tidak harus jadi pegawai negeri!

Sebelum keluar, saya sempat bertanya kepada Ibu (almarhumah), apakah saya diijinkan untuk keluar dari Pegawai Negeri. Dengan bijak, beliau menjawab: “Hidupmu, kamu sendiri yang menjalani. Ibu tahu, kamu tidak bisa melakukani pekerjaan seperti ini terus-menerus. Jika pindah adalah yang terbaik bagimu, lakukan!”

Terus terang, saya over loaded selama bekerja. Begitu banyak urusan sekolah yang saya sendiri harus melakukannya sampai saya bawa ke rumah. Sore dan malam hari. Kurikulum, menemui guru-guru, rencana pengajaran, mengurusi perpustaan, membimbing siswa tamu (sekitar 25 SPK per tahun datang), praktek lapangan, rumah sakit, puskesmas, pelaporan, rapat orangtua, kegiatan non-kurikuler dsb. Luar biasa! Akan tetapi, ada buah segar yang saya dapatkan. Di tengah usia amat muda, saya dipaksa ‘matang’. Dan itu nilai tambah bagi seorang guru seperti saya.

Empat tahun bekerja dan mengenyam ‘nikmat’ jadi pegawai negeri, saya siap pergi meninggalkan jabatan yang bagi banyak orang dicari mati-matian. Saya lepaskan genggaman kesempatan emas bagi banyak orang sebagai tempat menggantungkan pensiunan di hari tua. Dari seluruh rekan-rekan selama sekolah, hanya sayalah yang hingga saat ini bukan berstatus sebagai PN.

Selama empat tahun, kenalan guru saya membengkak hampir ada di seluruh 29 Kabupaten yang tersebar di Jatim, karena siswa mereka praktik di tempat saya bekerja. Belum lagi di tambah kolega saya di luar Jawa. Namun kalau saya kerja di luar Jawa saya khawatir agak sulit jika mau kuliah lagi. Luasnya pergaulan ini amat membantu dalam pencarian kerja. Hal ini masih diperkaya lagi oleh pengalaman saya diberi kepercayaan sebagai Koordinator Kurikulum, mengajar Komunikasi Perawatan Psikiatri, Perawatan Pediatri, Koordinator Praktek Lapangan dan serta sejumlah kualifikasi lain, yang membuat saya, alhamdulillah, bisa ‘menjual’ diri.

Berbekal kompetensi di atas, esok harinya, saya menghadap pimpinan sekolah. Saya utarakan niat ‘baik’ ini. Di luar dugaan, beliau juga ‘mendukung’ rencana tersebut. Setuju dengan pengunduran diri saya. Klop! Begitu saya keluar, ada 3 orang staf baru yang sedang dalam proses bergabung dengan instansi kami.

Dengan kebulatan tekat, saya lepas predikat sebagai pegawai negeri. Saya tinggalkan sebuah lembaga yang telah banyak memberikan pesangon dengan tanpa beban, kecuali satu: berat rasanya pisah dengan para siswa yang sudah terlanjur dekat dengan saya. Saya merasa pendidikan dan para siswa adalah bagian dari dunia saya. Siswa-siswa ini merupakan amanah yang dititipkan oleh orangtua mereka untuk kami bina supaya menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. (Bersambung).

Doha, 21 July 2008

Shardy2@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar