Selasa, 09 September 2008

Journey to the Profession (II)

Oleh: Syaifoel Hardy

Pada Bagian Pertama saya kisahkan bahwa keputusan untuk keluar dari Pegawai negeri (PN) sudah bulat. Keputusan ini tidak dibuat-buat. Suatu keputusan besar dalam hidup yang jarang sekali orang mengambilnya. Begitu mendapat status PN, kebanyakan dari kita tidak akan beranjak, hingga pensiun. Ada konsekuensinya: keuntungan dan kerugiannya.

Sebelum saya pindah, tentunya melewati proses. Kriteria tempat kerja saya waktu itu adalah: pertama manajemen perusahaan. Kedua akses perkembangan sebagai individu, anggota profesi dan masyarakat. Dan yang ketiga kemungkinan meneruskan pendidikan.

Lewat kenalan yang juga seorang guru perawat, akhirnya saya mendapatkannya. Alhamdulillah, hanya sehari proses.Tempat saya kerja adalah SPK milik sebuah yayasan terkenal di Kota Malang. Sebenarnya, dengan Pimpinan SPK nya pun saya sudah kenal lama. Jadi, tidak ada masalah. Perbedaan agama saya dengan agama yang diemban oleh yayasan ini juga bukan persoalan. Saya bisa melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim.


*****

Memasuki dunia kerja di lingkungan yang baru, kali ini adalah yang ketiga saya alami, otomatis tantangan baru lagi. Alhamdulillah tidak mengalami kesulitan. Malah tanggungjawab besar yang saya emban justru jauh lebih ringan ketimbang tempat kerja sebelumnya. Saya dipercaya langsung untuk menangani Bidang Kurikulum. Bagian dari pendidikan yang amat penting peranannya. Saya yang merencanakan seluruh program pembelajaran serta rencana kerja satu tahun (Baca: Kalender Pendidikan). Saya pula yang menangani Praktek Lapangan. Kedua-duanya saya jalani dengan senang hati. Saya tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri di tempat kerja yang sebenarnya ‘asing’ ini. Itu karena saya sudah kenal semua staf pengajarnya, jauh sebelum kerja di situ.

Tidak lama pula setelah bekerja, saya merasa telah berhasil ‘mengambil hati’ pimpinan sekolah dengan prestasi kerja saya di sana, meski keuntungan finansial tidak bedanya dengan yang saya dapatkan sewaktu jadi PN dulu. Tapi, sekali lagi, bukan uang tujuan utama saya. Begitu ‘settled’, saya langsung mendaftar ke sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di kota Malang, untuk belajar lagi. Saya menyadari betul, bahwa tuntutan Guru Perawat di masa depan, besar sekali. Peningkatan mutu pendidikan seorang guru tidak bisa ditawar lagi. Jurusan yang saya ambil sesuai dengan minat saya adalah Pendidikan Keguruan Bahasa Inggris.

Kerja sambil kuliah dengan penghasilan yang pas-pasan cukup bikin saya kalang-kabut. Saya harus bikin strategi bagaimana caranya agar kerja tetap lancar, kuliah maju dan pemasukan memadai. Beberapa alternatif bermunculan di benak ini.

Suatu pagi hari, ada seorang yang melamar untuk menjadi Guru Tidak Tetap di sekolah kami. Daftar Riwayat Hidupnya sempat saya baca. Yang menarik dari CV nya adalah, dilampirkannya artikel-artikel yang dimuat oleh beberapa media massa. Rupanya, disamping mengajar, guru tersebut rajin menulis. Sesuatu yang pada akhirnya menginspirasi jiwa saya. Tanpa menunda, saya mulai belajar menulis. Satu, dua, tiga media massa saya tembusi, baik itu umum maupun kesehatan. Bahasa Indonesia maupun Inggris. Artikel pertama saya berjudul ‘Singosari and the Artifact’ dimuat di Majalah Hello, sesudah saya mengirim tidak kurang dari 8 kali!

Memasuki semester ke-3, saya memberanikan diri untuk mengajar Bahasa Inggris di SPK. Saya katakan kepada Pimpinan bahwa saya bisa menyampaikan materi Bahasa Inggris sesuai dengan kebutuhan siswa. Itu lebih baik. Bahasa Inggris diajarkan oleh Perawat, bukan dosen IKIP. Ide saya diterima. Betapa senangnya waktu itu. Saya juga mendirikan kursus-kursus private di tiga tempat. Di samping mengajar di SPK tersebut, saya juga melakukan hal yang sama di SPK negeri lain di Malang dengan materi pembelajaran yang berbeda.

Maka, sempurnalah kesibukan saya. Mengajar di dua tempat, memberikan kursus 3 tempat, kuliah sore hari, aktif menulis di berbagai media selain koran kampus, serta aktif dalam kegiatan Orari Berbahasa Inggris. Pemasukan keuangan jadi lancar. Tapi yang namanya waktu: kayak mengejar maling! Meskipun demikian, alhamdulillah kuliah saya tidak pernah terganggu. Bahkan indeks prestasi saya rata-rata selalu di atas 3.5, sebuah prestasi yang jarang diperoleh mahasiswa biasa. Tidak ada istilah santai dalam kamus saya waktu itu. Di kampus saya hanya ingin selalu berbahasa Inggris dengan mahasiswa atau dosen. Saya tahu, pendekatan seperti ini berakibat saya tidak memiliki ‘banyak teman’ di kampus. Tidak masalah! Tujuan saya adalah belajar, bukan main-main. Uang yang saya keluarkan buat kuliah adalah hasil kucuran keringat yang tidak gampang. Maka, kenapa harus saya sia-siakan? Sebuah sikap yang amat tidak bertanggung-jawab!

*****

Pada satu kesempatan, di papan pengumuman RS kami (SPK berada dalam kompleks RS), terpampang lembaran pengumuman dari Departemen Kesehatan (Depkes) tentang kesempatan kerja di luar negeri bagi perawat. Kementrian Kesehatan Kuwait akan datang merekrut perawat Indonesia. Hati dan pikiran saya tergelitik untuk mencobanya. “Kesempatan?” Begitu bisikan hati ini. Tapi bagaimana dengan kuliah saya yang enam semester sudah hampir selesai ini? Ah, sambil jalan saja akan saya coba jalani.

Kegiatan rutin berjalan terus dan mulus. Sementara itu, tekad untuk mendaftar tidak juga goyah. Saya juga ajak beberapa kolega yang berminat. Ada beberapa yang ingin mendaftar. Mereka ini di kemudian hari juga jadi peserta kursus di bawah binaan saya. Niat saya tidak surut. Saya kumpulkan syarat-syarat yang diminta, hingga suatu saat datang panggilan guna mengikuti pelatihan di Surabaya selama dua pekan. Bagaimana dengan ijin kerja saya? Konflik batin tidak terhindarkan!

Beberapa kali saya mencoba untuk mencari alasan bagaimana agar pimpinan sekolah bisa merilis saya dalam rangka mengikuti program pelatihan ini. Kalau saya bohong berarti dosa, tapi jujur sama halnya dengan bunuh diri! Dilematis sekali. Ini saya ketahui karena saya tahu betul watak pimpinan kami. Beliau sangat baik dengan saya. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa di antara rekan-rekan se kantor, sayalah yang paling ‘disenangi’. Saya tidak ‘GR’. Namun demikianlah kenyataannya. Dalam setiap business travel misalnya, beliau selalu memberikan oleh-oleh buat saya, bukan untuk lainnya. Ada saja bentuknya.

Sebagai seorang bujangan yang kontrak rumah, beliau juga tidak segan-segan pesan makanan di bagian Gizi kami untuk diberikan kepada saya. Saya terima segala niat baiknya dengan senang hati. Barangkali beliau memang tahu, bahwa dalam soal kerja, saya juga tidak main-main. Sejumlah program inovasi saya sampaikan kepada beliau agar kualitas sekolah ini baik. Berbagai ide baru saya tawarkan. Sebanyak itu pula biasanya beliau setujui misalnya tentang perencanaan pengajaran satu tahun, sistem kerja praktek lapangan, seminar, distribusi mata pelajaran, penilaian guru-guru yang kurang aktif, rencana pembelajaran, sistem pelaporan, dsb.

Seratus persen saya yakin, jika saya kemukakan apa adanya, beliau pasti tidak setuju tentang kerja di luar negeri ini. Dan benar! Saya harus katakan secara jujur. Saya mohon ijin untuk mengikuti program pelatihan ini di Surabaya. Beliau ‘kaget’! Tentu jawabannya: “Tidak!”. Saya mencoba negosiasi. Bagaimana jika ijin tidak masuk kerja tanpa gaji? Tidak ada kompromi!

Akhirnya, tidak ada pilihan lain. Saya percaya diri, bahwa perolehan kerja bagi saya bukan masalah. Saya bisa dapat pekerjaan di banyak tempat. Saya merasakan waktu itu dedikasi saya selama empat tahun di organisasi diabaikan. Kebaikan beliau terhadap saya selama ini itu saya akui. Tapi menghalangi perkembangan saya sebagai individu dan anggota profesi adalah pelanggaran prinsip yang saya tidak bisa terima. Maka saya putuskan: keluar dari tempat kerja. Emergency resignation!

Gempar! Itulah kesan saya begitu seluruh RS mendengar keputusan saya. Apalagi bagi siswa. Sekedar tahu, saya merupakan pengajar favorit di hadapan mereka. Prestasi di SGP bukan sekedar di atas kertas, tapi saya terapkan di depan kelas. Saya implementasikan sistem pengajaran yang menarik dan variatif sehingga tidak membosankan bagi siswa. Di situlah letak kepuasan saya, bisa menarik minat belajar mereka.

Saya dipanggil Direktur RS. Tidak juga goyah. Keluar dari yayasan, tanpa pesangon, tanpa surat pengalaman kerja. Dua lagi pelanggaran yang mereka lakukan bagi saya yang sebenarnya memiliki hak-hak sebagai karyawan. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak mau menyandarkan kualitas hidup ini di atas kertas. Kepergian saya hanya diiringi tangisan siswa. Ah! Beginikah ujung dari permulaan karir saya?

Padahal waktu itu memasuki kuliah semester tujuh. Sebenarnya sudah hampir rampung. Skripsi sudah saya rencanakan. Tapi ada rencana yang jauh lebih penting ketimbang selembar ijazah sarjana. Pekerjaan, mengajar di dua tempat, kuliah dan kursus privat, semuanya saya tinggalkan demi membuka harapan baru: ke luar negeri.

*****

Saya berangkat ke Surabaya. Hari-hari jadi indah bersama rekan-rekan sejawat se Jawa Timur yang berniat meraup Dinar di negeri seberang. Dipandu oleh dosen-dosen IKIP Surabaya serta sejumlah instruktur lokal, kami ditempa selama dua pekan di RS Islam Surabaya. Semua fasilitas ditanggung penyelenggara. Berbekal kuliah Bahasa Inggris, saya memberanikan diri untuk membantu rekan-rekan yang kurang mampu. Semacam ‘guru kecil’. Dua pekan pun jadi cepat berlalu. Dan kami balik ke kampung menunggu perkembangan.

Sambil menghitung waktu, begitu pulang ke tempat masing-masing, kami sepakat untuk belajar Bahasa Inggris bersama. Saya dipercaya menjadi tutor dengan sejumlah honor. Satu, dua, tiga dan entah berapa kali pertemuan sudah, panggilan juga tidak kunjung datang. Malah berita tidak enak yang kami dengar: Perang Teluk I. Kuwait, negara tempat kami bakal bekerja, diserang pasukan Saddam. Adalah ini hikmah? Allah Maha Benar akan segala rencana.

Kalutkah saya dengan penundaan ini? Sesaat, ya! Tapi hidup dan perjuangan harus jalan terus. Teman-teman peserta masih ada saja yang tetap optimis. Dan peran saya untuk menjadi motivator mereka kayaknya besar. Kursus di bawah binaan saya jalan terus. Surabaya, Mojokerto, Kediri, Blitar, Tulungagung. Saya dipanggil datang bergiliran di berbagai tempat. Kegiatan ini mampu mengusir kegelisahan saya akan penundaan ke luar negeri dan membasahi kantong yang nyaris kering ini.

*****

Rejeki bukan hitungan matematika. Sebaliknya, harus dicari. Kesabaran bukan pula ilmu alam, tetapi bisa dipelajari. Demikianlah yang terjadi pada saya. Tantangan hidup jadi lebih besar kali ini: ‘menganggur’. Sebuah status yang tidak enak didengar. Bagaimana tidak saya katakan sebagai pengangguran, sementara pecahnya Perang Teluk bikin saya ngambang. Berangkat atau tidak, tidak ada yang mampu menjawabnya. Mau melamar bekerja, takut tiba-tiba datang panggilan. Tapi tidak kerja, saya butuh penghasilan. Dilematis sekali.

Yang saya tempuh kemudian adalah: aktif menulis terus, tetap memberikan kursus, dan....inilah yang kemudian juga jadi masalah: saya ikut membantu teman, yang sebenarnya juga peserta pelatihan, dalam praktik keperawatan di sebuah desa terpencil di ujung selatan Trenggalek. Sebuah petualangan baru yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

*****

Saya tidak perlu menceriterakan bagaimana bisa kenal dengan seorang sejawat di daerah pelosok Trenggalek, sekitar 6 jam perjalanan dari tempat tinggal saya. Terlalu panjang untuk dikisahkan di sini. Namun, sebagaimana tertuang dalam bab terdahulu, kolega saya tersebar di 29 kabupaten di Jawa Timur. Jadi, Trenggalek atau Banyuwangi, tidak ada bedanya.

Semula berat untuk menyampaikan masalah ‘status pengangguran’ ini kepadanya. Alhamdulillah, dia tidak keberatan saya membantu melayani pasien-pasiennya yang cukup ‘lumayan’ banyak. Jika dia kerja, saya yang melayani mereka di ‘klinik’ rumahnya. Lambat laun, pasien-pasien ini banyak mengenal saya. Saya jadi ‘kikuk’, karena rekan saya tidak mau menerima uang jasa yang pasien berikan kepada saya.

Atas berbagai pertimbangan, saya minta ijin dia untuk ‘membuka usaha’ sendiri di lain tempat, jauh dari tempat dia praktik. Orang Jawa umumnya enggan untuk berkata ‘Tidak!’ Dia mengangguk, tanda setuju. Entah dengan terpaksa atau tidak, saya mengharap sebuah keputusan. Pulanglah saya, kemudian kembali lagi ke Trenggalek, di daerah lain yang bisa menerima keberadaan saya.

Bekal ilmu keperawatan komunitas, sosiologi serta segenggam pengalaman, menyertai episode perjalanan baru dalam profesi ini. Waktu itu, isyu UU Praktik Keperawatan belum sesanter tahun-tahun terakhir ini. Alhamdulillah, seorang kepala desa, lewat jasa salah satu pasien saya, memberikan ijin untuk tinggal di sana. Ijin lisan dari seorang Kepala Desa ini, saya anggap sebagai ‘legalitas’. Waktu itu tenaga kesehatan memang masih langka. Apalagi di daerah seperti Trenggalek Selatan. Bergunung, berbatu, transport sulit, dan sarana serta prasarana kesehatan masih minim. Jadi, eksistensi profesi kesehatan, amat dibutuhkan.

Laris! Begitu kata singkat yang bisa saya katakan jika apa yang saya kerjakan adalah ‘bisnis’. Mulai pagi hingga malam hari. Ada saja orang yang membutuhkan tenaga saya. Namun jangan harap bahwa pergi ke sana-sini dengan menggunakan sarana transportasi. Sepeda motor saja tidak bisa jalan. Apalagi mobil! Hampir setiap pekan saya beli sandal atau sepatu baru. Jalan 10 km bukan lomba maraton bagi saya, malainkan keseharian. Naik-turun gunung juga kebiasaan. ‘Senjata’ saya adalah: tas praktik, payung dan senter. Saya jadi ‘terkenal’ di daerah tersebut dan sekitarnya. Sesuatu yang bikin kolega lain jadi (maaf!) iri!

Sebagai satu-satunya tenaga perawat di daerah tersebut, saya membaur dengan masyarakat. Ikut kerja bakti, pengajian, bertamu apabila ada yang punya hajat, melayat kematian, ikut serta membantu mereka yang mendirikan rumah, dan banyak lagi ‘strategi’ yang saya tempuh agar saya bukan seperti ‘benda asing’ di wilayah orang lain. Alhamdulillah, kiat ini berhasil. Banyak orang desa tersebut yang juga sudah mengunjungi rumah saya beramai-ramai. Malah perabotan seperti meja belajar, pintu rumah, perbaikan genteng dan masih banyak lagi, merupakan hasil karya mereka,

Saya merasa dekat sekali dengan masyarakat. Begitu dekatnya seolah jejak langkah-langkah kaki saya di pegunungan bisa ditebak. Gesekan dedaunan akibat senggolan tubuh saya ketika berjalan cepat di pinggiran rumah penduduk pun, didengar. Subhanallah. Sepertinya saya berlebihan. Namun demikianlah kenyataannya. Setiap malam, dalam obrolan ba’da Maghrib, saya selalu ada di antara mereka. Jikapun tidak muncul, ada saja yang mencari.

Pingin tahu di mana saya tinggal? Di rumah paling atas di antara 8 rumah di sebuah gunung, Butak namanya. Dari rumah kami, sekitar 500 meter lagi jalan menanjak, saya bisa berada di puncak gunung. Dari sana kita bisa melihat dasyatnya gelombang ombak Lautan Indonesia. Alhamdulillah, tinggal di daerah terpencil seperti ini, ternyata tidak mengurangi niat masyarakat untuk berlajan dan mencari saya. Jarak 10 km jalan kaki dari tempat saya tinggal, mereka tempuh. Subhanallah!

Terkadang, kepala keluarga, rumah di mana saya tinggal (gratis), bertanya kepada saya: “Sampai kapan Bapak tinggal di sini?” Dalam keheningan malam, tanpa listrik di hutan yang sepi itu, saya jadi tertegun. Pertanyaan bapak satu anak yang hanya lulusan SD itu, begitu menggugah. Dia tahu bagaimana saya berjuang selama ini. Dia berterus-terang, keberadaan saya di sana amat membantu penduduk karena tidak perlu dipikul jauh-jauh ke Puskesmas Kecamatan, yang memakan waktu dua jam perjalanan apabila ada yang sakit. Dia tahu bahwa masa depan saya juga harus dipikirkan. Dia paham benar bahwa saya sedang menunggu panggilan ke Kuwait.

Sungguh, hanya karena kebesaran Allah Ta’alah semata. Dalam status ‘nganggur’ saya justru mampu membantu orangtua secara finansial. Memberi uang saku adik-adik. Bahkan setiap bulan, ada saja wesel yang mengalir rutin atas nama Ibu, dari berbagai media masa. Itu belum terhitung seperti pembelian mesin ketik, kamera dan masih banyak lagi yang saya dapat duitnya dari hasil menulis. Ringkasnya, pendapatan saya dari dua sumber, sesudah berhenti memberikan kursus, hasil praktik dan menulis, mengalir lancar.

Tapi sampai kapan? Sebuah pertanyaan yang saya sendiri tidak sangggup menjawabnya.

*****

Suatu siang hari yang cerah, adik saya tiba-tiba datang. Dia begitu terkejut melihat medan di mana saya tinggal. Dia tidak pernah bayangkan bahwa di lingkungan seperti ini saya berada. Enam jam dari rumah, harus berjalan lagi dua jam dari jalan raya. Tidak ada ojek. Tanpa listrik, televisi, pipa air minum, sumur serta aneka hiburan lain. Dia terharu katanya, melihat saya. Walaupun bagi saya, tidak ada masalah. Dia datang membawa berita: Surat Panggilan dari Jakarta. Kementrian Kesehatan Kuwait akan tiba untuk merekrut perawat.

Singkatnya. Berita gembira ini sekaligus berita ‘duka’. Saya harus segera berangkat ke Jakarta. Ada tangis dalam hati saya. Hampir dua tahun tinggal di lereng Gunung Butak, mengukir kisah profesi yang tak terlupakan. Masyarakat desa setempat telah berjasa mendewasakan pola berpikir saya, bahwa di daerah terpencil serta pelosok pun, orang bisa menemukan kebahagiaan.

Malam harinya, kami mengadakan acara tasyakuran. Seluruh penduduk dusun itu datang di sebuah rumah pemuka Dusun di lereng Gunung Butak. Orang tua, anak-anak, pemuda-pemudi. Mereka memadati ruang tamu di mana kami berkumpul bersama. Ada jajan seadanya. Ada tawa segar. Ada sambutan hangat. Dan dalam Bahasa Jawa Trenggalek khas, ada pula salam berpisah serta doa.

Esok harinya, dengan di antar beberapa orang, termasuk pemilik rumah pondokan, saya berangkat. Sebagaimana biasa, jika saya pulang, dibekali kelapa, beras Tuton, kerupuk, kopi dan ayam. Di tengah perjalanan, saya tidak kuasa menengok kembali ke belakang. Entahlah! Saya begitu dihantui oleh tangis mereka pada akhir lembaran profesi ini di Gunung Butak. (Bersambung).


Doha 24 July 2008

Shardy2@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar